3

1075 Kata
"Sayang, mana maskernya?!" Aku berteriak tidak sabar sambil membekap hidung dengan satu tangan, satu tangan lainnya memegangi tubuh Hanif yang rambatan di kakiku. Nina datang tak lama kemudian, dia mengulurkan kaca mata hitam juga masker yang langsung kuterima dan bergegas memakainya. Rasanya, geli juga j1j!k saat membersihkan p4nt4t Hanif. Dengan wajah polos tanpa dosa Hanif memukul gemas wajahku yang berada dekat dengannya dengan tangan mungilnya karena posisiku setengah membungkuk. Setelah bersih, kumasukkan Hanif ke bak di samping Hanifa lalu mengguyur kotoran Hanif hingga lenyap terbawa air masuk ke saluran pembuangan. Aku menghela napas lega begitu lantai bersih, wajahku berkeringat. Aku melepas masker karena pengap kemudian mulai memandikan si kembar. Selesai mandi, kugendong keduanya sekaligus ke kamar di mana mama mereka sedang mesam-mesem di ranjang, aku setengah mendelik padanya. Nina tertawa kecil. Ia meraih handuk di sampingnya dan mulai mengeringkan tubuh Hanifa, sementara aku mengeringkan tubuh Hanif. "Mas akan masak, setelah sarapan kita ke klinik Al ya, Sayang? Adik harus periksa dan diberi vitamin biar anak kita juga adik sehat." "Iya, Mas." Nina mengangguk dengan wajah sedih. Aku memgusap rambutnya yang tergerai acak-acakan. "Sudah Sayang, jangan sedih. Kenapa harus sedih kan kamu punya suami." Aku mencoba menenangkannya agar dia tidak mewek lagi. Nina memandang Hanif dan Hanifa bergantian dengan mata berkaca-kaca. "Kasian mereka, Mas, masih kecil udah mau punya adik." "Iya, Mas juga kasihan. Tapi kan sudah kejadian, Sayang. Adik sudah terlanjut hamil jadi yang harus kita lakukan sekarang adalah menerimanya dengan hati bahagia." Aku selesai memakaikan Hanif baju, Nina juga sudah selesai memakaikan Hanifa. Kuangkat bergantian dua bayi kembarku lalu meletakkannya ke ranjang. Keduanya langsung merangkak mendekati mamanya yang langsung memeluk mereka. Mata Nina semakin berkaca-kaca dan tahu-tahu ia sudah terisak lirih. Aku menggelengkan kepala melihat sikap Nina. Aku mendekat padanya, mengusap rambutnya, menghapus air mata yang meleleh di pipinya lalu mengecup lembut keningnya. "Jangan menangis terus, kasihan yang di dalam sini." Kuusap pelan perutnya. "Mas masak dulu setelah sarapan kita ke dokter." Nina mengangguk. Aku pun segera menuju dapur, membuat bening bayam yang kupetik dari pekarangan rumah setelah itu menggoreng lele yang sudah dibumbui. Hanif dan Hanifa suka sekali lele, itulah sebabnya di kulkas ada beberapa wadah berisi lele mentah yang sudah dibumbui oleh Nina. Jadi ketika ingin lele tinggal menggorengnya saja. Begitu semuanya matang, aku segera menyiapkan dua makanan, satu untuk si kembar yang nasinya kulembutkan lebih dulu, satunya untuk mama mereka juga untukku. Dari sejak Nina mau mencoba menerimaku menjadi suami dia yang sesungguhnya, aku dan dia lebih sering makan sepiring berdua daripada makan sendiri-sendiri. Aku meletakkan dua piring ke meja makan setelah itu membuat s**u di gelas besar yang kemudian kumasukkan ke dua dot. Karena ASI Nina tidak mencukupi, jadi si kembar disambung s**u formula sejak usia 4 bulan. Dengan membawa dua dot di tangan kiri dan kanan, aku berjalan ke kamar. Aku tersenyum di ambang pintu dan mengangkat masing-masing dot ke udara. "Baby, lihat sini apa yang ayah bawa!" Hanif yang sedang mainan botol minyak kayu putih dan Hanifa sedang memperhatikan gambar yang diperlihatkan Nina seketika menoleh, mereka dengan tak sabar turun ke bawah, keduanya merangkak ke arahku dengan cepat. Aku berjongkok dan memberikan satu-satu pada mereka yang langsung menyedot cairan putih s**u dari dalam dot. Aku menatap Nina. "Ayo Sayang, kita makan dulu." "Aku lagi gak selera makan, Mas." "Tetap harus makan. Walau sedikit, yang penting perutmu terisi, Sayang." Nina menggeleng kuat. "Enggak mau, Mas." Aku mendekat kemudian menggendongnya menuju ruang makan, kududukkan Nina di kursi lalu aku mengambil si kembar. Saat aku kembali, tampak Nina membekap hidungnya tampak ingin muntah. "Kamu gimana si Mas, aku lagi ... hu-- ek!" Dia membekap bibirnya, dengan cepat berlari ke kamar mandi. Kusambar masker di meja, mengenakannya sambil berjalan menyusul Nina yang sedang muntah-muntah. Ia hanya muntah cairan saja. "Mas ini, udah tau aku hawanya mual-mual mulu eh malah goreng ikan." "maafkan Mas, Sayang, mas lupa. Dulu adikkan apa saja dimakan waktu hamil si kembar." "Kan beda, Mas!" "Iya, Sayang, iya mas minta maaf. Mas ambilkan nasi dan sayur saja, ya? Setelah makan kita ke klinik Al." Aku bergegas memindah lele dari piring ke lemari lalu menuntun Nina untuk duduk di kursi. Nina membekap hidungnya. Aku menatap si kembar yang mulutnya belepotan nasi yang sudah kulumat dengan lele lalu nyengir kecil pada Nina yang mendelik. Nina berdiri. Aku segera membersihkan wajah juga tangan si kembar setelah itu mengambilkan nasi untuk Nina. Saat melihatku meninggalkannya, si kembar kompak menangis. "Sayang, sebentar, ya, ayah suruh mama kalian makan dulu." Lalu aku bergegas ke depan diringi tangisan si kembar, keduanya merangkak di belakangku. Nina menghela napas saat aku duduk di sampingnya. "Kan aku udah bilang lagi gak selera makan, Mas." "Makan walau hanya sesendok, Sayang." Nina menyentak napas, ia membuka mulut dengan terpaksa saat aku mulai menyuapinya. Si kembar muncul dan melangkah ke arahku. Kuletakkan piring ke meja dan mengulurkan tangan pada mereka yang langsung merangkak ke arahku. "Kalau begitu, kita ke dokter sekarang, ayo." Nina tidak protes. Aku menggendong si kembar di pinggang kanan dan kiri lantas berjalan menuju halaman. Aku segera membuka pintu mobil lalu memasukkan si kembar. Nina menyusul masuk. Sepanjang perjalan menuju klinik Aldriansyah, wajah Nina terlihat sedih. Ia bahkan seperti akan kembali menangis. Begitu sampai klinik, Al langsung memeriksa. "Selamat, mau punya anak lagi," ucap Al sambil mengedip menggoda yang kutanggapi dengan pelototan. Al ini anak bude, yang artinya dia itu sepupuku. "Mau di USG sekalian tidak?" tanyanya. "Iya, biar bisa melihat perkembangannya." Al menyuruh Nina berbaring. Ia segera memberi gel ke perut istriku yang tampak gusar dengan tatapan ke layar laptop. "Sudah usia 3 bulan. Wah, ada dua ini." "Dua?!" tanyaku kaget bagai disambar geledek. Mata Nina membelalak menatap kursor yang digerakkan Al. "Kembar, Dok?" tanya Nina dengan suara bergetar, matanya berkaca-kaca mau menangis. "Iya ini dua, kembar, waah si kembar mau punya adik kembar," kata Al sambil setengah tersenyum, ia menunduk menatap Hanif dan Hanifa yang rambatan di dinding memperhatikan gambar-gambar binatang, sesekali keduanya berceloteh. Nina beranjak duduk pelan-pelan begitu selesai USG. Dia berdiri dan tiba-tiba saja tubuhnya terhuyung ke samping, aku menangkapnya cepat. "Sayang kamu kenapa?!! Sayang!" Teriakku panik mendapati tubuh istriku terkulai lemah di pelukanku. Al memperhatikan Nina. "Padahal darahnya normal." "Ini salahmu, Al!" Aku menatapnya kesal. Mata Al melebar kaget, ia menunjuk dadanya sendiri. "Kenapa menjadi salahku?" Dia kebingungan. "Tentu saja salahmu! Seharusnya tidak kamu katakan padanya bahwa dia hamil anak kembar. Sayang, bangun, Sayang. Sa-yang!" Aku menggendong Nina, meletakkan ke ranjang lalu menepuk-nepuk pipinya pelan. Nina membuka mata, tapi kemudian kembali jatuh pingsan lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN