Melahirkan

1432 Kata
"Sah..." Saksi dan para tamu undangan kompak berkata sebelum Bapak penghulu membacakan doa bagi kedua mempelai. Langit biru berhiaskan awan putih menjadi saksi bersatunya cinta yang selama bertahun-tahun terpisah ruang dan waktu. Hari ini Ridho dan Anissa resmi menjadi suami istri di hadapan penghulu dan para saksi keduanya bersimpuh memohon doa restu dari kedua orang tua, orang tua Anissa tampak sangat bahagia melihat mimpi anak tunggalnya menikah dengan pria yang sangat diharapkannya terwujud. Air mata bahagia mengalir dari mata mereka. Sedang orang tua Ridho sepertinya menyimpan luka yang bernama kecewa tetapi berusaha di tutupi dengan senyum yang nampak dipaksakan. Sang mempelai wanita tampak anggun dengan balutan kebaya muslim berwarna putih gading dengan hijab senada, riasan natural sangat pas dengan wajahnya yang memang sudah manis tanpa riasan sekali pun , senyum selalu terukir di wajah ayunya menandakan ada bunga yang sedang bermekaran di dalam hatinya. Sedangkan sang mempelai pria tampak gagah rupawan dengan setelan jas berwarna senada dengan kebaya sang mempelai wanita, bahagia karena bisa membahagiakan Jelita tapi kepada Anissa perasaannya sudah tidak semenggebu dulu. Rasa itu hampa, melihat senyumnya tidak lagi seindah dulu, mendengar suaranya tidak lagi menimbulkan getaran hati sekuat dulu, apakah ini yang dinamakan pudar? Malah kini ada yang mengganggu fikirannya, sejak bertemu Adella seminggu yang lalu ada perasaan aneh yang menjalar di sanubarinya melihat wanita cantik itu dengan perut besarnya, seolah ada sebuah magnet yang menarik pikirannya untuk selalu tertuju pada wanita itu dan bayi dalam kandungannya. "Alhamdulillah... Terima kasih mas, atas kebahagiaan yang kamu berikan kepadaku, Jelita dan kedua orang tuaku. Aku janji akan jadi istri yang terbaik buat kamu." Ucap Anissa sebelum mencium punggung tangan lelaki yang baru saja menghalalkannya. "Aku juga janji akan jadi seorang ayah dan suami yang baik." Jawab Ridho sebelum mencium kening sang istri. Acara pernikahan ini dilangsungkan sangat sederhana hanya dihadiri orang tua dan beberapa kerabat dekat saja, di gelar di kediaman Ridho tanpa ada perayaan. Namun, cukup membuat Anissa bahagia karena bagi dirinya yang terpenting adalah bisa menikah dengan Ayah dari anaknya tersebut. * Dita Andriyani *  Sementara itu di bawah langit biru yang sama, di sebuah rumah sakit. "Sakit, Bu ...." seorang wanita muda merintih sambil menggenggam tangan sang Ibu merasakan sakitnya kontraksi melahirkan untuk pertama kali. "Iya sabar sayang, melahirkan yo memang sakit, tapi ibu jamin suatu saat nanti kamu pasti akan kangen rasa ini kalo anakmu udah gede." Keringat sudah mengalir dari kedua pelipis Adella, mengalir seiring rasa sakit yang semakin kerap terasa. "Aduh, Bu... Sakit... " Adella terus merintih berharap dengan rintihan dapat meringankan sakit yang dia rasa. "Sabar sayang, nanti kalo udah liat dedek bayinya sakitnya nggak akan kerasa lagi." sang Ibu terus menyemangati sambil mengelus punggung Adella. Di depan ruang bersalin seorang pemuda tampan dengan tubuh tinggi dan badan kekar duduk di kursi tunggu dengan raut wajah penuh kecemasan, tapi tidak mengurangi kegagahannya. Usai sholat shubuh tadi dia mendapat telepon dari wanita yang sangat dicintainya. "Sayang, kamu ke sini sekarang ya, anterin aku ke rumah sakit aku udah mules-mules dari semalem." "Beneran sayang? Kamu udah mau melahirkan?" Suara Arman terdengar begitu bersemangat. "Iya, happy banget kedengerannya," ujar Adella meski dengan bibir yang sedikit meringis merasakan sakit di punggungnya  "Iya lah 'kan bentar lagi aku mau ketemu sama anakku," jawab Arman dengan semangat yang lebih menggebu, ia menyambar kunci mobil yang tergeletak di atas meja. "Ya udah kamu hati-hati bawa mobilnya nggak usah buru-buru," pungkas Adella. "Oke sayang, i love you," ucap Arman sebelum menutup teleponnya.  Segera dia memacu mobilnya menuju rumah sang kekasih untuk mengantarnya ke rumah sakit, tapi kenapa mereka lama sekali, matahari sudah tinggi kenapa Ibu Adella belum juga keluar dari ruang bersalin. Hingga kecemasan memenuhi hatinya, tetapi hanya doa yang bisa dia panjatkan semoga Gusti Allah mempermudah persalinannya. Detik hingga menit rasanya berjalan lebih lambat dari biasanya, keheningan ruang bersalin menambah kebingungan di hati Arman, ingin rasanya dia menerobos masuk dan melihat apa yang terjadi di dalam jika saja tidak akan ada seorang suster yang memarahinya jika dia melakukan hal itu. Hingga akhirnya. "Oooeee... Oooeee... " Dia mendengar tangisan bayi dari dalam, batu besar yang seolah menghimpit hatinya luruh seketika berganti kebahagiaan yang tak bisa di gambarkan dengan kata-kata, Lega. "kkreeeekkk... " terdengar seseorang membuka pintu ruang bersalin lalu tampak dokter Hera keluar masih dengan baju berwarna hijaunya. "Pak Arman, selamat ya putra Anda sudah lahir, sehat Ibu dan bayinya." Seketika senyum merekah sempurna di wajah tampan lelaki itu.  "Alhamdulillah, terima kasih dok, boleh saya menemui mereka?" tanya Arman yang sudah tidak sabar untuk melihat wajah bayi yang baru saja Adella lahirkan.  "Nanti ya Pak, sebentar lagi mereka akan di pindahkan ke ruang perawatan," jawab dokter Hera  lembut.  "Baik dok terima kasih." Lelaki itu terlihat sangat bahagia hingga senyum tidak pernah hilang dari wajahnya. "Iya Pak sama-sama saya permisi dulu." dokter Hera pamit dengan ramah. Rasanya sudah tidak sabar ingin segera menemui Adella dan bayinya, Arman menunggu sambil tersenyum-senyum sendiri tak dihiraukan lalu lalang orang yang memandang heran padanya, hatinya semakin bahagia membayangkan sebentar lagi dia akan menikahi wanita yang sangat dicintainya itu, lalu membawa keluarga barunya memulai hidup baru di Bandung. * Dita Andriyani *  Allahu Akbar, Allahu Akbar. Allahu Akbar, Allahu Akbar. Asy-hadu anlaa Ilaaha Illallooh. Asy-hadu anlaa Illaha Illalloh... Asy-hadu anna Muhammadar Rosululloh. Asy-hadu anna Muhammadur Rosullulloh... Hayya 'alash sholaah Hayya alash sholaah... Hayya alal falaah Hayya alal falaah... Allahu Akbar, Allahu Akbar. Laa Illaha Illalloh. Air mata bahagia tak terbendung hingga mengalir dari kedua sudut mataku, melihat Arman begitu khidmat mengadzani putra kecilku yang terlelap dalam dekapannya. Bulir bening kulihat menetes dari matanya sebelum mengecup kening anakku, terlihat begitu nyata bahwa dia sangat menyayanginya walau bayi itu bukan titisannya. Seulas senyum dia berikan padaku, menghilangkan semua lelah dan letihnya perjuangan melahirkan seorang anak ke dunia, semua sakitnya hilang begitu melihat malaikat kecilku, ternyata benar yang di katakan Ibu. "Assalammualaikum, ... Wah selamat ya akhirnya jadi seorang Ibu." Mita langsung menghambur dan mencium pipi kanan dan kiriku begitu masuk ke kamar perawatan tempatku menginap untuk beberapa hari mendatang.  Rupanya dia datang bersama suaminya dan Budhe Narti. "Waalaikum salam... " jawab kami, Arman masih betah menimang bayiku walaupun dia sudah terlelap. "Sini nak Mbah dhe mau gendong cucu baru." budhe Narti mengulurkan kedua tangannya pada Arman meminta agar bayiku diberikan padanya. "Eealahh... Baru lahir wes ganteng gini yo le, ini nduk wajahnya mirip banget sama mantan suamimu!" budhe Narti berbicara sambil terus memperhatikan wajah bayiku, hening, tidak ada satu pun dari kami yang berkomentar. "Mau dikasih nama siapa dedek ganteng ini Del?" Mita bertanya padaku, sambil tangannya mengelus gemas pipi anakku. "Eemmm siapa ya? Biar Ayahnya aja yang kasih nama." Aku menatap Arman memberinya isyarat untuk memberi nama anakku. "Atqa, pria yang berbakti, agar selama hidupnya dia bisa menjadi putra yang selalu menyayangi dan melindungi Ibunya." Aku tersenyum gembira mendengar nama yang baru Arman berikan pada putraku "Atqa ... bagus sekali namanya, lengkapnya siapa le?" Sekarang giliran Ibuku yang bertanya "Atqa putra pradipta. walaupun aku bukan Ayah biologisnya tapi selamanya dia putraku. Putra dari Arman pradipta." Mantap dan penuh keyakinan kata-kata Arman menembus hatiku laksana siraman air hujan yang memekarkan bunga -bunga di sana. "Terus kapan kalian akan menikah?" suami Mita yang sedari tadi hanya diam mengajukan pertanyaan yang mampu membuat rona merah di pipiku. "Nanti begitu masa nifas Adella selesai, mereka akan meresmikan hubungan mereka." Ibuku yang menjawab sembari mengelus rambut panjangku. * Dita Andriyani *   Dokter Hera bilang kami harus menginap di rumah sakit selama tiga hari, Atqa harus menerima beberapa vaksinasi sebelum pulang. Bayi mungil itu telah terlelap setelah merasa kenyang kususui tadi, Alhamdulillah ASI ku sudah lumayan deras. Ia tidur di box bayi yang terletak di samping sofa bed di mana Ibu ku terlelap di sana. Arman selalu sigap membantuku, memenuhi semua yang aku butuhkan. "Sayang, terima kasih ya, kamu udah bisa terima Atqa sebagai anak kamu." Hanya kata terima kasih yang mampu kuucapkan padanya tetapi sepertinya tidak akan pernah berhenti aku ucapkan karena besarnya ketulusan hati Arman mencintai putraku.  "Sayang, aku tuh cinta sama kamu tulus dari dalam sini," di genggamnya tanganku lalu di letakkan di dadanya "Maka apapun yang ada dalam hidupmu aku pun harus mencintainya." "Terima kasih ya, sayang. Kamu udah tulus cinta sama aku dari dulu. Walaupun cinta itu telah membuat hidupmu sengsara," sambungnya. Arman terus mendekap tanganku didadanya sekarang di pindahkan ke bibirnya, lama... Seolah tak ingin lagi melepaskannya. "Ya udah sekarang kamu istirahat, nanti kalau Atqa bagun biar aku yang gendong." Diciumnya keningku lalu memutar kursinya kini menghadap box di mana Atqa terlelap di sana, teduh sekali pandangannya, sungguh bila orang lain yang tidak mengenal kami pasti tidak mengira kalau Arman bukan Ayah kandungnya. Terima kasih ya Allah, aku bahagia. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN