Setelah belasan purnama berlalu ....
Malam ini dingin, jauh ebih dingin dari malam-malam biasanya di kota kembang ini. Kota di mana aku memulai hidup baru membawa istri dan putraku.
Mungkin karena rintik rintik hujan yang setia menemani sejak matahari terbenam tadi, menyisakan udara lembab yang membuat suhu udara menjadi lebih rendah.
Kusibak ujung selimut yang menutupi tubuh ini rapat dari ujung kaki hingga leher saat menepuk tepuk bantal di sisi kepala dan tak aku dapati sang penghuni, di mana istriku?
Kupendarkan pandangan ke semua sisi ruangan kamar ini tetap tidak kudapati keberadaannya.
"Sayang ...," tak ada jawaban, ternyata dia juga tidak ada di kamar mandi.
Aku memutuskan turun dari ranjang seketika dingin menjalar di telapak kakiku, berjalan di atas lantai tanpa alas kaki.
Di mana dia sebenarnya tidak biasanya keluar kamar malam-malam begini, apalagi sekarang ada yang menemani Atqa tidur di kamarnya karena Mas Ridho sekeluarga sedang menginap di sini. Mas Ridho dan Mbak Anissa memang biasa mengajak Jelita menghabiskan akhir pekan di sini atau kadang sesekali kami yang menginap di Jakarta.
Aku melangkah tanpa suara melewati kamar Atqa yang pintunya sedikit terbuka, sedikit mengintip ke dalam kamar dan hanya terlihat bocah ganteng itu terlelap seorang diri, Mas Ridho juga nggak ada di kamar Atqa ..., dari tempatku berdiri aku bisa melihat kamar tamu yang di tempati Mbak Anissa dan Jelita pintunya tertutup rapat, juga tidak ada bias cahaya lampu terlihat dari ventilasi udara yang terpasang di atas pintu mungkin Mas Ridho tidur di sana.
Lalu di mana istriku?
Melangkah lagi dalam keremangan rumah yang lampu lampu utamanya telah dipadamkan kini dapur tujuanku.
Tapi ... Seketika tubuhku terasa kaku, lidahku kelu tidak bisa berkata apapun, aku bersandar di dinding, agar kedua orang di dapur itu tidak bisa melihatku.
Mas Ridho dan Adella, sedang apa mereka berdua-duaan tengah malam begini!
"Mas diem-diem aja jangan sampe Arman denger ..."
Adella berbisik-bisik hampir tidak terdengar, tetapi aku yakin itu yang dia ucapkan.
"Iya kamu juga pelan-pelan makanya, jangan di teken-teken gitu, bibirnya di rapetin lagi dong biar cepet!"
Mas Ridho berkata dengan suara yang tertahan, ada sebuah aliran panas dari dalam hati yang menjalar ke seluruh tubuh!
Tapi aku tahan dulu, akan kutunggu waktu yang pas untuk masuk ke dapur dan memergoki mereka.
"Cepet dong Del, Mas udah nggak tahan ini ... keburu meleleh," lagi terdengar suara Mas Ridho.
"Sebentar lagi Mas ... Kan Mas tau dari dulu Della paling nggak bisa ngeden-ngeden gini!" istriku menimpali.
"Lagian kenapa di dapur sih Del, kan jadi susah gini ..." Terdengar ucapan protes dari Mas Ridho, telingaku sudah semakin panas mendengarnya.
"Ya mau di mana lagi Mas, kalo di tempat lain bisa ketauan Arman kan bisa berantakan semuanya," jawab istriku, jelas ucapannya Selin membuatku semakin curiga dengan kegiatan yang sedang mereka lakukan, di dapur, malam-malam dan melakukan pembicaraan yang ... Ah ....
"Ya udah buruan, Mas udah panas ini ...," hatiku juga panas dengar perkataanmu Mas, tak terasa kedua tanganku telah mengepal.
"Iya ayo buruan ...," istriku memberi komando.
Ini waktu yang tepat!
Aku melompat dari balik dinding tempatku sembunyi sambil menyambar saklar lampu, seketika ruangan yang tadinya remang-remang menjadi terang, tak lupa aku berteriak.
"Apa-apaan kalian! Ada main di belakangku?"
Tetapi bisa kalian tebak, apa yang terlihat di hadapanku?
Semua bayanganku tentang mereka berdua menguap bersama amarah dan emosi ku, wajahku yang aku yakin tadi sudah berwarna merah kini semakin memerah hanya berbeda penyebab saja, kalau tadi karena marah, kini karena malu.
Dan mereka, menatapku penuh kebingungan dan sedikit kekecewaan, mereka bertiga, ya bertiga bukan berdua saling pandang dengan ekspresi bingung lalu kompak berkata
"Surprise ... Selamat ulang tahun Arman ...,"
Adella memegang balon yang tadi dengan susah payah dia tiup.
Mas Ridho memegang kue tart dengan banyak lilin yang menyala.
Mbak Anissa memegang tumpeng mini yang dari tadi di hiasnya.
Aku? Menutup muka ... Malu!
* Dita Andriyani *
"Maafin aku ya ... Kejutan kalian jadi gagal, dan terima kasih banget semuanya."
Aku berkata sambil mengusap ujung mata, ada cairan hangat di sana, bahagia dan terharu, juga ada sedikit malu tersisa.
"Ya udah, tiup dulu lilinnya udah mau abis itu!"
Mbak Anissa berkata sambil terkekeh, teringat tingkah konyolku tadi.
"Bismillah ... Hhuuhhh ... Hhuuhh ..."
Dua kali tiup, mati semua lilin itu. Menyisakan asap putih yang mengepul ke udara dan senyum bahagia di wajah semuanya.
"Selamat ulang tahun ya sayang, semoga kamu bisa jadi imam yang terbaik buat aku dan Atqa, selalu sayang sama keluarga ... Selamanya," Adella menguntai do'a sambil menggenggam tanganku.
"Aamiin ..." jawab kami serempak.
"Arman, selamat ya ... Mas selalu do'ain yang terbaik buat kamu, semoga sukses dan berkah selalu." Mas Ridho memberikan doa terbaiknya untukku.
"Makasih ya Mas," jawabku pada lelaki itu, kakakku.
"Ya udah, kami mau tidur dulu ya ... Udah malem banget ini."
Mbak Anissa bangkit dari sofa tempat dia duduk tadi.
"Lho Mbak, ini kue ama tumpengnya nggak di makan?" tanyaku,
Rasanya sayang juga makanan enak gini cuma dianggurin.
"Enggak ... Buat besok sarapan aja, udah malem nanti gendut," Mbak Anissa menggembungkan pipinya, tapi tetap terlihat manis.
Mbak Anissa bergandengan dengan suaminya lalu berpisah di depan kamar, Mbak Anissa memasuki kamar tamu sedangkan Mas Ridho memasuki kamar Atqa.
Tinggal kami berdua, Adella memegang balon berwarna biru.
"Itu balonnya buat apa?" tanyaku polos, benar tidak tau.
"Ya tadi rencananya mau di pecahin di atas kamu yang lagi tidur, terus begitu kamu kaget, kita semua teriak surprise ... Gitu! Tapi gatot deh semuanya."
Adella bercerita dengan antusias tapi berakhir dengan memanyunkan bibirnya, jadi gemezzzzz ...
Ku colek sedikit coklat di atas kue tart lalu mendarat di ujung hidungnya.
"Iihhh Arman, apaan sih ..."
Kedua tangannya sibuk memukuli dadaku, pukulan sayang. Baru berhenti saat tubuh mungilnya kutenggelamkan di pelukanku.
"Sayang ..." panggilku
"Hhuhh ..." jawabnya ringan sambil mendongak.
Cup... Ku kecup ujung hidungnya, manis.
"Sayang kamu minta hadiah apa? Aku belum sempet beliin kamu hadiah," tanyanya tetap sambil mwndingak agar bisa menatap wajahku dari dalam pelukan.
"Hhmmm... Apa ya ... Kamu nggak usah beliin aku apa-apa, karena hadiah yang aku mau nggak ada yang jual, dan nggak akan bisa di beli dengan apapun." Dahinya mengerut mendengar apa yang kuucapkan.
"Emang kamu mau apa?" tanyanya mengungkapkan rasa penasarannya.
"Aku mau ... Selamanya kamu cinta dan sayang sama aku, selamanya kamu jadi istriku, teman hidupku sampai aku nggak hidup lagi!" Pintaku, karena hanya itu yang aku inginkan, rasanya dunia dan seisinya pun tidak akan bisa menggantikannya.
Senyum manis terukir di wajah cantik istriku. "Iya sayang, pasti."
"Sama aku minta satu hadiah lagi, dan kamu harus bersedia ngasih setiap waktu ...," kukerlingkan mata genit, dia semakin tersipu malu mengerti apa maksudku.
Dia keluar dari pelukanku, sedikit menjauh dan mengecup keningku, tak menunggu waktu lama, kurengkuh dia dalam gendongan dengan kedua tanganku menopang tubuh mungilnya dan kedua tangannya melingkar di leherku melangkah kembali memasuki kamar.