"Nomor yang Anda hubungi tidak terdaftar."
"Nomor yang Anda hubungi tidak terdaftar."
"Nomor yang Anda hubungi tidak terdaftar "
Selalu itu saja yang kudengar ketika berusaha menghubungi nomor telepon Arman selama hampir sebulan ini, sebenarnya bosan mendengar suara operator itu tetapi aku tidak pernah lelah berusaha menghubunginya, berharap suatu saat nomor itu kembali aktif dan aku bisa mendengar suara Arman.
Seperti di telan bumi. Dia benar-benar menghilang dari kehidupanku setelah menghancurkannya, Meskipun begitu besar kekecewaanku padanya. Begitu sakit hatiku karena perbuatannya padaku tapi semua itu tidak bisa menghapuskan rasa cintaku padanya, Cinta yang sudah terlalu dalam tertanam di hatiku, mendarah daging dalam hidupku.
"Arman di mana kamu sekarang, Aku sangat mengkhawatirkan kamu," gumamku lirih berbicara kepada layar gawai yang sudah berubah warna menjadi hitam.
Rasanya sulit aku percaya kalau Arman hanya memanfaatkan aku, Aku harus mendapatkan penjelasan akan kuatnya cinta yang terpancar di matanya. Apapun rencana Arman pada keluarga Pak Raharja, Aku yakin kalau Arman benar-benar mencintaiku.
* Dita Andriyani *
"Ealah ayu-ayu kok klakuane begitu ya, memalukan!"
"Iya kasian Ibune menanggung malu karena perbuatan anaknya,"
"Jangan boleh kalo anak bujangmu naksir si Irma takut-takut nanti kelakuannya kayak Mbak yu ne,"
Inilah hukuman nyata yang harus kuterima karena kesalahan yang telah kuperbuat, sangsi sosial itu nyata, dan terasa lebih menyakitkan dari pada hukuman penjara sekali pun. Tidak segan-segan para tetangga menggunjing dengan suara yang cukup keras agar terdengar olehku, Yang lebih menyakitkan adalah Ibu dan adikku ikut terkena imbas dari perbuatanku.
"Udah nduk, Nggak usah kamu dengerin omongan orang, tetangga tuh ya emang gitu, Seneng kalo ngumbar-umbar aib orang nanti kalo capek juga mereka diem sendiri," Ibu memeluk memberi kekuatan untuk hatiku yang rapuh, padahal aku tahu kalau hati ibu juga malu dan merasa hancur karena hal itu. Tetapi ibu tetap lah ibu, wanita luar biasa yang mencintaiku tanpa ada batasnya.
"Maafin Della, Bu. Karena perbuatan Della kalian semua jadi menanggung malu," aku semakin terisak "Della jadi bisa merasakan mungkin begini perasaan Arman yang selalu di hujat karena kesalahan Ibunya."
"Ini juga kesalahan Ibu nduk, seandainya Ibu nggak maksa-maksa kamu untuk menikah dengan Ridho mungkin semua nggak akan seperti ini," Ibu mengeratkan pelukannya padaku.
"Arman belum bisa di hubungi?" ibu tau kekhawatiran ku pada Arman. Aku hanya menjawab dengan gelengan kepala.
* Dita Andriyani *
Hari ini sebuah buku kecil berwarna hijau bertuliskan buku nikah istri milikku sudah berganti dengan sebuah surat cerai, Ku genggam erat kertas yang menandakan diri ini resmi menjadi janda.
Sudah tanpa air mata dalam menjalani hari-hari yang terus berlalu aku mencoba bangkit dari keterpurukanku, Beberapa kali bertemu Mas Ridho dalam persidangan perceraian kami dia bersikap seolah-olah tidak pernah mengenalku, Ini adalah hukuman yang harus aku terima atas semua dosa yang tercipta karena cinta.
Sedangkan orang yang ku cinta entah berada di mana.
.
"Mbak, mau ke mana, kok, Mbak masukin baju ke dalem koper?" Irma nyelonong ke kamar dan mendapati aku yang sedang berkemas, ada raut penasaran juga kekhawatiran kulihat di wajahnya.
"Mbak mau cari kerja di Jakarta, Mbak harus ngelanjutin kehidupan Mbak," jawabku tanpa memandangnya, fokus menata baju-bajuku ke dalam koper.
"Mbak mau kerja apa," Irma terus mengintrogasiku seperti ada ke tidak relaan dari nada bicaranya untuk melepas kepergianku, walau ia tidak tahu hidup seperti apa yang aku jalani saat bekerja di Jakarta dulu.
"Mungkin Mbak bakal coba balik ke tempat Mbak kerja dulu mudah-mudahan di terima lagi, atau Mbak bisa juga minta bantuan teman-teman Mbak, mereka pasti bisa bantu Mbak buat dapat pekerjaan baru," aku menjawab sambil menariknya dalam pelukan. Sesaat tiba-tiba aku merasakan dorongan yang kuat dari dalam perutku
"Hhhooeekkk ... Hhhooeekkk," semua makan malamku kembali keluar begitu masuk di kamar mandi, Kepalaku terasa pusing, semua yang ada di sekelilingku terasa berputar, tubuhku lemas bagaikan tak bertulang.
Kuputuskan membenamkan diri di bawah selimut walaupun malam belum larut, Berharap segera terlelap dalam dekapan malam hingga mimpi indah membuai memberi sebuah harapan.
.
Pagi ini, Aku hanya mampu tersedu lirih di pangkuan Ibuku tanganku lunglai menggenggam benda pipih berwarna putih dengan dua garis merah muda terpampang nyata di ujungnya.
Kenapa benih ini tumbuh subur dalam rahimku setelah cinta ayahnya telah layu untukku, Maafkan Ibumu ini nak bila Ibu akan memberikan hidup yang sulit untukmu.
"Kamu harus memberi tahu nak Ridho nduk, Bagaimanapun dia ayahnya," kata-kata ibuku begitu lembut sambil terus mengelus rambutku.
Kata-kata Ibu memang benar. Itulah yang membuatku memberanikan diri menemuinya setelah beberapa minggu kami resmi berpisah, Butuh waktu untuk mengumpulkan nyali untuk menghadapi apapun yang akan terjadi nanti.
Aku tidak berani ke rumahnya maka aku putuskan menemui Mas Ridho di kantornya pada jam makan siang.
"Permisi Mbak, saya mau ketemu Pak Ridho," ucapku pada seorang pegawai yang memakai seragam berwarna merah dengan name tag bertuliskan Dian Maharani.
"Sebentar ya Mbak, saya tanya Pak Ridho dulu," jawabnya ramah sebelum berlalu menuju ruangan Mas Ridho.
Tak lama kemudian wanita itu muncul di ikuti Mas Ridho di belakangnya.
"Ayo ikut," sepertinya Mas Ridho tidak ingin menemuiku di kantornya hingga mengomandoku untuk mengikutinya ke sebuah cafe yang berada tidak begitu jauh dari kantornya, Aku hanya mengekor tanpa berani banyak bicara.
"Ada apa?" tanyanya singkat setelah kami duduk di meja paling sudut di cafe yang sedang sepi ini, Sepertinya Mas Ridho sudah sangat enggan bicara padaku.
"Aku hamil," tanpa berani memandang wajahnya aku berkata lirih tapi masih dapat dia dengar dengan baik.
"Lalu?" belum pernah aku melihat Mas Ridho bersikap dingin seperti ini.
"Ini anakmu Mas," aku menekan nada bicaraku mencoba menahan tangis.
"Kamu yakin? Kalau aku sih enggak!" kata-kata Mas Ridho sungguh menghancurkanku.
"Mas, aku memang menghianati kamu, Tapi aku sama sekali enggak pernah ngelakuin hal itu sama orang lain, Anak ini benar-benar anak kamu Mas," air mataku mulai mengalir deras, aku sadar aku memang sudah tidak pantas lagi mendapat sebuah kepercayaan tetapi aku hanya ingin meluahkan perasaan jika ini memang anaknya.
"Sekarang kamu tanya pada dirimu sendiri, Masih pantaskah kamu di percaya?" Mas Ridho memberiku pertanyaan yang sungguh menohok hatiku, Dia memang benar mungkin aku sudah tidak pantas mendapat kepercayaan, Tapi anak ini memang benar-benar anaknya.
Aku tidak bisa menjawab pertanyaannya hingga ku dengar suaranya meninggi berbicara menatapku penuh amarah
"Satu lagi bukti ke egoisan kamu! Kamu menyembunyikan fakta tentang Jelita sementara kamu menghianatiku! Sebenarnya apa mau kamu!" Ternyata Mas Ridho sudah menemukan kotak itu, mengetahui fakta tentang Annisa dan Jelita tetapi dengan cara yang kurang tepat.
"Mas aku sama sekali nggak ada niat menutupi hal itu dari kamu, Tapi aku belum sempet bilang ke kamu kalo Anissa dateng. Aku tau bagaimana menderitanya Anissa, aku nggak mungkin tega misahin kamu dan Jelita," aku berusaha menjelaskan tapi Mas Ridho tetap tidak memperdulikan kata-kataku.
"Udah, Aku udah nggak ada urusan lagi sama kamu." dia melangkah cepat meninggalkanku yang masih terpaku dengan semua kenyataan pahit yang kini ada dalam hidupku.
Memikirkan semuanya baik-baik, memikirkan bagaimana nasib anakku nanti.
Biar se isi dunia meragukan tapi bayi dalam kandunganku benar-benar anak Mas Ridho.
Bagiku itu sudah cukup menjadi bekal untuk menghadapi badai di hari depan.
Aku akan belajar dari kekuatan Arman dalam menghadapi semua luka dan derita.
Aku akan belajar dari Anissa dalam pengorbanan demi buah hati.