5

983 Kata
POV Nina Kami baru berhenti tertawa saat melihat dokter Al berdiri bersidekap di ambang pintu, ia menggelengkan kepala dan tersenyum kecil. Nina menunduk lalu mengusap sisa air matanya. "Sepertinya harimu sangat menyenangkan, Bung," ucap Al sambil berjalan mendekat. "Apa aku harus sedih setelah mengetahui istriku hamil?" Bukannya menjawab Om Satria malah bertanya balik. Al mengangguk membenarkan. "Tentu saja kamu harus senang bukan sebaliknya. Jika Nona yang hamil dua sekaligus, aku juga pasti akan sangat senang. Belum dikasih anak lagi padahal anakku sudah merengek minta adik." Dokter Al tersenyum padaku. "Jadi Nina, tidak ada alasan untuk bersusah hati. Apa kamu mendengar?" Aku mengangguk kecil. "Iya, Dok, aku hanya takut aja bayangin betapa repotnya ngurus banyak anak. Dan apalagi sekarang aku mual-mual terus hawanya, aku takut Hanif dan Hanifa gak keurus." Aku memeluk Hanifa, mendekapnya erat tapi dia memberontak sehingga aku melepaskannya. Om Satria tiba-tiba menjentik hidungku membuatku langsung menatapnya. "Kan ada Mas, Sayang, jadi kamu tidak usah takut melaluinya. mas akan senantiasa membantu kamu," kata suamiku dengan wajah sungguh-sungguh. Aku percaya padanya walau aku tak bisa sepenuhnya mengandalkannya. Ya bayangkan saja, kejatuhan kotoran Hanif saja ia sudah mual-mual. "Itu dengar ucapan suamimu, dia akan selalu membantu," kata dokter Al, ia melangkah masuk lalu duduk di kursinya. "Nina minta pulang, Al." Dokter Al mengangguk. "Tidak masalah, darahnya normal dia hanya syok saja," ucapnya sambil meraih beberapa tablet obat dari lemari di belakangnya, lalu ia melambai pada Om Satria yang langsung mendekat. "Semua vitamin harus dihabiskan biar istri dan anakmu tidak kekurangan zat besi. Ini asam folat bagus untuk pertumbuhan janinnya harus dihabiskan juga. Semua harus dihabiskan." Setelah menerima obat juga membayar, Om Satria segera menggendong Hanif dan Hanifa di pinggang kanan dan kirinya, sementara aku hanya membawa tas bayi berisi pempes juga camilan. "Eeh sudah mau pulang, yaa? Ini dimakan dulu." Bu guru Nona melangkah masuk membawa piring berisi molen mini. "Atau dibawa pulang saja," kata Bu guru begitu tiba di depanku, ia membalikkan badannya membawa piring itu dan tak lama kemudian kembali lagi membawa plastik berisi molen. Diulurkannya padaku yang langsung kuterima. "Makasih, Bu," ucapku. Ia mengangguk diiringi senyum. Aku dan Om Satria pun berjalan keluar. Om Satria membuka pintu mobil bagian depan, mendudukkan Hanif dan Hanifa setelah itu mengangkatku membuatku membeliak kaget. "Apaan sih, Mas," kataku saat ia menggendongku. Aku memukul dadanya pelan. Om Satria tersenyum kecil, segera mendudukkanku di jok. "Kan mas bantuin adik naik," katanya kalem. Aku manyun. Sungguh malu sekali saat melihat dokter Al dan Bu Guru Nona memperhatikan kami di teras kliniknya, bibir keduanya tersenyum lebar. Om Satria mengusap kepalaku dengan gemas kemudian menutup pintu mobil. Ia akhirnya duduk di sampingku, membunyikan klakson sambil menatap ke arah dokter Al dan Bu guru Nona lalu mulai mengemudi. Harum molen di terasa menggoda membuatku akhirnya mencicipi. Kulit molennya renyah dan empuk, aku kembali memasukkan ke mulut lantas mengulurkan pada Om Satria yang menoleh memandangku. "Aaak." Om Satria membuka mulut. Aku tersenyum kecil, tanpa membuang waktu segera menyuapinya. "Istri Al selalu enak tiap membuat makanan. Habiskan, Sayang," katanya saat aku kembali memasukkan molen ke mulut. Hanif di pangkuanku dan Hanifa yang duduk di antara aku Hanif dan Om Satria juga kuberi satu-satu, mereka menjilat-jilat karena giginya baru tumbuh dua. "Mas." Om Satria menoleh. "Ya, Sayang?" "Tiba-tiba aja aku pengen pecel yang biasa kita makan itu, yang pedas pasti enak." Aku nyengir kecil saat ia menoleh memandangku. Warung pecal sudah kelewat jauh, tepatnya dekat dengan klinik dokter Al. Om Satria mengangguk, ia pun memutar balik mobilnya. "Iya Sayang kita beli pecal. Mas juga lapar, belum sarapan tadi." "Kenapa tadi gak sarapan, Mas? Mas kan gak hamil tapi hingga jam segini belum makan." "Kan tadi mas buru-buru antar adik. Waktu adik pingsan tadi, mas tidak tega mau tinggal pergi adik. Takutnya adik bangun mas tidak ada." Om Satria menoleh sekilas, lalu kembali menatap jalanan yang berdebu. Biasa kemarau, tiap angin yang bersumber dari pepohonan karet di kiri kanan jalan berembus, debu akan membumbung tinggi ke udara menutupi pandangan saking banyaknya debu. Aku segera turun begitu mobil berhenti depan warung, mengulurkan tangan pada Hanifa tapi Om Satria langsung mendorongku pelan ke samping. "Biar mas saja yang gendong, ayo," ajak Om Satria setelah menggendong si kembar masing-masing di pinggang kanan dan kirinya. Aku mengikuti langkah suamiku dengan perasaan terharu. Merasa begitu senang karena ia selalu perhatian. Om Satria memesan, lalu kami duduk lesehan di lantai dengan meja di tengah kami. Karena Hanif dan Hanifa tak bisa diam terus merangkak ke mana-mana, akhirnya Om Satria memangku keduanya. "Adik makan dulu, baru mas," ucapnya saat pesanan kami diantarkan. Aku pun makan dengan cepat, mungkin karena pedas juga terasa segar dari timun jadi tak membuat mual. Begitu aku kelar makan, gantian suamiku yang makan. Ia makan dengan cepat karena si kembar tak mau di pangku dan merangkak ke mana-mana sampai aku bingung sendiri mau mengikuti Hanif atau Hanifa karena mereka merangkak di arah yang berlawanan. Om Satria segera membayar lalu kami pun pulang. Baru saja turun dari mobil, perutku tiba-tiba bergejolak seperti diaduk-aduk, aku pun muntah-muntah. Oh Satria menurunkan si kembar dari gendongannya lalu sambil membekap hidungnya, ia memijit-mijit leherku dengan kepalanya neleng ke kiri. Aku terus muntah sampai tidak keluar apa pun lagi dari mulutku lagi tapi perutku tetap saja mual. "Mau minum, Sayang?" tanya suamiku begitu aku selesai muntah. Dituntunnya aku menuju rumah lalu membukanya. Mataku melebar saat menyadari Om Satria tidak menggendong si kembar. "Mas, mana tuyul-tuyul, Mas?!" tanyaku kaget. Om Satria tak kalah kaget ia menatap dirinya sendiri lalu menoleh ke kanan dan kiri, tak tampak si kembar di mana pun. "Mas, mana tuyul-tuyul, Maas?!" tanyaku semakin panik dengan jantung berdetak sangat kencang takut si kembar kenapa-napa. Walau mengurus mereka sangat merepotkan tapi aku sangat menyayangi keduanya tak ingin mereka kenapa-napa. ##Untuk membaca bab 6 sampai tamat, harus donload dulu aplikasi Innovel. Donload aplikasi Innovel di google play, setelah donload dan log in, ketik judul Hu Hu Huuu Kebobolan di pencarian aplikasi Innovel. Happy reading
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN