Sang surya belum lagi menampakkan sinarnya di hamparan bumi nan hijau ini, di atas sana rembulan bulat masih saja bersinar pucat di kejauhan seolah enggan berganti posisi dengan sang mentari, tapi Arman sudah menjemputku dengan mobilnya yang sengaja dia beli agar lebih nyaman mengajak seorang ibu hamil sepertiku bepergian.
Padahal aku lebih suka di bonceng motor sportnya lebih romantis, tapi akan sulit dengan perut besarku ini, aku jadi tertawa sendiri membayangkannya.
"Pagi cantik," sapanya, manis seperti biasa, senyum tampan yang selalu membuatku turut tersenyum juga jika melihatnya.
"Pagi banget jemputnya kita mau ke mana, sayang?" tanyaku padanya yang memang tidak biasa datang sepagi ini.
"CFD (car free day) yuk, nanti pulangnya sekalian cari baju buat my baby," jawabnya sambil mengelus perut buncit sembilan bulanku, aku yakin jika bayi dalam kandunganku juga sudah terbiasa dengan sentuhan penuh cinta darinya, orang yang juga sangat menyayanginya. Aku bisa merasakan hal itu.
.
Aku menikmati pagi berhiaskan semburat cahaya jingga dari sang surya yang lebih lambat muncul dari ibu-ibu yang tengah menancapan akar tunas padi di persawahan.
Memandang jauh keluar dari jendela mobil yang melaju perlahan, sesekali aku melirik Arman yang sedang fokus menyetir sambil bersenandung lirih, entah lagu apa yang di nyanyikannya, dan sesekali menatapku dengan senyum manisnya.
Kami sampai di tempat tujuan, sudah ada beberapa mobil yang terparkir saat Arman memarkirkan mobilnya.
"Sayang kamu tau nggak mobil apa yang bikin bahagia?"
Pertanyaan Arman mengurungkan niatku membuka pintu mobil.
"mobil apa ya," aku berfikir sejenak tapi tidak juga menemukan jawabannya. "Nggak tau, aku nyerah deh."
"Mobil'ang kalau aku sayang banget sama kamu!" jawabnya seraya menatap teduh kedua mataku.
Aku tersenyum merasakan hati yang menghangat hingga menjalar ke kedua pipiku, aku jamin sudah ada semburat merah di sana hingga Arman bisa melihatnya.
"Tuh kan bahagia, senyum-senyum sampe pipinya merah gitu," ucapnya membuatku kembali tersipu malu.
Arman mencubit gemas pipiku sebelum turun dan membukakan pintu mobil untukku.
* Dita Andriyani *
Setelah lelah berjalan menyusuri alun-alun yang selalu ramai di akhir pekan ini dan merasakan perut sudah menagih jatah sarapannya kami memutuskan memilih bubur ayam sebagai sarapan kami.
Kedai bubur ayam ini cukup ramai hingga kami memutuskan duduk di bangku yang tertata rapi di luar tenda menunggu pesanan kami datang.
"Sayang aku pengen pipis deh, aku cari toilet dulu ya." ibu hamil tua sepertiku memang lebih sering buang air kecil karena posisi janin sudah berada di bawah panggul dan menekan kandung kemih.
"Mau aku temenin?" tanyanya sigap, ia memang seorang pasangan siaga, meski belum resmi menyandang predikat sebagai seorang suami.
"Nggak usah kamu di sini aja, aku nggak lama kok." Setelah meyakinkan dia aku berjalan mencari di mana toilet berada.
.
Lega rasanya setelah dari toilet meskipun tak akan butuh waktu lama sampai aku ingin mengunjungi tempat itu lagi.
Berjalan di atas trotoar sambil melihat-lihat berbagai pedagang menjajakan dagangannya saat seseorang menyapa sambil menyentuh lenganku.
"Mbak Della. Mbak Della sama siapa?" suara itu sangat ku kenal.
"Risti? Eemm mbak sama Irma." aku sengaja berbohong.
Risti mengangguk mengerti, di belakangnya berdiri dua orang lelaki, pak Raharja tampak kepayahan memegang beberapa balon helium yang beterbangan tertiup angin jika tidak erat memegangnya bisa di pastikan balon itu akan mengangkasa.
Dan ... Mas Ridho menggendong gadis kecil yang wajahnya pernah aku lihat pada selembar foto.
"Mbak Della nggak apa-apa kan?" nada bicaranya sedikit terdengar khawatir sambil melihat ke arah perutku.
Aku mengerti arah bicaranya.
"Mbak, aku minta maaf nggak bisa nolongin mbak waktu itu. Maafin ibu juga ya mbak." Dari nada bicaranya terlihat jelas sesal yang ada di hatinya.
"Iya mbak nggak apa-apa kok, bayi mbak juga baik-baik aja walaupun Mbak pendarahan dan harus di rawat di rumah sakit."
Pak Raharja dan Mas Ridho saling berpandangan tampak kebingungan mendengarkan pembicaraan kami, sepertinya mereka memang tidak mengetahui kelakuan bu Rita, tetapi mereka juga seperti enggan menanyakannya padaku.
"Ya udah mbak permisi dulu."
Aku melangkah pergi tak mau terlalu lama bersama mereka.
"Tunggu dulu, ini kalian ngomongin apa?" pertanyaan pak Raharja seolah menahan langkah kakiku.
Aku juga merasakan sebuah genggaman di pergelangan tanganku, aku melihat tanganku dan mendapati tangan kanan Mas Ridho erat di sana sedangkan tangan kirinya menggendong Jelita yang sedang asik memakan permen kapas dengan tangan yang sedikit meraba untuk mendapati di mana kudapan manis itu berada.
Aku sedikit terkejut melihat itu, Jelita memang tampak berbeda di foto itu ternyata benar, Dia tuna netra.
Hatiku bergetar melihat gadis kecil itu spontan tanganku membelai pipi tembemnya.
"Dua bulan yang lalu, aku sama ibu belanja di toko tempat mbak Adella kerja, ibu marah waktu aku nyalamin mbak Della terus ibu ndorong mbak Della sampe jatuh pak,"
Risti menjelaskan, rasa bersalah nampak jelas di wajahnya.
"Astagfirullah.. Ibu keterlaluan sekali! Kenapa kamu nggak bilang sama bapak?" pak Raharja terlihat geram.
"Risti takut pak, ibu bilang nggak boleh bilang bapak," jawab Risti, saat ini pun ia terlihat takut saat menejelaskan.
"Anak siapa pun yang di kandung Della, ibumu tetep nggak boleh berbuat seperti itu! Maaf kan istri saya nak Della." Meskipun berbeda dari saat aku masih menjadi menantunya tetapi nada bicara Pak Raharja jauh terdengar lebih baik dari istrinya.
"Iya." hanya itu yang aku ucap sebelum berlalu, aku tidak ingin mereka melihat air mata yang nyaris tertumpah mendengar perkataan pak Raharja membuat hatiku memanas.
Rupanya semua orang memang meragukan anak ini adalah anak mas Ridho.
Sementara Mas Ridho pun hanya diam saja tidak bicara apapun padaku, ya karena mungkin memang tidak ada lagi yang harus kami bicarakan.
Lagi-lagi aku hanya bisa berbisik pada diriku sendiri jika memang ini adalah konsekuensi dari kesalahan yang telah aku lakukan, rasa sakit ini adalah hukuman dari dosa yang telah aku perbuat sebelumnya.
.
"Sayang kamu kenapa?" Wajah Arman kelihatan bingung melihatku sedikit kacau.
"Nggak apa-apa, sebel aja tadi di toilet ada ibu-ibu nyerobot antrian! Nggak tau apa ada ibu hamil udah nggak tahan pengen pipis."
Lagi-lagi aku berbohong, aku tidak ingin Arman marah apa lagi kalau sampai nekat menemui mereka di sini bisa berakhir keributan nanti.
"Emang bener ya kata orang kalau ibu hamil jadi lebih sensitif." Arman tersenyum sambil mencolek ujung hidungku. "Ya udah, nih makan buburnya udah dingin dari tadi."
* Dita Andriyani *
Sesuai rencana awal setelah pulang dari alun-alun kami mampir ke sebuah baby shop terbesar di kota ini.
Toko yang menjual lengkap berbagai perlengkapan bayi, mulai dari bayi baru lahir hingga balita.
"Silahkan bu, pak... Mau cari perlengkapan bayi baru lahir ya." sapa pelayan toko itu ramah.
Banyak sekali pilihan di sana, aku sengaja memilih warna-warna netral karena belum mengetahui jenis kelamin bayiku.
Aku merasakan kram dan nyeri di bagian bawah perutku saat sedang menunggu pelayan toko mengemasi barang-barang yang aku beli dan Arman berada di meja kasir untuk membayarnya.
"Sayang perut aku sakit," hanya itu yang aku ucapkan tapi sontak memantik kepanikan di wajah tampannya.
"Hhaahhh sakit kamu mau melahirkan ya, ayo cepetan ke rumah sakit!" dia tak memberi kesempatan aku untuk menjawab "kamu bisa jalan? Sini aku gendong ya ke mobil!"
Perkataannya membuat para pelayan toko dan pembeli lainnya tersenyum malu, dan aku memang malu menutup mukaku dengan paper bag yang kupegang.
* Dita Andriyani *
"Ini hanya kontraksi palsu bu, memang sering terjadi pada kehamilan setelah memasuki trimester ketiga." Terang dokter Hera sembari menempelkan alat USG di perutku.
"Posisinya sudah bagus, siap untuk proses persalinan, tinggal tunggu waktu aja bisa besok, lusa atau seminggu lagi," sambungnya.
Jantungku berdebar membayangkan sebentar lagi aku akan menjadi seorang ibu.
"Mau liat jenis kelaminnya?" tanya dokter Hera sambil menatapku yang tengah fokus melihat ke layar monitor.
Aku bertanya pada Arman lewat tatapan mata yang di jawab dengan anggukan.
Dokter Hera mengerti dan menekan sebuah tombol di bawah layar monitor lalu memutar stik yang masih menempel di perut bagian bawahku.
"Oke kita lihat jenis kelaminnya ... Jenis kelaminnya... " dokter Hera menjeda bicaranya, membuat kami penasaran.