POV Arman.
Pagi itu, suasana lembab akibat gerimis rintik-rintik buang turun semalaman masih terasa.
"Ibu ... Ibu ...."
Aku membuka mata namun tidak juga kulihat wanita yang telah melahirkan aku ke dunia ini berada di sampingku seperti biasanya. Biasanya senyum manis dan pelukan hangat penuh kasih sayangnya adalah hal pertama yang selalu aku dapatkan di pagi hari, aku teringat pada keributan yang terjadi tadi malam, dua insan yang selama ini selalu penuh kasih sayang, sepenuh hati mencurahkan cinta dan perhatian kepadaku anak mereka satu-satunya. Malam tadi terlihat penuh emosi dan saling hardik satu sama lain, wajah ibu yang biasanya selalu lembut pada bapak tidak lagi terlihat, juga sorot mata penuh kasih sayang dari mata tegas bapak semalam aku lihat berubah menjadi sorot mata penuh kekecewaan.
Semua yang terjadi belum sepenuhnya dapat aku mengerti hanya saja belakangan ini semua terasa berbeda tidak ada lagi kasih sayang dan kedamaian di rumah ini semua berubah berganti dengan pertengkaran demi pertengkaran antara ayah dan ibuku, seolah mereka lupa ada hati seorang anak yang terluka.
Aku takut dan sakit melihat Ibu dan Bapak saling hujat dan berteriak, air mata Bapak yang tertumpah belum bisa aku mengerti sepenuhnya, Bapak hanya menangis sambil memelukku hingga aku tertidur, sedangkan Ibu, pergi keluar rumah tanpa memperdulikanku yang menangis memanggilnya.
Entah berapa usiaku hari itu, Ibu bilang aku akan merayakan ulang tahun yang ke tujuh beberapa bulan lagi.
"Ibu ... Bapak ...." Kemana kedua orang tuaku, kenapa sedari tadi tidak ada yang menjawab panggilanku.
Aku berinisiatif mencari ibu ke dapur, berharap aku bisa melihatnya sedang menyiapkan makan pagiku atau sedang mencuci piring seperti kegiatan yang biasa dia kerjakan setiap pagi. Namun, yang kulihat adalah pemandangan yang menyesakkan dan tidak pernah bisa aku lupakan seumur hidupku.
Tubuh bapak kaku tergantung pada seutas tali, wajahnya berubah menyeramkan matanya melotot dengan lidah yang menjulur, tidak ada lagi wajah Bapak yang menyejukkan saat aku merengek minta dibelikan permen atau mainan.
Aku hanya menangis di pelukan tetanggaku sementara para tetangga yang lain sibuk mengurus jenazah dan pemakaman Bapak, sedangkan Ibu, belum bisa dihubungi kata para tetangga lainnya.
Begitu banyak cerita di masa kecilku yang tidak pernah ada di masa kecil anak lainnya, tiba-tiba lelaki itu telah menjadi Ayahku.
Pak Raharja namanya, nama yang selalu disebut oleh Bapak ketika bertengkar dengan Ibu dulu.
Ibuku terlihat lebih bahagia, selalu tertawa dan bergembira tetapi aku mulai muak dengan tawa bahagianya terutama saat Pak Raharja ada di rumah ini, mereka berusaha jadi orang tua yang baik untukku tapi itu tidak akan pernah bisa menyembuhkan semua luka-lukaku.
Lalu suatu hari.
Aku sedang mengikuti pelajaran di sekolah waktu itu, saat salah seorang tetangga menjemputku, sambil tergesa-gesa beliau berbisik-bisik pada guru kelasku lalu mengajakku pulang, dengan sepeda motornya lelaki itu membawaku meninggalkan kegiatan di sekolah, tidak ada jawaban yang aku dapatkan saat aku menanyakan ada apa hingga yang dapat aku lakukan hanya diam.
Diam sampai dia menurunkanku di depan rumah yang tampak berbeda dengan biasanya, halaman dan rumah sudah ramai dipenuhi para tetangga.
Di ruang tamu Pak Raharja menangis tersedu sambil memeluk jenazah, ya jenazah Ibuku yang sedang mengandung.
Mereka bilang ibu jadi korban tabrak lari saat hendak berbelanja ke pasar tadi pagi, aku hanya diam membisu tanpa kata dan air mata mungkin hatiku sudah kebal, sudah terlalu banyak luka di sana.
Seumur hidup aku memang tidak pernah mengenal keluarga Bapak dan Ibu, Ibu bilang dia sebatang kara, sedangkan Bapak di usir oleh orang tuanya karena nekad menikahi Ibu tanpa restu.
Ironis sekali memang nasib Bapakku, memperjuangkan wanita yang pada akhirnya menghianatinya, itulah kenapa dalam hatiku tertanam kebencian untuk Ibu atau mungkin untuk semua wanita.
* Dita Andriyani *
"Aku sudah ambil keputusan dan kamu nggak bisa membantah, Arman kita yang asuh!"
"Kamu nggak usah khawatir soal harta Arman bisa membiayai dirinya sendiri, mendiang bapaknya ninggalin banyak warisan buat dia."
"Yang dia butuhkan cuma keluarga, kalau kamu nggak bisa menyayangi dia, yang penting kamu terima dia di sini."
Terdengar keributan Pak Raharja dan istri tuanya saat aku dibawa ke rumah ini. Ya, itulah alasannya, mungkin kalau almarhum Bapak tidak meninggalkan banyak warisan untukku aku tidak akan diterima di rumah ini, dibuang di panti asuhan mungkin, seperti yang Bu Rita inginkan, tapi sebenarnya itu lebih baik bagiku daripada tinggal di sebuah rumah yang semua penghuninya membenciku.
Namanya Ridho, anak lelaki berusia enam tahun di atasku yang tiba-tiba jadi kakakku, tiada hari tanpa menekanku.
"Anak penjahat, gara-gara Ibumu, Ibuku jadi menderita!"
"Dasar pembawa masalah."
Dan ribuan kata makian selalu kuterima hingga aku beranjak dewasa, aku tidak pernah membalasnya, karena pernah aku membalas tapi Ibunya membela dan ikut menghardikku, dasar anak Mami!
Inilah hal terberat dalam hidupku, hidup bersama orang-orang yang membenciku, hanya ada satu hal yang membuatku bertahan di sini yaitu BALAS DENDAM,
Mereka semua, terutama Pak Raharja harus merasakan rasa sakit yang pernah Bapakku rasakan.
Tumbuh dalam penderitaan membuat hatiku membeku, yang terbawa juga dalam kehidupanku, sejak remaja aku belum pernah merasakan jatuh cinta bahkan apa itu cinta monyet pun aku tidak tahu, wajah tampanku bisa dengan mudah membuat para gadis di sekolah menjatuhkan hatinya padaku salah satunya dia, Adella rahma, adik kelasku yang selalu jadi pengagum rahasia sejak SMP hingga SMA tetapi semua gadis itu kuanggap sama, hanya teman.
Sampai suatu saat setelah sekian lama kami tidak bertemu, dia akan jadi kakak iparku, sepertinya Mas Ridho benar-benar mencintainya, dan itu bagus bagiku.
* Dita Andriyani *
Hujan turun cukup deras di lengkapi petir dan angin yang berhembus kencang, jam yang melekat di dinding ruang tamu sudah menunjukkan pukul sembilan lewat empat puluh lima menit malam.
Ibu mendesakku untuk terus menghubunginya, tampak sangat kekhawatiran di wajahnya.
"Cepet, Nduk, kamu telpon suamimu kenapa udah malem belum pulang, biasanya dia nggak pernah pulang selarut ini, mana di luar hujan deres." Ibu mertuaku terlihat begitu cemas.
"Iya, Bu." Segera kuambil gawai di saku celana.
"Mas kenapa belum pulang?"
"Iya."
"Iya."
"Ya udah, Mas, hati-hati ya."
Sengaja kujeda-jeda bicaraku, seolah aku sedang bicara dengan Mas Ridho di seberang telepon, padahal sebenarnya panggilanku sama sekali tidak dijawab olehnya.
"Mas Ridho terjebak hujan di kantor, Bu, nanti kalau hujan sudah reda langsung pulang, Mas Ridho baik-baik saja." aku sengaja berbohong untuk sedikit mengurangi kekhawatiran ibu.
"Ya udah kalo gitu, Ibu tidur dulu kamu tunggu suamimu pulang ya."
"Iya Bu," jawabku halus.
"Man, kamu temani Mbak Adella di sini sampe suaminya pulang ya." Titah Ibu pada Arman yang sedari tadi asik bermain game online di gawainya.
"Iya bu," jawab Arman dingin.
Arman menatapku lekat dengan pandangan yang aneh, terus memandangku dengan sekali-sekali mendengkus kesal.
"Kamu kenapa sih, khawatirnya ngelebihin Ibu deh," ucapnya sewot melihatku yang masih dilanda kecemasan.
"Mas Ridho tuh sebenernya nggak bisa dihubungi, aku sengaja bohong sama ibu, biar ibu nggak khawatir, eh malah sekarang aku yang khawatir," terangku tanpa menoleh padanya, karena sedang mengirim puluhan pesan yang satu pun belum dibaca oleh Mas Ridho.
Untuk pertama kalinya aku benar-benar merasa takut terjadi hal buruk pada suamiku, aku juga merasa takut kehilangan mas Ridho, apakah aku mulai mencintainya?
Aku melirik Arman dengan ekor mata di sela langkah kakiku, sesaat kulihat dia menghapus air mata yang sepertinya sudah hampir menetes, tapi aku tidak melihat kesedihan di wajahnya, yang nampak hanya amarah yang tertahan.
Dia berlalu ke kamarnya meninggalkan aku sendiri dalam kebimbangan, mungkin dia hanya cemburu. Begitu fikirku.
Tapi ... Oh Tuhan, di mana suamiku?
Semoga dia baik-baik saja