Cahaya mentari pagi menyinari tubuhku yang berbalut dress berwarna merah hati dengan potongan tinggi di atas lutut beraksenkan kancing jamur di bagian depan berbaris dari atas ke bawah kontras dengan kulitku yang sedari lahir berwarna putih bersih, rambut panjangku aku biarkan tergerai hingga melambai-lambai ditiup angin yang sedikit kencang kali ini.
Waktu menunjukkan pukul delapan lewat dua puluh dua menit pagi saat semua pekerjaan rumah selesai, sendiri di rumah besar ini memantik sedikit kebosananku apalagi hari ini aku tidak ada rencana ke kios untuk membantu Ibu mertuaku berjualan.
Karena memang kiosnya tutup untuk beberapa hari, ibu sedang mendampingi Bapak menghadiri pernikahan saudara jauhnya di luar kota, aku juga masih belum begitu mahir jika harus berjualan sendiri.
Aku sedikit iba melihat bunga-bunga di taman yang sepertinya kehausan karena musim hujan sudah berganti dengan kemarau panjang, aku menyalakan keran dan memegang selang air untuk berbagi sedikit kesejukan dengan hijaunya dedaunan taman yang sudah mulai gersang.
Hampir selesai kusirami semua tanaman saat aku melihat sebuah motor sport berwarna biru memasuki halaman, sang pengendara memarkirnya di garasi sebelum kembali untuk menutup pintu gerbang tanpa menguncinya lalu mendekatiku.
"Pagi sayang, tumben pagi ini cantik banget," sapanya sambil mencolek ujung hidungku, ia memang selalu terlihat tampan di mataku.
"Hhhmmm emang biasanya aku nggak cantik," jawabku sambil memajukan bibirku pura-pura merengut, untuk mendapat perhatiannya.
"Ya biasanya cantik, tapi hari ini pake banget, nget, nget," jawabnya gemas melihatku manyun.
"Kamu juga tumben pagi-pagi gini udah ganteng, udah kelayapan lagi, dari mana?" tanyaku penuh selidik.
"Lupa ya, aku 'kan abis nganterin Risti, bawel banget dia dari subuh udah ribut minta di anter takut ketinggalan bis katanya," jelas Arman atau tepatnya menggerutu.
Sebenarnya aku hanya pura-pura lupa kalau pagi ini Risti pergi mengikuti studi tour yang di adakan sekolahnya ke Bali selama lima hari.
"Oohhh kirain abis ketemuan ama pacar baru," aku pura-pura merajuk, tapi dia malah mencipratkan air ke wajahku dengan tangannya.
"Awas ya, rasakan pembalasanku," pongahku menirukan gaya pendekar wanita di film kolosal, sambil menyiramnya dengan selang yang masih ku pegang.
"Sayang, sayang udah, iya, iya ampun, ampuni hamba kanjeng ratu," jawabnya dengan gaya yang sama denganku tadi lalu kami tertawa bersama.
"Udah sana ganti baju, nanti masuk angin," aku khawatir melihat kaos yang dia gunakan basah, meski sadar semua itu karena ulah jailku.
"Ayo temenin," pintanya sambil menarik tanganku masuk, sedikit celingukan takut ada tetangga yang melihat tingkah kami.
"Ih kok buka bajunya di sini sih, sana ah ke kamar malu tau," aku spontan berkata demikian melihatnya membuka baju di ruang tengah rumah ini.
"Alah malu apa mau," pancingnya sambil berjalan mendekatiku memamerkan tubuhnya yang altletis yang kini hanya menggunakan celana jeans pendek selutut mana banyak bekas sobekan di mana mana lagi.
Aku hanya diam duduk di sofa sambil menyembunyikan rona merah di wajah yang mungkin nampak jelas di pandangannya.
"Sayang, aku punya permainan, jadi aku kasih tebakan ya kalau kamu nggak bisa jawab, aku kasih kamu hukuman, nggak boleh nolak," ucapnya seraya menghempaskan tubuhnya di atas sofa.
"Eemmm... boleh deh tapi jangan susah-susah ya," jawabku menerima tantangannya.
"Oke, apa bedanya kamu sama lukisan?" Pertanyaan pertama ia berikan.
"Kalo lukisan pake tinta, kalo aku pake cinta," aku coba menebak asal.
"Salah, yang bener tuh, kalo lukisan makin lama makin antik kalo kami makin lama makin cantik," jawabnya tersenyum, sini terima hukuman kamu, katanya sambil menepuk pahanya memintaku duduk di atas pangkuannya.
Aku menurut, duduk di pangkuannya. Aku terkejut karena Arman membuka satu kancing teratas bajuku.
"Ihhh sayang apa-apaan sih," ujarku seraya berusaha memasang kembali kancing bajuku yang sudah terbuka.
"Ya begini peraturannya kalo kamu nggak bisa jawab tebakan aku, buka satu," tegasnya sambil menggenggam tanganku.
"Bis, bis apa yang bisa bikin deg-degan?" dia langsung melontarkan pertanyaan kedua.
"Hheeemmm apa ya..." Rasanya otakku membeku, bukan hanya karena pertanyaan itu begitu cepat ia berikan tetapi juga karena perlakuannya padaku.
"Bisikan sayang dari kamu," sepertinya Arman tidak memberiku waktu lebih lama untuk berfikir.
"Ayo sekarang hukuman kedua," ancamnya sambil melirik kancing bajuku, belum sempat dia membukanya aku sudah lari menuju dapur, secepat mungkin dia mengejarku sekarang kami seperti anak-anak yang sedang bermain berkejar-kejaran sambil tertawa riang, dia bisa menangkapku dari belakang dan melakukan apa yang dia inginkan.
"Apa bedanya kamu sama monas," bisiknya sambil memelukku dari belakang.
Aku hanya diam menikmati darah yang sudah mulai mengalir lebih cepat hingga detak jantung berdegup lebih kencang, "Kalo monas milik pemerintah, kalo kamu cuma milik aku," bisiknya sambil memutar tubuhku hingga sekarang kami saling berhadapan, kedua tanganku di bimbingnya hingga tepat melingkar di pinggangnya.
"Bersiaplah untuk hukuman ketiga sayang," tangannya mulai menggerilya berusaha mengeluarkan anak kancing dari lubangnya, Arman mulai akan mendaratkan ciuman di leherku saat kami mendengar suara ketukan pintu depan.
"Assalammualaikum," suara seorang wanita terdengar di iringi ketukan pada daun pintu, aku tergopoh berlari ke ruang tamu sambil memasang semua kancing bajuku, sedangkan Arman terlihat menyambar kaosnya yang bergeletak di sofa.
"Assalammualaikum,"
Wanita itu mengulangi salamnya. Aku mengintip dari jendela sebelum membuka pintu, nampak seorang wanita, wanita itu yang wajahnya ada di foto profil kontak w******p suamiku, pesan yang selalu masuk menanyakan kabar, tapi tidak pernah di balas oleh Mas Ridho, nampak juga beberapa panggilan tak terjawab saat aku sengaja membuka handphone Mas Ridho saat dia tertidur.
"Waalaikum salam," ucapku sambil membukakan pintu untuknya.
"Maaf mbak, apa bener ini rumahnya Mas Ridho?" wanita itu mencoba memastikan.
Hatiku berdebar, sangat penasaran kenapa wanita ini selalu mencoba menghubungi suamiku bahkan sekarang dia datang ke sini, "Iya mbak, betul. Mbak ini siapa ya?"
"Kenalin, saya Anissa teman lamanya Mas Ridho," wanita itu mengulurkan tangan, suaranya terdengar sangat lembut.
"Saya Adella, adiknya Mas Ridho," aku sengaja berbohong, ingin aku korek informasi dulu darinya, informasi yang mungkin tidak akan aku dapatkan jika dia tau aku istrinya Mas Ridho.
"Lho, Mas Ridho bukannya cuma punya satu adik perempuan ya, Risti!" wanita itu bingung tapi tetap mencoba tersenyum, sepertinya dia tau banyak tentang keluarga ini dan aku bingung harus menjawab apa.
"Dia Adella istri saya," ucap Arman tiba-tiba dari belakangku,
"Ii,iya saya istrinya Arman," ucapku kikuk mengiyakan perkataan Arman.
Mari Mbak Anissa silahkan masuk, Arman mempersilahkan dia duduk di ruang tamu sementara aku ke dapur menyiapkan teh hangat dan beberapa kue kering,
Arman dan Mas Ridho mengenalnya, siapa dia sebenarnya kenapa Arman seolah mendukungku untuk menutupi identitasku sebagai istri Mas Ridho.
Sedikit ku dengar obrolan mereka dari dapur, dapatku ketahui mereka pernah bertemu saat Mas Ridho wisuda dulu.
"Apa Mas Ridho sudah menikah?" aku mendengar pertanyaan Anissa sesaat setelah ku dudukkan tubuhku di sofa panjang tepat di sebelahnya.
"Sudah," mantap ku dengar jawaban Arman atas pertanyaan itu.
Aku melihat senyum getir di wajah Annisa
"Mas Ridho mencintai istrinya?" pertanyaan aneh menurutku.
"Mas Ridho sangat mencintai istrinya," aku menyambar jawaban sebelum Arman melakukannya.
"Istrinya juga pasti sangat mencintai Mas Ridho kan?! Bukan hal yang sulit untuk mencintai pria sebaik Mas Ridho, mereka pasti sangat bahagia," pandangan Annisa menerawang, tampak kaca-kaca dimatanya.
Nafasku seolah tercekat di tenggorokan tak mampu mengeluarkan kata-kata, nyatanya bagiku mencintai Mas Ridho adalah hal sulit.
"Aku datang ke sini hanya untuk ini," Annisa mengeluarkan sebuah kotak berwarna ungu dari dalam tasnya dan memberikannya padaku.
"Apa ini, boleh aku lihat?"
Anissa menjawab dengan anggukan dan kedipan mata.
Aku membuka dan melihat isinya satu persatu, ada beberapa lembar foto bergambarkan dua sejoli yang terlihat saling mencintai dia Anissa dan Mas Ridho, beberapa lembar foto kebersamaan mereka dan para sahabat, hingga aku melihat foto-foto kehamilan Annisa, banyak foto bayi mungil dan foto wisuda Anissa dengan menggendong gadis kecil yang mungkin masih balita, dan foto gadis kecil berusia sekitar tujuh tahunan dengan garis wajah yang nyaris serupa dengan Mas Ridho.
"Namanya Jelita. Jelita Putri Ginanjar, aku sengaja menggunakan nama Ginanjar di belakang namanya, dia putriku dan Mas Ridho Ginanjar. Sudah saatnya Mas Ridho tau karena Jelita sudah mulai menanyakan keberadaan ayahnya," Annisa menjelaskan tanpa kami minta.
Aku dan Arman saling berpandangan seolah tidak percaya akan kenyataan ini, tapi melihat wajah anak itu walaupun hanya dari selembar foto sudah membuat kami yakin kalau dia memang darah daging mas Ridho.
Tapi ada sesuatu yang aneh dari penampakan wajah gadis cantik itu, entah apa.
"Kalau Mas Ridho, sudah bahagia aku tidak akan merusak kebahagiaannya, aku hanya ingin dia tau tentang Jelita seperti Jelita yang berhak tau tentang ayah kandungnya," ada air mata yang menetes dari mata sayu Annisa "aku tidak akan meminta Mas Ridho datang untukku, tapi kalau berkenan dan istrinya mengizinkan aku ingin Mas Ridho datang untuk Jelita."
Ada perasaan aneh menyelusup dalam hatiku, seperti ada ribuan tangan yang mencubit, sakit mendengar kenyataan ini.
"Aku pamit dulu ya, titip ini buat Mas Ridho," Anissa meninggalkan kotak yang sudah kembali ku rapikan isinya, "Kalian pasangan serasi, aku bisa melihat cinta yang kuat dimata kalian, semoga kalian selalu bahagia,"
ucapnya sebelum meninggalkan kami.
"Sudahku bilang Mas Ridho nggak sebaik yang kalian kira," ucap Arman sambil mencium pucuk kepalaku dan meninggalkan aku sendiri.
Aku menyimpan kotak itu dalam lemari di antara tumpukan baju-bajuku, akan aku tunggu waktu yang tepat untuk memberi tau Mas Ridho tentang ini.