"Ya Allah ... Fase apa lagi yang akan terjadi dalam hidupku kenapa aku harus bertemu lagi dengannya."
Aku melajukan mobil perlahan, di kursi belakang Atqa sudah terlelap di pangkuan Mbak Neni, tampak wanita muda yang telah lama bekerja padaku itu memperhatikan aku dari spion depan.
"Bu, ibu baik-baik aja?" Ragu, dia memberanikan diri bertanya mungkin ia juga menyadari jika tanganku yang menggenggam setir agak gemetar sekarang.
"Iya mbak, aku nggak apa-apa." Yakinku padanya, padahal dalam hatiku, entahlah ...
* Dita Andriyani *
Flashback on
Tujuh tahun yang lalu ...
Mencari pekerjaan di ibukota bukan perkara yang mudah, apalagi hanya berbekal ijazah sekolah menengah atas saja, tanpa pengalaman dan tanpa koneksi.
Sudah dua bulan aku luntang lantung di Jakarta menyusuri tiap liku jalannya dengan beberapa map berisi lamaran pekerjaan yang selama ini hanya menghasilkan harapan kosong, rasa kecewa yang aku telan sendiri karena tidak ingin membuat ibu yang berada di kampung halaman mencemaskanku atau mungkin juga kecewa
Bekal uang yang di berikan ibu sudah mulai menipis, beruntung ada Sinta teman sekolahku yang sudah lebih dulu menetap di sini dia lebih beruntung dariku ada seorang saudara yang membawanya berkerja di sebuah perusahaan, jadi aku bisa menumpang tidur di kontrakannya sebuah rumah petak yang terdiri dari tiga ruangan saja ruang tamu, kamar tidur dan bagian belakang berfungsi sebagai dapur dan kamar mandi.
Hari menjelang malam saat langkahku mulai lelah menapaki sejengkal demi sejengkal perjalanan untuk meraih cita, menggapai mimpi.
Seketika tanpa tersadari, ccciiitttt ... bbrruukkk ... lalu ...
"Aaaa ...." Sakit aku rasakan di sekujur tubuhku di iringi suara pekikan dari orang-orang sekitar, setelahnya gelap rasanya dunia ini. Apakah ini yang namanya mati?
* Dita Andriyani *
Terang kembali terasa walaupun pandanganku masih sedikit kabur, samar-samar aku dengar ada suara seorang wanita memanggilku, aku belum sepenuhnya sadar saat menjawabnya rupanya dia seorang perawat dan aku berada di rumah sakit, menjadi korban. Tertabrak mobil yang dikendarai seorang pemuda mabuk.
Tidak terlalu kuperdulikan semua itu, sekarang tubuhku terasa remuk, dan mataku mengantuk, hingga aku kembali terlelap.
Mungkin sangat lama, kini kucoba membuka mata, rasanya tubuhku terasa lebih ringan, hanya kakiku saja terasa sakit bila aku mencoba untuk bergerak.
Aku melihat sesosok lelaki berdiri menghadap jendela, punggungnya tegap, tubuhnya tinggi dengan bentuk tubuh bak binaragawan terlihat dari lengannya yang kekar terlihat dari balik kaus ketat yang ia kenakan, lama dia mematung tak menyadari aku telah bangun.
"Maaf ... Kamu siapa?" aku bertanya.
"Oh, kamu sudah bangun." Dua berbalik menatapku nada bicaranya itu datar terkesan angkuh.
"Iya ... Jangan-jangan kamu pemabuk yang kata suster udah nabrak aku ya!" Ucapku kesal padanya yang telah membuatku merasakan sakit yang baru pertama kali aku rasakan.
"Ya emang aku yang udah nabrak kamu, tapi aku bukan pemabuk," jawabnya membela diri.
"Kalau kamu bukan pemabuk kenapa nyetir mobil sambil mabuk? Bikin celaka orang aja!" aku ngedumel. Kesel.
"Nama kamu Adella Rahma, betul?" tanyanya.
Aaiihhh apa-apaan dia, bukannya minta maaf atau apalah, ini menampakkan raut wajah menyesal pun tidak. Menyebalkan. Eh tapi dari mana dia tau namaku? Aku bersenandika tanpa dia dengar tentunya.
"Kecelakaan itu nggak bikin kamu tuli juga bukan?" tanyanya, dia mendekatkan wajahnya ke wajahku, spontan aku memalingkan pandanganku ke arah jendela. Ku harap dia tidak mendengar detak jantungku yang tiba-tiba tidak beraturan. Dia manis juga ternyata, walaupun sikapnya terlihat sangat kaku.
"Iya, darimana kamu tau namaku," tanyaku sambil berusaha menutupi rasa gugup yang tiba-tiba datang dan tidak mau hilang.
"Dari situ." Dia menunjuk beberapa map yang tergeletak di atas meja kecil di sudut ruangan, map yang sudah lecek dan tampak ada beberapa robekan di sudutnya.
Aku menghela nafas, buruk sekali nasibku, berharap bisa memperbaiki jalan hidupku nyatanya malah bertambah kacau.
"Kalau mau kamu bisa berkerja di butikku, ya anggap saja permintaan maaf dariku karena sudah menabrakmu."
Sebenarnya ingin sekali melonjak dan berteriak bahagia karena ada yang menawari hal yang sudah lama aku cari-cari, tapi mengingat dia sudah membuatku celaka karena menyetir sambil mabuk, bahkan dia sama sekali tidak minta maaf membuatku malas.
"Ya sudah kalau kamu masih butuh waktu berfikir, sejak semalam temen kamu Sinta terus menelpon, tapi baru aku angkat tadi pagi. Dia bilang sore nanti baru bisa ke sini."
Jelasnya sambil menyodorkan telepon genggamku yang baru dia ambil dari laci meja.
Aku menerimanya tanpa terucap kata.
"Aku pergi dulu, kalau kamu butuh bantuan tekan saja tombol itu nanti suster akan datang."
Titahnya sambil menunjuk tombol yang berada di dinding dekat tempat tidurku. Aku hanya mengangguk.
"Ini kartu namaku, kamu bisa menelponku kalau ada perlu."
Dia menyodorkan kartu nama berwarna biru tua.
Pandu Adhinata. Nama yang terpampang dengan sederet nomer di bawahnya.
* Dita Andriyani *
Membutuhkan waktu hingga satu minggu untuk memulihkan kesehatanku. Rumah sakit ini memang jauh lebih bagus di bandingkan kontrakan Sinta, tapi rasanya tidak nyaman sekali di sini. Aku sudah merindukan kasur dan bantal lepek yang biasa aku tiduri. Apa lagi aku selalu sendiri di sini Sinta hanya mengunjungi dan menemani sebentar setelah dia pulang bekerja.
Sedangkan orang yang seharusnya bertanggung jawab karena telah mencelakaiku tidak pernah menjengukku setelah hari itu, aku juga tidak pernah berniat menghubunginya.
"Alhamdulillah ya Del, akhirnya boleh pulang juga."
Sinta memasukkan semua baju gantiku ke dalam tas, aku sedang menghabiskan sarapanku makanan sehat yang hambar aku heran kenapa semua makanan di rumah sakit ini selalu kurang garam.
"Del." Sinta menatapku saat teringat sesuatu
"Hmm ..." Aku hanya berdeham untuk menjawab panggilannya.
"Kamu nggak bilang sama cowok itu kalo mau pulang?" tanyanya aku hanya sekilas menatapnya.
"Nggak, ngapain. Selama ini juga dia nggak punya niat baik buat jengukin aku!" jawabku kesal.
"Harus dikasih tau dong Del," ujar Sinta yang sudah selesai mengemasi barang-barangku.
"Buat apa?" aku menjawab sambil terus mengunyah, rasanya memang hambar tapi sayang kalau tidak dihabiskan belum tentu di rumah nanti aku bisa makan makanan enak begini, paling pake telor ceplok dan kecap.
"Kalo ternyata rumah sakit ini belum dibayar gimana? Emang kamu punya uang buat bayar?" Sinta merebahkan dirinya di ranjang "enak juga ya ranjangnya, pantesan kamu betah sampe seminggu di sini!"
"Enak aja betah, kalo kamu suka kamu aja di sini terus!" Semburku melihat tingkah sabahatku itu.
"Iihh. Ogah amit-amit!" dia berjingkat bangkit dari ranjang.
Aku tertawa geli melihat tingkah sahabatku itu, tapi perkataannya benar juga, aku mengambil gawai di atas meja dan segera mengetik pesan
[Aku udah boleh pulang sekarang.] kirim.
[Siapa?] balasnya.
Iihh nyebelinkan! Dia bener-bener lupa udah bikin aku terkapar di rumah sakit seminggu. Oh iya dia kan belum tau nomerku.
[Adella Rahma, perempuan yang udah kamu celakai hingga terkapar selama seminggu di RS dan kamu lupakan begitu aja!] balasku dengan penuh drama.
[15 menit lagi aku sampe sana.] hanya itu balasnya.
Aku tambah dongkol padanya, apa iya begitu susahnya mengucap kata maaf bagi orang kaya seperti dia.
Tiga puluh menit terasa sebentar kalau di habiskan untuk bersenda gurau dengan seorang sahabat, tunggu dulu! Tadi bukannya dia janji lima belas menit udah sampe sini kenapa ini sampe tiga puluh menit?
Baru saja itu terlintas di fikiranku saat kulihat pintu terbuka.
"Ayo aku anter pulang, aku udah selesai dengan urusan administrasi rumah sakit," suara mas Pandu mengagetkan kami.
Di belakangnya seorang suster menghampiriku untukku melepas selang infus di tangan kiriku.
Sinta menutup mukanya dengan kedua telapak tangan lalu mendekatkan kepalanya ke telingaku.
"Nggak usah berlebihan gitu Sin, aku nggak apa-apa cuma lepas selang infus doang mah nggak sakit!" ucapku melihat ekspresi berlebihan Sinta saat melihat selang infusku dicabut.
Suster di hadapanku tersenyum mengiyakan.
"Bukan itu Del," busuknya di telingaku, membuat aku sedikit bergidik geli.
"Terus?" tanyaku yang tidak mengerti ke mana arah pembicaraannya.
"Cowok itu ... ganteng banget!" ucapnya dengan suara tertahan.
"Ih apaan sih ... Gantengan Arman." jawabku mantap.
"Iya tapi Arman nggak suka ama kamu." Sinta malah meledekku, itulah yang selalu ia lakukan jika aku membicarakan tentang Arman, mungkin tujuannya adalah agar aku sadar dan tidak terus mengharapkan cinta Arman.
"Biarin, yang penting aku suka." jawabku seperti biasanya juga.
"Ya udah, yang ini buat aku aja ya!" ucap Sinta lagi b
"Ih ambil sana! Palingan juga dia enggak mau sama kamu," jawabku sambil tertawa kecil, balik meledeknya seperti yang selalu ia lakukan padaku.
Kasak kusuk kami berdua, tak perduli Mas Pandu mendengarnya atau tidak.
"Ehhem ..." dia berdehem, aku yakin untuk menghentikan kegiatan kami.
Aku dan Sinta saling berpandangan. Aku mencubit kecil tangan Sinta dia hanya meringis.
"Ayo!"
Dia melangkah keluar meninggalkan kami, Sinta langsung menyambar tas dan segera bergegas mengejarnya. Semangat sekali dia "Mas ... Mas tunggu dulu." yang di panggil menengok lalu berdiri mematung menungguku yang belum mampu berjalan cepat.
"Mas kenalin aku Sinta," semangat sekali Sinta mengulurkan tangannya.
"Pandu." jawabnya singkat sambil membalas uluran tangan Sinta lalu berjalan lagi di depan kami.
Sinta mendengkus kesal, aku tertawa kecil lucu melihat Sinta yang kecentilan begitu.
Hingga kami sampai di lobi rumah sakit, mas Pandu sudah menunggu kami di belakang kemudi sebuah mobil mewah.
"Mas aku duduk di depan ya, kan mau ngarahin jalan." Dengan centil Sinta menawarkan diri, aku hanya menggeleng melihat tingkahnya.
"Terserah." hanya itu jawaban yang ku dengar, ingin rasanya aku menyemburkan tawa jika saja aku tidak ingat Sinta akan marah, bisa-bisa aku tidak mendapat tumpangan lagi nanti.
Sepanjang perjalanan hanya suara Sinta yang terdengar berceloteh, tak terasa kami sudah sampai di ujung gang kontrakan kami, mobil memang tidak bisa masuk hingga kami harus berjalan kaki.
"Mas Pandu mau mampir dulu? Biar mobilnya di parkir di sini aja, aman kok." Sinta menawar kan pasti agar dia bisa lebih lama bersama pria tampan itu.
"Nggak usah, terima kasih," jawab Mas Pandu, singkat dan dingin mungkin itu memang sifatnya.
"Oh ya udah," Suara Sinta terdengar sedikit kecewa, heran kenapa Sinta jadi ngebet begitu ama dia. Lalu dia keluar dari mobil dan membukakan pintu untukku.
"Terima kasih ya," ucapku tanpa melihatnya.
"Tunggu dulu Del," panggilnya menghentikan aku yang sudah menurunkan satu kaki dari mobilnya. "Hubungi aku kapan pun kamu siap berkerja."
"Iya," lalu ku tutup pintu mobilnya, dan dia pun melesat pergi.
"Heran ya, ganteng-ganteng ngomongnya ngirit banget, mana sikapnya kaku banget kaya kanebo kering."
Sinta terus saja berceloteh sepanjang perjalanan, tapi kata-katanya bagai terbawa angin tidak masuk kedalam fikiranku apa lagi hatiku, terlebih lagi hatiku kini di penuhi perasaan yang ...
Entah kenapa setiap melihat Mas Pandu aku teringat Arman, ah sayangnya cintaku bertepuk sebelah tangan.
"Del ... Del!" Sinta meninggikan suaranya sambil menepuk pundakku.
"Aduh sakit! Apaan sih?" protesku karena tepukannya yang lumayan keras.
"Lagian, di ajak ngomong dari tadi malah ngelamun, pasti ngelamunin Arman kan! Udah deh lupain dia, dia tuh nggak doyan cewek!" ucap Sinta, selalu saja itu yang dia katakan sampai aku sudah hapal.
"Hustt.. Jangan sembarangan ngomong! Emang tadi kamu nanya apa?" tanyaku yang tidak ingin terus membahas Arman, bisa makin sekarat hatiku kalau terus berbicara tentangnya.
"Kamu jadinya mau terima tawaran kerjaan dari Mas Pandu nggak?" tanya Sinta tentang hal yang sudah aku ceritakan padanya sebelumnya.
"Mmm ... Terima nggak ya?" jawabku bingung
Sinta malah menepuk jidat!