Aku duduk bersimpuh penuh sesal di kaki pria yang menikahiku beberapa bulan yang lalu itu, dia yang kini duduk di tepi ranjang kamar kami ini hanya diam tak ada satu punun jawaban dari ribuan kata maaf yang aku ucapkan, rasa bersalah, malu dan juga takut bercampur menjadi satu dalam hatiku sekarang.
Mungkin aku memang tidak pantas mendapatkan pengampunan darinya, hingga aku pun tidak mampu berharap pada kelangsungan rumah tangga kami lagi, tetapi setidaknya aku masih terus berharap ada maaf untukku
"Mas Della mohon, bicaralah. Marahin aku Mas, hukum aku, kalo perlu pukul aku Mas, aku terima ini semua salahku," entah sudah berapa puluhan mungkin ratusan kali kata ini terucap dari bibirku, diamnya terasa begitu menyakitkan tetapi aku tahu rasa sakit ini tidak ada apa-apanya dibandingkan rasa sakit yang telah aku berikan padanya.
"Buat apa Mas marah, buat apa Mas mukul kamu, toh semua itu nggak akan merubah apapun," nada bicaranya datar namun terasa sangat menyakitkan.
"Mungkin kamu cuma di manfaatkan Arman untuk balas dendam, tapi kamu juga menghancurkan hati Mas dengan penghianatan kamu, selama ini Mas selalu berharap kamu bisa mencintai Mas tapi nyatanya kamu malah terjebak dalam cinta gila Arman."
Mas Ridho terus mengungkapkan kekecewaannya, aku semakin tenggelam dalam penyesalan.
"Mas nggak perduli kamu dan Arman benar-benar saling mencintai atau tidak, yang Mas tau kamu telah menodai pernikahan kita dengan penghianatan, kamu telah menginjak-injak harga diri Mas dengan berselingkuh apalagi itu kalian lakukan di rumah Mas sendiri, sungguh keterlaluan kamu," tangan Mas Ridho mengepal rahangnya mengeras mengisyaratkan kuatnya dia meredam emosi.
"Mas ... maafin aku," aku terus saja menangis pilu, tergugu sambil menaruh kepala di atas lututnya.
"Mas nggak bisa maafin kamu, cepat kemasi barang-barangmu Mas anter kamu pulang ke rumah orang tuamu," kata-katanya penuh keyakinan, membuat hatiku yang telah retak seketika menjadi hancur bagai serpihan debu.
"Mas,, aku mohon ...," belum sempat aku melanjutkan ucapan Mas Ridho sudah bangkit dari duduknya membuatku yang tengah bersimpuh di kakinya terdorong ke belakang.
"Sudah cepat aku tunggu di bawah," ucapnya di ambang pintu.
* Dita Andriyani *
Malam belum begitu larut namun suasana di jalanan ini begitu mencekam, seperti suasana hatiku. Sepanjang perjalanan menuju kampung halamanku kami berempat hanya saling diam terlarut dalam fikiran kami masing-masing mungkin hanya ada satu persamaan rasa di dalam hati kami yaitu sesal.
Bapak mertuaku mungkin menyesali perbuatanya di masa lalu.
Ibu mertuaku mungkin menyesali tidak pernah merawat Arman dengan baik.
Mas Ridho mungkin menyesali karena telah memilih wanita yang salah untuk di nikahinya.
Dan aku, menyesali semuanya. Terlalu banyak hal yang aku sesali. Mungkin mencintai Arman juga hal yang harus aku sesali! Tapi tidak, mencintai Arman bukanlah keinginanku, bukan salahku bila rasa cinta ini tumbuh dan menjadi semakin kuat dan kokoh dalam hatiku, yang harus aku sesali adalah aku yang tidak bisa mengendalikan perasaanku sendiri hingga terjebak dalam permainan Arman.
Arman tega sekali dia memanfaatkan cintaku, memupuk cinta yang telah lama terpendam hingga bersemi kembali menjadi bunga yang bermekaran indah namun berracun dan mematikan semua yang ada di sekitarnya.
Sekitar setengah jam perjalanan kami pun sampai di rumah ibuku, Ibu yang baru selesai menjalankan ibadah shalat isya terkejut dengan kedatangan kami, sedangkan Irma adikku belum pulang dari studi tour bersama Risti, mereka memang satu sekolah.
Ibu menangis sejadi-jadinya terlihat sangat shock setelah Bu Rita menceritakan semuanya.
"Nak Ridho Ibu minta maaf, Ibu selama ini selalu berusaha mendidik Adella dengan baik, Ibu mohon maafkan ke khilafan Della nak," Ibu menangis sambil mengguncang-guncangkan tangan Mas Ridho.
"Tidak bu, Adella sudah menorehkan luka yang terlalu dalam di hati saya, dia sudah menginjak-injak harga diri saya sebagai seorang suami dan sebagai seorang laki-laki, " Mas Ridho berbicara tegas tanpa melihatku sedikit pun.
"Ibu mohon, jangan mengambil keputusan dengan tergesa-gesa apalagi kalian sedang emosi," Ibu tetap memohonkan ampunan untukku, walaupun aku tau Ibu juga sangat kecewa padaku.
"Saya sudah tidak dalam keadaan emosi Bu, semua sudah saya fikirkan baik-baik. Anak ibu sudah menodai pernikahan kami bahkan sejak hari pertama kami menikah," Mas Ridho tetap tak bergeming dari pendiriannya.
Pak Raharja hanya diam walau kulihat ada sedikit iba saat melihatku, Sementara Bu Rita tetap memandangku penuh kebencian.
Aku sudah menyerah pada kesalahanku sendiri, sudah enggan untuk membela diri karena nyatanya semua ini memang salahku.
"Adella Rahma," aku tersentak dari lamunan kosongku saat ku dengar suamiku menyebut namaku "Adella Rahma binti Rohadi aku mentalakmu, aku menceraikanmu, aku membebaskanmu sebagai istriku.
Mulai sekarang aku kembalikan kamu kepada orang tuamu," mantap kata-kata cerai itu keluar dari mulut Mas Ridho.
Ibu semakin menangis sesegukan sambil memelukku, mencoba menguatkanku tapi aku tidak merasakan apa-apa selain hampa.
"Iya Mas, aku terima keputusanmu," hanya itu yang bisa aku ucapkan.
Isak tangis ibu mengiringi Mas Ridho dan kedua orang tuanya keluar rumah, dengan ucapan permintaan maaf yang berkali-kali terucap.
.
Tinggalah aku dan Ibu berdua berpelukan dalam lara.
"Maafin Della Bu, maafin Della..." aku hanya mengulang-ulang kata itu hingga aku terlelap dalam dekapan ibu.
Tttlluuunnngggg... Notifikasi dari telpon genggamku berbunyi.
(Proses perceraikan kita akan segera akubdaftarkan ke Pengadilan agama. Barang-barang kamu yang masih tertinggal di rumahku akan di kirim kurir ke rumah Ibumu.) Baru kali ini membaca pesan terasa sangat menyakitkan.
* Dita Andriyani *
POV Ridho
Sudah beberapa malam aku kembali menjadi penghuni tunggal di kamar ini setelah aku pulangkan istri tercintaku ke rumah orang tuanya, inilah yang terbaik untuk kami di samping luka yang dia berikan untukku.
kesalahan yang tidak mungkin aku maafkan bagiku pernikahan adalah ikatan suci yang benar-benar harus di jaga bersih dari noda sementara istriku sudah memberikan noda yang sangat menjijikan pada pernikahan kami, tidak ada kesempatan kedua untuk penghianat.
Selain itu, aku juga tidak akan bisa hidup bersama orang yang tidak mencintaiku percuma saja aku memberinya hati yang penuh cinta bila cintanya hanya milik Arman.
Kemarin lusa aku sudah mendaftarkan gugatan cerai ke Pengadilan agama, mungkin kemarin dia sudah menerima surat gugatannya kata pengacaraku 30 hari waktu yang cukup untuk proses mengakhiri rumah tangga kami, semoga semuanya berjalan lancar aku hanya ingin semua ini cepat berlalu.
Melihat foto-foto pernikahan kami yang tergantung di dinding kamar membuat dadaku semakin sesak bagaikan ada sebuah gunung yang menindihnya, ku masukkan semua foto itu ke dalam sebuah kotak bersama barang-barangnya yang masih tertinggal di sini akan aku pakai jasa ekspedisi untuk mengirimnya.
Kuedarkan pandangan ke sekeliling memastikan tidak ada lagi yang tertinggal. Hingga aku melihat sebuah kotak berwarna ungu tergeletak di lemari bekas Adella menyimpan baju-bajunya. Sepertinya aku mengenal kotak itu, sebuah kotak yang pernah ku berikan pada seseorang, Aku mengambil untuk memastikan kalau itu hanya kotak yang sama.
Seperti tersambar petir saat aku lihat semua isi kotak itu, foto-foto Annisa dan seorang anak? Anakku?
Aku membaca buku diary di dalamnya, Tulisan tangan Anissa mengisahkan perjalanan hidupnya sepeninggalanku dengan benih cinta yang tumbuh subur di rahimnya, dia tidak pernah memberi tahuku karena tidak ingin mengganggu perjuanganku meniti karier, dia mengorbankan masa depannya demi masa depanku dia meninggalkan cita-citanya agar aku bisa meraih cita-citaku, Mungkin dia juga sakit hati karena penolakanku saat dia mengingatkan akan janjiku dulu.
Sungguh aku merasa aku adalah seorang pecundang sejati tidak mempertanggung jawabkan semua perbuatanku walaupun aku tidak mengetahui tentang kehamilan Annisa tapi seharusnya aku kembali untuk menikahinya bukan malah menikahi Adella yang terang-terangan tidak mencintaiku.
Mungkin benar yang Arman bilang semua yang terjadi adalah hukuman untukku, Arman menghukumku karena kebencian dan semua perlakuan burukku padanya, dan penghianatan Adella adalah karma karena aku yang begitu jahat meninggalkan Annisa dan anakku.
Tapi kenapa kotak ini bisa ada di lemari Adella?
Berarti dia sudah mengetahui semua ini, Tapi kenapa dia tidak memberi tahuku?
Sungguh egois sekali dia menghalangiku untuk mengetahui tentang keberadaan anakku sementara dia sendiri menghianatiku.