Kembali terlelap setelah shalat shubuh berjamaah dengan istriku tercinta, kini mataku merasakan silau tertempa cahaya matahari yang menerobos celah-celah jendela kamarku.
Aku merauh telepon pintar yang tergeletak di atas meja kecil di sisi ranjang, enam lewat empat puluh delapan menit waktu yang terlihat di layarnya. Lagi, istriku sudah tidak ada di tempat tidur kami, aku jadi teringat lagi kejadian konyol yang memalukan tadi malam, tawa ringan kembali keluar dari mulutku.
Terima kasih Tuhan ... Atas segala kebaikan dan kasih sayang-Mu selama ini, hidupku begitu sempurna.
Segala dendam, amarah dan kesedihanku telah Engkau ganti dengan kebahagiaan dan kedamaian, istri dan anak yang begitu aku cintai selalu ada di sisiku, keluarga besar yang begitu hangat pun telah aku miliki, kini segalanya terasa begitu sempurna.
Kesempurnaan yang selalu aku syukuri. Namun, juga membuatku takut, karena kadang kala ada sebuah cobaan yang tersembunyi di balik kebahagiaan yang terasa begitu sempurna.
Tapi apapun itu, selama ada Adella di sisiku cobaan seberat apapun itu akan aku lalui dengan baik, dengan sabar dan dengan rasa syukur, karena cintanyalah yang menguatkanku, cintanyalah yang akan menuntunku menjalani hidup ini.
.* Dita Andriyani *
Aroma masakan yang selalu terhidang dari tangan penuh cintanya menuntun langkahku menghampirinya di dapur.
Benar saja dengan senyum manis yang terus terukir di wajahnya bidadariku dengan serius membolak balikan masakan di atas wajan hingga dia tidak menyadari kedatanganku.
"Aaaauuu... Astagfirallah...," dia sedikit terpekik, terkejut saat tiba-tiba merasakan pelukanku dari belakang.
"Selamat pagi sayang," aku mendaratkan ciuman hangat di pipi mulusnya.
"Udah ah, lepasin malu ... Nanti diliat mbak Anissa." dia menggeliat berusaha melepaskan diri dari pelukanku.
"Ih kenapa, dipeluk suami sendiri kok malu."
Makin kueratkan pelukanku, gemas melihatnya terus meronta.
"Iya emang suami sendiri, tapi nggak enakkan kalo diliatin," ucapnya yang amsih saja terus berusaha melepaskan diri dari dalam pelukanku.
"Iya aku lepasin ... Tapi cium dulu!" aku terus menggodanya, dia memanyunkan bibirnya.
"Iya, iya ...." Akhirnya sebuah ciuman kilat mendarat di pipiku.
Yes ... Berhasil, aku tersenyum penuh kemenangan.
"Eehhh ... Sayang itu masakannya gosong!" ucapku cepat
"Yyaahhh ... Yyaaahhh, iya kan kamu sih, gangguin orang masak aja! Jadi gosong ginikan ..."
Aku segera berlari kecil meninggalkan wanita cantik yang sedang mengomel di dapur sendirian.
* Dita Andriyani *
POV Anissa
Aku keluar dari kamar rumah yang belakangan ini menjadi rumah keduaku yang selalu kami kunjungi di akhir pekan untuk membiarkan suamiku merasakan dekat dengan buah hatinya.
Ku lihat mas Ridho memangku sang jagoan kecil sambil menyuapinya dengan roti isi yang tadi telah ku siapkan, Jelita duduk di samping mereka bernyanyi untuk sang adik yang ikut bertepuk tangan dan menirukan lirik lagu balonku ada lima dengan bahasa khas anak berusia dua tahun.
Pemandangan yang sontak membuatku tersenyum, tetapi tanpa sadar senyumku pudar melihat mas Ridho, pandangannya lekat pada sepasang suami istri yang sedang bercengkrama di dapur, pandangannya mencerminkan perasaan yang ... Entahlah tidak dapat ku artikan.
Mungkinkah itu pandangan cemburu?
Aku tau, Adella pernah bertahta di hati suamiku, Adella pernah menjadi wanita yang dipujanya.
Bagaimanapun keadaannya mereka pernah menjadi suami istri, menjalani kehidupan bersama, bersatu dalam kebahagiaan yang sama, dan menikmati keindahan yang sama.
Walaupun pernikahan mereka berakhir dengan hal buruk dan kini kami telah memiliki kehidupan masing-masing tapi masih ada kemungkinan mas Ridho cemburu pada Adella dan Arman. Dan aku cemburu akan hal itu.
Entah terjadi keributan apa di dapur, tapi itu membuyarkan lamunanku, dan tercium bau ... Gosong.
"Iya ... Iya ampun ..." Arman berlari dari dapur dan bersembunyi di sofa.
Tak terlihat Adella mengejarnya, mungkin dia tengah sibuk dengan masakan gosongnya.
"Mas jadi pulang hari ini?" Arman bertanya pada mas Ridho yang sedang menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah adiknya itu.
"Iya, nanti agak siangan," jawab suamiku, dengan senyumnya yang belum memudar.
"Yayah ... Ayayah ..." Atqa memanggil Arman meminta gendong dengan mengulurkan kedua tangan mungilnya.
"Atqa mau sama ayah? Sini ... Sini ayah gendong ..."
Mas Ridho meledeknya dengan mengulurkan Atqa pada Arman lalu menariknya lagi ke dalam pelukannya berulang kali, sontak hal itu membuat batita itu tertawa gemas.
"Ya udah, mbak bantu Adella nyiapin sarapan dulu ya," pamitku pada Arman yang kini telah memangku Atqa yang tertawa riang karena Mas Ridho terus menggodanya.
"Mama ... Jelita mau bantu juga," pinta Jelita.
"Iya sayang, ayo kita bantu tante Della." Aku mengajak Jelita ke dapur, dalam keterbatasannya aku selalu mengajarkan kemandirian pada putriku.
* Dita Andriyani *
Pagi di hari senin, karena kemarin sedang ada mas Ridho dan mbak Anissa di rumah jadi aku urungkan niat berbelanja kebutuhan bulanan, hari ini kami baru akan berbelanja.
Aku membawa Atqa bersamaku di bantu mbak Neni pengasuhnya, mbak Neni memang hanya membantuku di hari kerja, bila akhir pekan dia libur memberikan kesampaian baginya untuk menghabiskan waktu dengan keluarganya dan aku bisa menghabiskan waktu bertiga jika Mas Ridho dan Mbak Anissa tidak datang.
Karena dari Senin hingga Jum'at aku selalu ada di butik, walaupun tidak sepanjang hari aku di sana rasanya terlalu berat menahan rindu pada jagoan kecilku jika terlalu lama aku tinggalkan.
Di butik sudah ada Irma, sekertarisku, tangan kananku, orang kepercayaanku juga adik kandungku. Sejak lulus sekolah dia ku bawa ke sini membantu mengurus bisnisku tapi dia menolak saat ku tawari tinggal di rumah, lebih memilih ngekost. Agar lebih mendiri katanya.
Sedangkan ibu, tidak mau tinggal di Bandung lebih memilih menetap di kampung halaman, ada bayangan almarhum bapak yang terasa di rumah kami katanya.
Sambil mendorong troli berisi penuh belanjaan sesekali kuamati mbak Neni yang berlari kecil mengejar Atqa yang berlari ke sana ke mari.
Kadang tangan mungilnya meraih benda apapun yang tertata rapi di rak supermarket ini, dan mbak Neni segera mengembalikannya, walaupun kadang Atqa merengek karenanya.
Segala tingkah bocah kecil yang aku lahirkan dua tahun itu selalu bisa membuatku tersenyum bahagia.
"Bu ... Maaf titip den Atqa dulu sebentar, Neni kebelet pipis," wanita yang selalu mengasuh buah hatiku dengan sabar itu berpamitan padaku.
"Oh iya, sini sayang sama bunda."
Kuraih Atqa dalam pelukan, lalu mbak Neni berlari kecil menuju toilet.
"Nda ...nda ...e kim." Atqa berceloteh sambil menunjuk box berwarna merah dengan merk es krim ternama tertulis di semua sisinya.
"Oh ... Anak bunda yang pinter mau es krim ya, yuk kita ambil.!"
Aku melangkah lalu berdiri di depan box itu, berusaha membuka pintunya, tapi ternyata sulit aku lakukan dengan satu tangan.
"Atqa turun dulu ya, bunda ambilin es krimnya."
Hanya sesaat, mungkin kurang dari satu menit saat aku memilihkan es krim untuk Aqta, "ini sayang es krimnya."
Ya Tuhan ... Atqa di mana?
Segera aku kembalikan es krim yang berada di tanganku, tidak aku perdulikan pintu lemari es yang masih terbuka.
Kepanikan melanda, jantungku seolah ingin melompat dari tempatnya, segera aku susuri lorong-lorong etalase mencari keberadaan malaikat kecilku itu, dia belum begitu lancar berjalan, harusnya dia tidak pergi jauh.
"Aqta ... Aqta kamu di mana sayang?" Aku mengeraskan suara agar anakku bisa mendengar panggilanku.
"Atqa ..."
Pengunjung lain ikut mencari di berbagai lorong. Ada juga beberapa ibu-ibu yang menenangkanku.
"Atqa ..." Aku terus memanggil-manggil dan berusaha mencarinya.
"Bu, den Atqa kenapa?" Mbak Neni tergopoh menghampiriku.
"nggak tau mbak ... tadi aku cuma ngambilin es krim, tiba-tiba Atqa udah nggak ada ..."
Air mataku mulai berlinang, mungkin ini pertama kalinya aku menangis sejak menikah dengan Arman.
"Sabar bu, ayo kita cari. Neni minta bantuan satpam dulu ya."
Mbak Neni berlari meninggalkanku lagi, aku berjalan menuju kasir, semoga Atqa segera aku temukan.
Aku melihat seorang lelaki berkulit hitam manis, berpawakan tinggi besar, potongan rambut rapi dengan pakaian modis berdiri dan berbicara dengan seorang satpam sambil menggendong Atqa.
Ya aku yakin sekali dia Atqa anakku, aku segera berlari mendekati mereka.
"Alhamdulillah ya Allah ... Atqa ... Akhirnya kamu ketemu, bunda takut ... Takut banget kehilangan kamu."
Aku langsung mengambil Atqa dari gendongan pria itu, tanpa melihatnya, aku hanya memeluk sambil terus menciumi Atqa.
"Alhamdulillah, kalau udah ketemu ibunya, tadi anak ibu di temuin bapak ini jalan sendirian," Bapak satpam itu menjelaskan tanpa diminta.
"Iya pak terima kasih," ucapku sebelum satpam itu berlalu meninggalkan kami.
"Terima kasih banyak ya mas ud...," kalimatku terpenggal, rasanya tercekat di kerongkongan melihat wajah pria itu, tidak asing bagiku.
"Adella Rahma ... Akhirnya kita bisa ketemu lagi ya. Walaupun keadaanya udah berbeda, tapi perasaanku nggak pernah berbeda." Bagai sebuah petir di siang bolong suaranya terasa sangat menggelegar di hatiku.
"Mm ... Mas Pandu, saya permisi dulu ... Terima kasih." Aku segera menjauhinya, sambil memeluk erat putraku.
"Tunggu Adella ... Del ..."
Tidak aku perdulikan pekikannya, kupercepat langkah semoga dia tidak mengejar.
Neni tampak masih kebingungan mencari Atqa di dekat pintu keluar.
"Ayo mbak Neni, cepetan pulang!" Seruku pada wanita yang masih tampak bingung menatapku.
"Alhamdulillah ... Den Atqa udah ketemu. Tapi belanjaannya gimana bu?"
Tidak kuhiraukan pertanyaannya dan wajahnya yang penuh tanda tanya, aku hanya ingin cepat pulang.