"Ris, kamu nggak sarapan dulu, keliatannya buru-buru banget begitu?" tanyaku pada Risti yang pergi dengan terburu-buru sambil menenteng tas sekolah dan mengapit beberapa buku, seragam putih abu-abu membalut tubuh mungilnya.
"Enggak, Mbak, udah siang,l. Nanti Risti makan di sekolahan aja pas jam istirahat, udah kesiangan ini," jawabnya sambil menyalami kami semua. Tidak lama kemudian terdengar suara sepeda motor maticnya menjauh.
"Ayo, Bu. tak anter ke pasar dulu pagi ini Bapak ada rapat di kelurahan, mungkin nanti pulang agak sore." Ajak Bapak pada Ibu yang lalu menuruti, berjalan dengan menjinjing tas tangannya.
Aku dan Mas Ridho mencium punggung tangan Bapak dan Ibu sebelum mereka berangkat,
Hampir jam sebelas malam saat Mas Ridho pulang, dan aku masih setia menunggunya, sendirian di ruang tamu. Terjebak hujan di tengah perjalanan kerena tidak membawa jas hujan dan handphonenya tersimpan di jok motor sementara dia berteduh di emperan ruko yang telah tutup menjadi alasannya.
Sejauh ini Mas Ridho memang selalu menjadi suami yang baik bagiku, rasanya tidak adil kalau aku harus mencurigainya sementara kenyataanya akulah sang penghianat di sini.
"Mas berangkat ke kantor dulu, ya, Dek," pamitnya, setelah menghabiskan sarapannya.
"Iya, Mas. Nanti juga agak siangan aku nyusul Ibu ke pasar," jawabku usai mencium punggung tangannya, tanpa berniat bangun dari duduk dan mengantarkan Mas Ridho ke teras rumah.
Tidak seperti biasanya, rasanya aku masih enggan membangunkan Arman, aku tetap duduk di meja makan, teringat kembali semua cerita Ibuku tentang masa lalu Arman. Pasti berat sekali hidup yang dia jalani, tidak ada satu pun orang yang bisa mengerti isi hatinya, tidak ada satu pun orang yang bisa menjadi sandarannya, tempat bagi Arman berbagi cerita duka, bagaimana dia bisa sekuat itu menahan semua sendiri selama puluhan tahun, bahkan kini dia harus menyaksikan aku wanita yang dicintainya membagi cinta dengan orang yang dulu, atau mungkin hingga kini masih di bencinya.
Aku masih terhanyut dalam fikiranku, saat merasakan seseorang mengecup pipiku, "Arman," spontan aku menyebut namanya, tetapi saat aku menoleh Mas Ridho lah yang nampak sedang mencari-cari sesuatu di atas kulkas, tak lama dia menemukannya, sepertinya dia tidak mendengar saat tadi aku menyebut nama adiknya.
"Kok balik lagi, Mas. ada apa?" tanyaku agak gugup tetapi berusaha bersikap biasa saja sambil memastikan dia tak mendengar aku menyebut nama Arman.
"Iya, ini handphone Mas ketinggalan," jawabnya sambil menunjukkan ponselnya padaku lalu memasukkan ke saku celananya.
"Mas berangkat lagi ya, Sayang. " Mas Ridho berkata seraya memeluk tubuhku yang masih betah duduk di kursi meja makan sambil menciumi kening, pipi kanan dan pipi kiriku bergantian lalu berakhir dengan menyatunya bibir kami, sebuah pagutan hangat di pagi ini, aku tahu Mas Ridho pasti tidak ingin menghentikan kegiatan ini jika saja ia tidak sadar waktu lalu pergi setengah berlari karena takut terlambat tiba di kantor.
"Bye ... Sayang," ucapnya tergesa.
Tak sengaja aku menoleh dan mendapati Arman berdiri di tangga, sepertinya dari tadi dia di sana memperhatikan kami, wajahnya terlihat kacau lalu berjalan ke dapur menuang air putih ke dalam gelas dengan kasar lalu meneguk isinya dengan cepat, aku memperhatikan tangan kirinya mengepal dan tangan kanannya masih menggenggam gelas kaca, hingga terdengar suara "kkrraakkk" gelas di genggaman Arman pecah, seketika darah segar mengalir dari telapak tangannya.
Aku berlari menghampiri, memegang tangannya yang terluka dengan sedikit gemetar, mencucinya dengan air mengalir di wastafel dan raut wajah Arman belum bisa kuartikan.
Tidak ada jawaban apapun ia berikan saat berulang kali aku menanyakan mengapa ia melakukan hal konyol seperti ini, sungguh hatiku sakit dan tidak rela melihat dua terluka seperti ini.
* Dita Andriyani *
Aku memang bisa membalut luka di tangan Arman dengan perban, tapi sepertinya aku tidak bisa membalut luka dalam hatinya, Arman hanya terdiam seribu bahasa saat aku mengobati lukanya sedangkan aku bingung harus berkata apa lagi.
"Aku melihat bayangan Ibu dan Bapakku saat melihatmu dan Mas Ridho," ucap Arman tiba-tiba, terasa kegetiran dari nada bicaranya.
"Dulu Bapak selalu melakukan hal yang sama pada Ibu saat berpamitan berangkat kerja di Jakarta." Suaranya terdengar bergetar tanda menahan lara di jiwa.
Aku terus menggenggam tangannya menempelkan di pipi, sekali-kali kukecup jemarinya seolah inginku salurkan sedikit kekuatan untuk bersama memikul beban beratnya, dia tumpahkan semua cerita duka yang selama ini dia pendam sendiri, atau lebih tepatnya tidak ada yang mau peduli.
Arman yang selama ini selalu terlihat ceria dan kuat hari ini menjadi sosok yang lain, sosok yang begitu lemah, hatinya penuh luka saat mengisahkan segala sakit yang dia terima saat masih anak- anak hingga kini.
Aku memang bukan seorang pahlawan tapi aku berjanji pada diriku sendiri, aku akan jadi sosok yang baik baginya, yang bisa menampung segala keluh kesahnya, karena hanya aku yang tahu bagaimana Arman sebenarnya.
Walaupun hatiku juga sudah terasa sakit, berada dalam dilema ini.
Aku sungguh, sungguh, sungguh mencintai Arman
tapi aku tetaplah istri Mas Ridho, seandainya waktu itu aku tidak menuruti paksaan Ibu untuk menerima lamaran Mas Ridho mungkin semua tidak akan sesulit ini.
* Dita Andriyani *
"Senada cinta bersemi di antara kita
Menyandang anggunnya peranan jiwa asmara
Terlanjur untuk terhenti
Di jalan yang telah tertempuh semenjak dini
Sehidup semati
Kian lama kian pasrah kurasakan jua
Janji yang terucap tak mungkin terhapus saja
Walau rintangan berjuta walau cobaan memaksa
Diriku terjerat di peluk asmara
Bersama dirimu terbebas dari nestapa
Dalam wangi bunga cita cinta dan bahagia
Walau rintangan berjuta walau cobaan memaksa
Diriku terbuai di batas asmara."
Lirik lagu kesukaanku yang di nyanyikan Arman terdengar sampai keluar pagar saat aku baru pulang dari pasar bersama Ibu, di sudut teras tampak Arman yang tengah sibuk mengelap sepeda motornya dengan tangan kiri karena tangan kanannya masih terbalut perban.
Sekilas Ibu melirik tangan Arman saat Arman menyalaminya. Namun, kembali cuek seperti tak melihat apapun, jangankan bertanya kenapa, peduli saja tidak. entah kenapa hatiku yang teriris melihat pemandangan itu.
Arman memang pandai menata hati, baru tadi siang aku meninggalkannya dalam keadaan terpuruk, tapi sore ini aku melihatnya begitu ceria, tetapi aku tau cerianya hanyalah sekedar penutup luka.
"Mbak ... Mbak Della. Sayang, tunggu." panggilan Arman menghentikanku sesaat setelah memasuki ruang tamu. Dia melangkah tanpa suara mendekatiku "I love you." Suaranya berbisik sambil mengecup bibirku cepat. Untung saja Bu Rita dan Risti tidak melihat, mereka tengah sibuk memasukkan sayuran ke dalam kulkas di dapur.
* Dita Andriyani *
POV Ridho.
Dulu ....
Berkali-kali kuhembuskan nafas mencoba meredam emosi saat anak lelaki yang sudah beranjak remaja di hadapanku nyaris mendaratkan tinjunya di wajahku, saat aku mengungkit statusnya sebagai anak w*************a Bapakku.
Bertahun-tahun kami hidup bersama aku sudah mulai bisa menerima kehadirannya dalam hidupku, berdamai dengan egoku untuk tidak terus mengungkit masa lalunya, berharap dengan seiring berjalannya waktu dia akan melupakan semua kenakalanku di saat kecil yang terus menekannya karena perbuatan Ibunya.
Toh sekarang kami sudah sama-sama dewasa.
Sekarang aku hanya memikirkan masa depan dengan istriku, aku sangat mencintainya walaupun saat kami menikah dia tidak mencintaiku tapi aku yakin seiring berjalannya waktu dia pasti akan mencintaiku, kami akan membangun rumah tangga yang penuh kebahagiaan dan memiliki banyak anak.
(Assalammualaikum, Mas Ridho apa kabar?)
Kuterima pesan dari sebuah kontak yang sengaja belum kuhapus walau telah lama kami tidak saling menghubungi.
Hanya k****a pesan itu, tidak ada niat untuk membalasnya.
Kenapa dia harus datang di saat seperti, disaat aku sudah tidak bisa kembali padanya karena hatiku sudah dipenuhi bunga yang bermekaran karena wanita lain, istriku.