Alhamdulillah, hari ini Atqa sudah berusia tujuh hari.
Acara aqiqah sudah selesai dilaksanakan, para tamu yang datang sudah beranjak pulang, rasanya lelah sekali hari ini ingin cepat-cepat kurebahkan tubuh di pembaringan.
"Tang kintung.. Kintung.. Kintung.. Sayangnya Ayah udah botak sekarang jadi tambah emesh deh, Atqa sayang harus jadi anak sholeh ya, sayang sama Bunda dan sama Ayah juga,"
Aku terpaku di ambang pintu melihat dalam kamarku Arman tengah bermain dengan Atqa, bayiku tersenyum lalu melenguh sambil menggerakkan tangan dan kakinya seolah mengerti apa yang di katakan Arman.
"Mbak ada yang mau ketemu," tepukan di pundak membuatku sedikit terkejut.
"Siapa dek? Kok muka kamu aneh gitu?"
Irma tidak menjawab, aku melongokkan kepalaku ke ruang tamu hingga terlihat Mas Ridho duduk di sana.
Aku sedikit gugup saat menemuinya, tapi sangat penasaran apa yang sebenarnya dia inginkan hingga datang ke mari.
"Mas ada perlu sama Della?" tanyaku begitu aku duduk di sofa yang ada di hadapannya sebuah meja menjadi pembatas kami.
"Mas sudah menikah sama Anissa, tapi Anissa sudah tidak bisa hamil lagi rahimnya di angkat setelah melahirkan Jelita." Mas Ridho bicara dengan tenang tetapi penuh penekanan, tanpa basa-basi.
Aku masih tidak mengerti apa maksudnya tapi aku mulai takut, kuremas bantal sofa yang kupegang menutupi perasaanku yang mulai di landa kecemasan.
"Terus? Maksud Mas Ridho ke sini apa?" tanyaku lagi berusaha menatap dengan kuat wajah datarnya mencoba untuk tidak menangis atau malah marah padanya.
"Aku mau ketemu anakku!" Bukan sebuah permintaan tetapi terkesan seperti sebuah pemaksaan.
"Anak? Bukankah Mas Ridho sudah menolaknya, kamu bilang dia bukan anakmu!" Seruku mengingatkannya pada hari di mana dirinya menolak kenyataan bahwa bayi yang aku kandung adalah anaknya.
"Kamu menghianati aku Del, wajar bila aku emosi dan tidak percaya kalau dia anakku," jawabnya datar.
"Terus kenapa sekarang kamu yakin kalau dia anakmu?" Sinis, aku mulai tidak suka pembicaraan ini.
"Aku hanya tidak mau mengulang kesalahan yang sama, aku pernah meninggalkan Jelita dan aku tidak akan lagi meninggalkan anakku."
Ibu keluar kamar dengan membawa Atqa dalam gendongannya, dan menaruhnya di pangkuan Mas Ridho.
"Ini memang anakmu nak Ridho, wajahnya sangat mirip denganmu, ini sebagai bukti bahwa Adella tidak pernah berbuat sejauh itu dengan Arman. Yang salah hanya cintanya yang terlalu besar untuk Arman, Adella memang salah sudah menghianati pernikahannya tapi anak ini adalah darah dagingmu."
Mas Ridho terisak sambil merengkuh Atqa dalam pelukannya, sesekali Atqa menggeliat lalu kembali tenang mungkin dia merasakan ikatan yang kuat dengan Ayah kandungnya.
"Adella, kamu masih bisa punya banyak. Sedangkan aku sudah tidak bisa memiliki anak lagi dari Anissa, aku mohon berikan Atqa padaku."
Suara Mas Ridho parau terdengar di sela isak tangisnya. Namun bukan iba yang kurasakan tapi amarah, aku spontan berdiri dan mengambil Atqa dari pangkuannya.
"Kamu gila ya Mas? Kamu mau ambil dia setelah dulu kamu tolak dia, bahkan kamu ragu apakah dia anak kamu atau bukan!"
Aku tidak bisa menahan emosi hingga nyaris berteriak.
"Lebih baik sekarang kamu pergi, anggap saja Atqa bukan anak kamu dia anak Arman!"
Mendengar perkataanku mas Ridho terlihat geram.
"Aku bakal tempuh jalur hukum! Aku pasti bakal dapetin hak asuh Atqa, aku lebih mampu membiayainya!"
Mas Ridho mengancamku, hingga Arman yang sedari tadi mendengarkan pembicaraan kami dari dalam kamar keluar.
"Silahkan kalau Mas Ridho mau ambil jalur hukum, tapi tidak ada satu alasan pun yang bisa membuat Adella kehilangan hak asuh atas Atqa. Adella bisa menafkahi Atqa dia adalah seorang pemilik butik besar di Bandung, Adella sehat lahir dan bathin, Adella bukan seorang pecandu alkohol atau narkoba. Dan satu lagi, Atqa lahir setelah kalian bercerai. Tidak ada satu alasan pun yang bisa membuat Mas Ridho mendapatkan hak asuh Atqa." Aku merasa lebih tenang mendengar apa yang Arman katakan.
"Arman!" Mas Ridho terlihat begitu marah melihat Arman terlebih mendengar perkataannya.
Mas Ridho mencengkeram kerah kemeja yang dikenakan Arman. Siap menjatuhkan pukulan ke wajahnya jika saja tidak ada sepasang tangan yang menghalangi.
Annisa. Entah sejak kapan dia di sini, disebelahnya Risti berdiri ketakutan sambil memeluk sebuah kado bersampul biru dengan motif boneka beruang.
"Mas aku mau bicara," Anissa menarik tangan Mas Ridho mengajaknya keluar rumah dan duduk diteras.
* Dita Andriyani *
"Aku kecewa, Mas. aku sangat kecewa sama sikap kamu!"
Anissa berujar sambil menghapus air mata yang mulai deras mengalir.
"Nis Mas cuma ..." Ucapan Ridho berhenti saat Anissa menyela.
"Nyatanya Mas Ridho nggak bisa nerima takdir kalo aku udah nggak bisa kasih anak lagi 'kan! Kalo Mas mau, Mas bisa ceraikan aku dan menikah lagi sama wanita lain yang bisa kasih Mas Ridho anak." Terdengar pilu tetapi tegas dan kuat, seperti kepribadian Annisa selama ini.
"Anissa! Jangan sembarangan ngomong gitu dong!" Tidak kalah tegasnya Ridho menjawab.
"Mas, aku tau Mas Ridho pengen banget punya anak lagi, yang nggak cacat kayak Jelita 'kan, tapi bukan gini caranya, Mas mau misahin Adella sama anaknya? Kamu tuh jahat Mas!" Annisa terlihat gerambdnegan apa yang suaminya lakukan, ia menghapus air mata yang mulai berjatuhan.
"Nis, ini tuh nggak ada hubungannya sama Jelita, aku sayang sama Jelita." Ridho membela diri.
"Kalo kamu tau rasanya sayang ke anak tuh bagaimana, nggak seharusnya kamu kepikiran buat ambil anaknya Adella walaupun dia anak kamu, tapi kamu nggak boleh misahin dia dari Ibunya."
Mas Ridho kembali terisak, kata-kata sang istri mungkin mampu menyadarkannya.
Aku, Ibu dan Arman menunggu mereka di ruang tamu, membiarkan mereka meredam gejolak emosi masing-masing.
Irma mengajak Risti menjaga keponakan mereka di dalam kamar.
Sedangkan kami sudah bisa berfikir lebih jernih saat Anissa dan mas Ridho duduk bersampingan di hadapan kami.
"Maafkan Mas, Adella. Mas sudah terbawa emosi," Mas Ridho mengawali kata.
"Iya Mas, Della juga minta maaf atas semua kesalahan Della. Kalau Mas berkenan sekarang kita buka lembaran baru dalam kehidupan yang lebih baik. Kita harus bisa jadi orang tua yang baik buat Atqa. Aku akan mengenalkan kalian sebagai Mama dan Papa pada Atqa, kalian juga orang tuanya, kalian bisa kapan saja menemuinya. Kita akan merawatnya bersama."
Terlihat secercah kebahagiaan di wajah mereka, Anissa dan Mas Ridho saling berpandangan lalu tersenyum bersama.
"Terima kasih Adella, Arman maafin Mas ya,"
Mas Ridho bangkit lalu menarik Arman dalam pelukannya, Arman menyambutnya sekarang mereka berdua larut dalam tangisan, banyak sekali kata maaf terucap dari keduanya.
kami semua menyaksikan penuh haru pemandangan ini, sebuah kobaran api yang berbahan bakar dendam padam seketika.
Atqa, dia benar-benar membawa kebahagiaan dan kedamaian untuk keluarga kami.
* Dita Andriyani *
Kupandangi wajah mereka satu persatu di pagi ini, hanya ada senyum tulus dan bahagia di wajah mereka.
Bu Rita yang terakhir kali kulihat begitu membenciku sesaat tadi memelukku berucap kata yang sama denganku, kata maaf.
Jika dirunut semua hari dalam hidupku hari ini adalah hari paling membahagiakan, hari ini aku kembali resmi menjadi seorang istri, istri dari pria yang sangat kucintai.
Hidupku terasa begitu sempurna, aku memiliki Atqa, aku memiliki Arman dan keluarga besar yang In shaa Allah akan terus saling menyayangi.
Aku yakin Atqa akan menjadi anak yang tumbuh penuh cinta dan kebahagiaan, dia memiliki, Bunda, Ayah, Mama, Papa dan Kakak perempuan juga banyak Kakek dan Nenek.
Aku akan menetap di Bandung sesuai rencana kami, sedangkan Mas Ridho, Anissa dan Jelita akan tinggal di Jakarta. Sesekali kami akan saling mengunjungi.
Kami berjanji akan memberikan yang terbaik untuk buah hati kami, Atqa.
Aku sadar tidak akan ada jalan yang tidak terjal dalam hidup kami, tapi aku berjanji akan menjadi pribadi yang lebih baik menjalani kehidupan yang tidak akan selamanya manis.
In shaa Allah.