POV Nina
"Sayang, bangun."
Suara suamiku terdengar pelan. Kepalaku terasa diusap lembut. Aku membuka mata perlahan, tampak Om Satria duduk di sampingku, ia mengecup tanganku lembut. Wajahnya terlihat cemas. Saat ia mengangkat wajah dan bersitatap denganku, bibirnya yang kemerahan seketika mengulas senyum tipis.
"Syukurlah kamu sudah bangun, Sayang," ucapnya terlihat lega. "Apa kamu lapar? Adik ingin makan sesuatu? Apa, Sayang?" tanyanya lagi, tatapannya lekat ke wajahku penuh kasih sayang. Ayah mantan pacarku ini selalu tampak menyayangiku dari dulu, sejak kami memutuskan menjadi suami istri yang sesungguhnya. Teringat USG tadi juga ucapan dokter Al yang menegaskan bahwa aku hamil anak kembar, aku tak dapat membendung tangis lagi.
"Hu, hu, huuuuu." Aku beranjak duduk lalu meletakkan kedua tangan di wajah, terisak kecil.
Perasaanku berkecamuk, aku dipeluk ketakutan yang besar. Bagaimana mungkin aku bisa hamil anak kembar? Kenapa harus kembar? Ya Allaaah, kenapa harus kembar lagi? Kesedihanku semakin menjadi saja. Om Satria menarik tanganku dari wajah, lalu tangannya bergerak mengusap air mata yang meleleh pelan si pipiku.
Om Satria berdiri dari duduknya, ia duduk tepat di samping ranjangku lalu menarikku hingga merebah di d**a bidangnya, tangannya bergerak-gerak di kepalaku, ia menunduk memandangku, tatapan kami pun bertemu. Selalu saja bertatapan dengannya dalam jarak sedekat ini dadaku berdebar keras, ia selalu tampak rupawan di mataku. Suamiku tercinta.
"Jangan menangis lagi, Sayang."
"Tapi aku emang beneran sedih, Maaaas, jadi gimana gak nangis, coba? Hu, hu, huuuu." Aku tak dapat menahan perasaan sedih yang menerjang benak.
Mengetahui aku hamil saja sudah membuatku sangat sedih karena memikirkan Hanif dan Hanifa yang masih 8 bulan, mereka pasti akan kekurangan kasih sayang karena aku hawanya mual-mual terus, lalu sekarang, aku mengetahui bahwa janin yang kukandung memiliki dua nyawa, ya ampun, bagaimana nanti jika yang di dalam perut sudah keluar? Mengurus Hanif dan Hanifa saja sudah sangat merepotkan apalagi mengurus 4 anak kecil nantinya? Akan seperti apa kehidupan kami nanti? Pasti sangat merepotkan. Pasti. Hanya dengan membayangkannya saja aku sudah takut sendiri. Sudah bergidik. Hiiiii. Eh, ya ampun, maafkan Mama, Sayang, seolah mau bertemu setan saja. Tapi aku bener-bener takut. Bener-bener sedih, hawanya pengen nangis jadi aku pun kembali menangis.
"Hu, hu, huuu, Maaaaas. Bagaimana coba, kok anak kita akan kembar lagi? Hu hu huuuu." Aku terisak-isak.
Om Satria bukannya sedih karena aku akan melahirkan bayi kembar yang akan membuat kami tambah repot nantinya, eh ia malah senyum-senyum memandangiku yang terus menangis. Ia memang sih senyumnya manis, tapi gak harus senyum-senyum juga di hadapanku yang terus menangis.
Lelaki rupawan bertubuh tegap di sampingku ini kembali mengulas senyum lalu menyentil hidungku.
"Tidak malu pada mas, Sayang, menangis terus?" Ia mengerling menggodaku, aku langsung mencubit pahanya kuat membuatnya meringis-ringis kesakitan.
Om Satria tertawa kecil, ia sedikit menarik tubuhku lalu mendekapku, mencoba menenangkanku dengan mengusap-usap lembut kepalaku. Aku membalas pelukannya menempelkan kepalaku di dadanya yang membuatku sedikit tenteram.
Sebenarnya, tidak akan terlalu pusing memiliki 4 anak jika saja Om Satria mau membayar baby sitter untuk anak-anak kami yang akan lahir nanti. Dikhianati pembantu rumah tangga yang dulu pernah ia percayai membuat Om Satria tidak ingin mempekerjakan siapapun di rumah ini. Tidak ada yang ia percaya, selain aku dan ibunya.
Dulu, saat aku baru melahirkan si kembar, ibu mertuaku menasehati agar membayar pembantu juga babysitter agar kami tak kewalahan, tapi Om Satria menolak tegas, ia benar-benar trauma. Om Satria rela memasak, membersihkan rumah pas awal aku melahirkan, sementara yang memandikan si kembar adalah ibu kandungku bergantian dengan Bu Astuti, ibu mertuaku yang juga guru SMA-ku dulu. Barulah saat si kembar umur 5 bulan akulah yang memandikan.
Aku menoleh kanan-kiri, tak mendapati si kembar.
"Tuyul-tuyul mana, Mas?" tanyaku, merasa heran karena tak mendengar ocehan mereka.
"Mereka sama Nona dan bidan Neni, tadi di halaman."
Aku menatap langit-langit kamar, ternyata masih berada di klinik dokter Al.
"Adik ingin makan apa? Mau bakso? Soto? Martabak, atau apa, Sayang, mas belikan," tanya Om Satria sambil menggenggam tanganku.
Kinik dokter Al ini memang tak jauh dari pasar. Bahkan hanya berjalan kaki pun sampai, paling hanya 3 menitan.
"Aku gak lapar, Mas."
"Adik belum makan sama sekali dari pagi. Adik harus makan biar sehat. Adik sehat, anak kita juga sehat, Sayang." Om Satria menunduk dan mengusap perutku lembut.
"Aku pengen buah aja."
"Baiklah, kalau begitu mas belikan adik buah."
Om Satria sudah setengah berdiri saat aku mencekal tangannya.
"Belinya sekalian pulang aja, Mas," sahutku.
"Tapi adik belum pulih benar," katanya terlihat cemas. "Mas takut adik nanti kenapa-kenapa."
"Aku gak papa." Badanku terasa lemas tapi aku gak mau terus berada di sini ingin pulang.
"Yasudah kalau itu mau adik, kalau begitu kita pulang."
Mataku berkaca-kaca saat melihat istri dokter Al dan bidan Nina berjalan kemari membawa si kembar. Istri dokter Al yang adalah guru SMA-ku dulu, menatapku dengan senyum di bibirnya, tatapannya menenangkan.
"Jangan sedih, Nin, tapi disyukuri. Bu guru saja ingin punya anak lagi tidak hamil-hamil," ucapnya pelan. Aku mengangguk kecil. Tapi ya gak harus kembar terus. Yakin, deh, nanti kalau yang di perut udah keluar pasti akan repot banget. Hu, hu, huuuuuu, sungguh aku ingin menangis lagi tapi malu ada Bu Guru dan bidan Neni.
"Ya sudah, Bu guru buatkan camilan yang enak, ya, tidak boleh menolak kalau menolak tidak menghargai," katanya sambil mengerling pada Om Satria yang membuatku tidak bisa menolak. Ya masa mau menolak niat baik guru SMA-ku dulu, kan gak enak.
Bu Guru dan bidan Neni akhirnya keluar. Aku menggendong Hanifa. Melihat mata Hanifa yang menatap polos, gak tahu dia akan punya adik, aku kembali sedih.
"Hu, hu, huuuuu." Aku akhirnya menangis lagi. Om Satria tersenyum kecil.
"Sayang, lihat itu ada Bu guru."
"Mana?" tanyaku dengan kedua tangan bergerak-gerak mengusap air mata.
"Itu." Om Satria menuding ke arah pintu. Aku mengikuti arah tangannya.
"Mana?" tanyaku, gak ada siapa-siapa.
Om Satria mengulas senyum tipis di bibirnya, aku mendelik.
"Ngeselin, deeeh!" Kucubit pahanya dengan gemas. Om Satria meringis-ringis tampak kesakitan.
"Sudah gede masih nangis, Sayang."
"Ya habisnya aku sedih."
"Tidak malu pada Hanif dan Hanifa. Sayang, itu lihat mama kalian." Om Satria memangku Hanif dan Hanifa lalu menudingku.
"Udah gede masih ne-neeen." Ia menyanyi kecil sambil menudingku.
Aku mendelik.
Om Satria tertawa kecil, lalu menepuk kepalanya sendiri dengan ekspresi lucu yang membuat Hanif dan Hanifa tertawa kompak.
"Salah ya Sayang? Baiklah, ulang. Udah gede senang nang-iiis." Ia kembali bersenandung kecil yang membuatku kembali mendelik. Hanif dan Hanifa tertawa-tawa, terlihat geli sendiri anak kembarku padahal tidak mengerti yang dimaksud ayahnya.
Om Satria mengerling saat bersitatap denganku, itu membuatku semakin kesal saja padanya. Istri sedang sedih kok malah digoda, siapa yang gak kesal, coba? Aku akhirnya bergerak mendekat ke arahnya lalu mengelitikinya yang membuat Om Satria langsung tertawa-tawa ngakak. Kuberi tahu, suamiku ini gelian. Melihat Om Satria tertawa, Hanif dan Hanifa tertawa aku ikut tertawa juga.
"Ha ha ha. Ha ha!"