Bolehkah aku bertaubat?
Bila Rabb ku bisa mengampuni dosa walau sebanyak buih di lautan, kenapa insan di dunia ini selalu menganggapku hina seolah mereka adalah manusia-manusia suci tanpa dosa. Menghardikku, mencibirku, membenciku seolah hanya akulah sang pendosa di dunia ini, seolah aku adalah satu-satunya orang yang pernah melakukan kesalahan.
Rabbku yang menumbuhkan rasa cinta di dalam hatiku hanya saja aku yang tidak bisa membawa diriku menuju jalan kebaikan, lalu apakah hanya aku saja yang pernah salah jalan hingga kalian merasa berhak menilaiku nista.
Aku pernah berada dalam ketidaksetiaan tetapi bila aku diberi kesempatan aku berjanji akan setia bersama cintaku atau tidak sama sekali.
Menata hati dan hidup yang sudah berantakan tidaklah mudah, orang sudah menganggap hina siapalah yang mau mengiba.
Mereka boleh menghinaku tapi tidak dengan anakku, Sekuat apapun dinding hatiku nyatanya air mata tetap dapat menembusnya.
Saat tatapan mencela semakin tajam kurasa seiring tersebarnya berita kehamilanku dan penolakan ayah dari bayi ini.
Semua ini adalah dosaku, maka dengan ikhlas hati aku menjalani segala hukumannya, tetapi rasanya bridal pernah bisa hatiku ikhlas jika yang dihina adalah anakku yang tidak berdosa.
Aku harus mencari Arman di mana pun dia, aku harus mendapatkan penjelasan darinya.
* Dita Andriyani *
Aku tertegun di depan sebuah bengkel besar yang juga menjual berbagai sparepart motor dan mobil.
Ini adalah tempat ketiga yang aku datangi sejak pagi tadi, Semua bengkel Arman berjalan seperti biasanya tetapi tidak ada satu pun karyawannya memberi tahu padaku di mana Arman berada, semoga saja di tempat terakhir ini akan ada titik terang.
Aku segera menemui Pak Mardi orang kepercayaan Arman, dia satu-satunya orang yang sudah Arman anggap sebagai keluarga.
"Pak, saya sudah cari Arman di semua bengkelnya tapi semua karyawan bilang nggak tau. Selama ini urusan bengkel beralih ke tangan Bapak, pasti Pak Mardi tau 'kan Arman di mana?" aku segera mengintrogasinya begitu Pak Mardi menemuiku, lelaki berkulit sawo matang itu menatapku dengan raut wajah bingung.
"Saya nggak tau Mbak, siang itu Mas Arman dateng ke sini bilang kalo saya harus ngurusin bengkelnya tapi Mas Arman nggak bilang mau pergi ke mana. Terus setelah itu dia ngilang nggak bisa di hubungi sampe sekarang," Pak Mardi tenang menjelaskan, aku menghela napas pelan ternyata di tempat ini pun aku juga mendapatkan jawaban yang sama. Tidak tahu.
Aku tidak bisa berkata-kata hanya air mata yang bisa berbicara mengalir tanpa di minta.
"Pak saya mohon, Kalo Arman menghubungi Bapak bilang saya mencarinya, Bilang sama Arman buat hubungi saya." Aku memohon pada Pak Mardi dengan penuh harap.
"Iya Mbak."
Pak Mardi mengangguk penuh pengertian.
Aku bisa melihat ada rasa iba di wajah Pak Mardi sebelum aku pergi.
* Dita Andriyani *
"Kamu lagi hamil nduk, Ibu nggak akan ijinin kamu pergi jauh-jauh," Ibu bersikeras mencoba membatalkan rencanaku kembali ke Jakarta.
"Jakarta sebuah kota besar, sebesar kenangan-kenangan buruk saat tinggal dan mengadu nasib di sana. tapi kesulitan ini membulatkan tekatku untuk kembali walau apapun yang akan aku alami."
Aku bersenandika dalam hati.
"Justru karena aku lagi hamil Bu, Aku harus kerja kalo nggak siapa yang bakal biayain kehidupan anakku nanti," aku tetap berusaha merayu Ibu agar memberikan izin.
Sejenak kami hanya terdiam tidak bisa ku pungkiri ada banyak kekhawatiran tentang anak ini, Apa aku bisa membesarkannya seorang diri sedangkan keadaan kami seperti ini hanya mengandalkan beberapa petak sawah dan kebun yang tidak seberapa luas.
"Aku harus tetep kerja, Bu." Ujarku penuh keyakinan "Aku yakin bayi dalam kandunganku kuat, karena dia punya Ibu dan Nenek yang kuat."
"Iya tapi nggak harus ke Jakarta," Ibu menjawab tenang.
"Terus aku mau kerja di mana Bu, emangnya di sini ada yang mau kasih aku kerjaan, wong orang-orang disini aja liat aku kayak jijik gitu."
Aku mengedarkan pandangan ke luar jendela mengalihkan perhatian agar air mataku tak jadi tertumpah.
Ibu nampak memikirkan sesuatu "Nanti Ibu coba tanya Budhe Narti, barangkali di toserba milik sepupumu Mita ada lowongan pekerjaan."
"Ya coba aja, Bu. Nggak apa-apa aku bantu-bantu di sana lumayan daripada nggak ada pemasukan," jawabku penuh harap.
* Dita Andriyani *
Ini hari pertama memulai hidup baru, Kuhirup sejuknya udara pagi yang masih di hiasi titik-titik embun di permukaan dedaunan, tarikan nafas dalam dan kubuang perlahan seolah ingin meminta sedikit kekuatan alam untuk bekal menjalani hari yang mungkin tidak akan mudah.
Toko milik Mita berjarak kurang lebih sepuluh kilo meter dari rumahku, Bisa kutempuh dalam waktu 20 menit dengan sepeda motor yang di kendarai Irma berboncengan denganku karena lokasi sekolahnya memang searah dengan tempat kerja baruku itu.
Bisa di bilang toko serba ada milik Mita dan suaminya ini adalah yang terbesar di sini bangunannya sangat luas dengan barang-barang lengkap di jual di sana mulai dari sembako, peralatan sekolah, peralatan mandi, kosmetik dan pakaian.
Mita memelukku erat sambil mencium kedua pipiku seolah sudah puluhan tahun kami tidak bertemu, Padahal baru hitungan bulan saja sejak pertemuan terakhir kami di hari pernikahanku.
"Della, aku sudah denger semuanya dari Ibu, kamu yang kuat ya. Sekarang kamu jalani hidup yang baru jangan terlalu banyak fikiran kasian dedek yang ada di sini," Mita mengelus perutku yang mulai sedikit membesar.
Dia adalah sahabat baikku sejak kami sekolah di sekolah yang sama, Jadi dia tau betapa aku mencintai Arman dari dulu dia hanya menganggapnya cinta monyet karena aku yang masih remaja kala itu, Tidak dia sangka sama sekali kalau cintaku se dalam ini hingga bisa menghancurkan hidupku dia juga sepupuku anak dari kakak perempuan almarhum Bapakku.
Aku sangat bersyukur masih memiliki keluarga yang bisa
benar-benar memaafkan semua kesalahanku.
Tok... Tok... Tok..., suara ketukan di pintu kantor yang terletak di lantai dua toko ini menghentikan obrolan kami.
"Mbak Mita manggil saya? " seorang pemuda berbadan tinggi besar masuk keruangan Mita setelah di persilahkan masuk.
"Iya, kenalin ini Adella sepupu Mbak, mulai sekarang dia kerja di sini. Inget kamu nggak boleh kasih dia kerja yang berat-berat karena dia sedang hamil," titah Mita, ramah dan lembut bukan seperti seorang bos yang sedang memerintah.
"Siap Mbak," lelaki yang mungkin usianya lebih muda dari aku dan Mita ini menjawab sambil menaruh tangan kanannya di kening seperti memberi hormat sambil tersenyum sumpringah.
"Dell, Kenalin ini Arya adiknya Mas Raka suamiku, dia tangan kananku di sini. Semua pegawai di sini berada di bawah pengawasannya," Mita memperkenalkan adik iparnya sebagai atasanku.
"Hay kenalin aku Arya," uluran tangannya segera ku sambut sambil menyebut namaku "Adella."
Aku merasa risih dengan senyuman dan tatapan Arya seolah menelanjangiku dengan sorot mata khas buaya darat.
Sudah jam lima sore waktunya aku pulang, seharusnya Irma datang menjemputku tapi dari tadi belum nampak batang hidungnya, Aku merasa nyaman bekerja di sini Karena jauh dari kampungku jadi tidak ada yang mengenal dan tau masa laluku.
"Eh Della udah mau pulang ya nunggu suaminya jemput? Suaminya kerja di mana? Kok istri lagi hamil gini di izinin kerja sih?" aku tidak berniat menjawab rentetan pertanyaan yang Arya berikan, bahkan menurutku pertanyaan tidak sopan, ia memang terlihat berbeda dari Raka sang kakak.
"Jemputan saya udah dateng, Permisi," aku berlalu meninggalkannya begitu melihat Irma datang, Entahlah rasanya tidak nyaman berada di dekat Arya.
Dalam perjalanan pulang kami melewati sebuah klinik bersalin tampak dari luar karena klinik tersebut mengunakan kaca transparan sebagai pintu dan jendelanya, ada beberapa pasangan ibu hamil di dampingi suami masing-masing sedang menunggu antrian mungkin hendak memeriksakan kandungan mereka.
Melihat pemandangan tersebut kembali hatiku kembali teriris, tetapi aku berencana memeriksakan kandunganku saat aku menerima gajiku nanti mengingat aku memang belum sekali pun memeriksakan kandunganku.
Mungkin aku akan mengajak Ibu atau Mita menemaniku karena sekarang aku sudah tidak memiliki seorang suami.