Pintu utama rumah itu akhirnya terbuka, dari dalam dan oleh Hita. Wanita itu berhasil mengalahkan keraguannya, ia bertekad menemui Arutala dan bertanya langsung pada pemuda itu tentang semua rasa penasarannya sekarang.
Namun, saat ia berjalan ke beranda rumahnya, ia menatap dengan kening berkerut pada rumah yang kini menjadi tempat tinggal Arutala. "Dia di mana? Di kamar? Nggak mungkin aku mau teriak panggil nama dia. Nggak mungkin juga aku datengin rumah dia."
Rumah yang Arutala tinggali itu tampak sepi, ruang tamu pun tampak gelap. Hal itu membuat Hita mengurungkan niatnya. "Udah lah, lupain aja. Belum tentu kalau aku tanya sama dia, dia bakalan jawab semua pertanyaan aku. Gimana kalau dia malah senyum-senyum aja kaya tadi? Dia juga pasti besar kepala karena aku nyariin dia, mending aku tidur aja."
Hita membalikkan badannya, melangkah pelan memasuki rumahnya. Menutup pintu dengan sangat pelan, tak ingin sang suami mendengarnya, walau ia tak tahu apakah sang suami sudah tertidur atau masih terjaga.
Wanita cantik itu meraih ponsel dan laptop dengan tergesa, lalu membawanya ke kamar. Ya, ia memilih masuk ke kamarnya untuk tidur. Walau ia tak yakin kalau usahanya untuk tidur saat itu akan berjalan lancar atau tidak. Yang jelas, pikirannya sekarang dipenuhi oleh satu nama-Arutala.
Laptop yang masih menyala sedari tadi diletakkan di atas nakas yang ada di samping ranjangnya. Begitu juga dengan ponselnya.
Hita sendiri lalu masuk ke dalam kamar mandi, menuju wastafel dan mencuci wajahnya di sana. Membasuh wajah berulang kali sengaja ia lakukan agar merasa lebih segar dan bisa mengurangi rasa sesaknya di d**a yang disebabkan oleh rasa penasaran akan tindakan Arutala. Namun, sebanyak apa pun ia membasuh wajahnya, nama pemuda itu tak kunjung lenyap dari pikirannya.
Istri Yassa itu menatap pantulan wajahnya di cermin, matanya tampak sayu, walau dengan kondisi wajah yang basah itu. "Biarkan aku tidur malam ini, Arutala. Atau aku akan membencimu selamanya, karena udah berhasil buat aku seperti ini!" seru Hita yang tentu saja ingin ia katakan pada orang yang bersangkutan, sayangnya yang ada di hadapannya saat ini adalah pantulan dirinya sendiri.
Embusan napas Hita terdengar acak, ia menunduk dan mengusap wajahnya dengan tangan kosong. "Aku bisa. Aku pasti bisa! Dia cuma bocah yang lagi bosen aja, mungkin dia cuma mau cari hiburan aja. Ya, aku nggak boleh terganggu karena dia. Malah aku yang rugi."
Wanita itu menyadari kalau perasaannya saat itu hanya akan merugikannya saja. Yang mana ia tak bisa konsentrasi menulis, dan alur cerita yang ia tulis pun tak maksimal. Selain itu, ia pun menjadi gelisah di sepanjang waktu, ingin tidur pun rasanya susah, sesak di mana-mana. Benar-benar menyiksanya.
"Kalau dia cuma main-main, aku yang bodoh."
Hita keluar dari kamar mandi dan lalu duduk di depan meja riasnya. Mengeringkan wajah menggunakan tisu dan lalu mengoleskan beberapa krim ke wajahnya, setelah itu ia kembali menghela napas panjang. "Oke, waktunya tidur. Anggep nggak ada Arutala di hidup aku. Anggep kalau aku nggak pernah dengerin apa pun yang anak itu bilang!"
Penulis n****+ online itu lalu beranjak dari meja riasnya, menuju ke ranjang dan membiarkan tubuhnya terbaring di sana. Tanpa menarik selimut dan tanpa mengganti pakaiannya, Hita memilih langsung memejamkan matanya. Berharap kalau ia akan segera terlelap, tetapi hingga waktu berjalan begitu lama, ia masih saja terjaga.
Kegelisahan itu tak hanya Hita yang merasakannya, tetapi Arutala juga. Pemuda itu menunggu sang pujaan hati untuk memberikan komentar, atau setidaknya tanda suka sebagai tanda kalau Hita sudah membaca postingannya. Namun, harapannya sia-sia karena Hita tak memberikan reaksi yang seperti ia inginkan.
"Apa kamu udah tidur, Mbak? Apa kamu tidur bareng suami kamu?" Arutala juga memiliki banyak pertanyaan untuk Hita, yang mana hanya ia pendam sendiri. Tak mungkin ia menanyakan hal seperti itu pada sang pujaan hati. Selain tak etis, rasanya akan sangat menyakitkan jika ia tahu kalau tiap malam Hita menghabiskan waktu dengan Yassa, yang mana pria itu jelas-jelas tidak mencintai Hita.
"Andai kamu tahu apa yang suami kamu lakukan di belakang kamu, apakah kamu akan terus bertahan menjadi istrinya? Aku berharap kamu marah dan pergi, lalu memutuskan untuk berpisah. Lalu ... saat itulah aku masuk dan akan berjuang untuk bisa menjadi suami masa depan kamu, Mbak." Arutala beranjak dari ranjangnya, lalu berjalan menuju ke arah jendela kamarnya. Dibukanya jendela itu, membiarkan angin malam masuk ke dalam kamarnya, menabrak setiap inci kulit wajah dan tubuhnya. Segar, sungguh menghiburnya.
Di saat ada sedikit rasa cemburu di dadanya, karena ia berpikir Hita satu ranjang dengan Yassa, embusan angin malam itu mampu menyejukkan hatinya. "Aku nggak boleh begini, bagaimana pun aku tahu kalau dia udah nggak single lagi. Mau dicinta atau nggak sama suaminya, sekarang ini, akulah orang luar yang berusaha menghancurkan rumah tangganya." Sadar akan rasa cemburu itu sia-sia, Arutala memilih untuk mengabaikannya dan fokus tentang apa yang akan ia lakukan sebelumnya untuk memperjuangkan perasaannya ke Hita.
Seperti yang ia katakan pada Yassa sebelumnya, kepindahannya ke Jakarta adalah untuk memperjuangkan cintanya, cinta yang sangat sulit untuk ia gapai. Bagaimana tidak, yang pertama Hita sudah tak sendiri lagi, merebut istri orang adalah hal yang tak seharusnya ia lakukan. Namun, ia tak bisa menyerah, setelah ia tahu siapa pria yang kini menjadi suami dari wanita pujaannya.
Yang kedua, sekalipun Hita tak lagi menjadi istri Yassa dan tak menjadi milik siapa-siapa, belum tentu wanita itu memiliki perasaan yang sama dengan apa yang ia rasakan. Jadi, dia memiliki tugas besar yaitu menjadikan Hita sebagai wanita single dan lalu membuat wanita itu memiliki perasaan yang sama dengannya. Membayangkannya saja sudah tampak sulit, tetapi Arutala sudah bertekad dan ia sudah memulai perjuangannya dengan pindah ke Jakarta. "Senja Suraduhita." Nama lengkap istri Yassa disebut pemuda itu dengan suara yang terdengar merdu, penuh perasaan.
"Mbak, harusnya kamu sadar kalau kita ini udah ditakdirin untuk bersama. Lihat saja nama kita, saling melengkapi, Senja ... Fajar. Aku lah yang akan mewarnai hidupmu, dan kamu lah yang akan menjadi sumber kebahagiaanku." Senyum manis pemuda itu kembali nampak, sayang tak ada yang melihatnya. Benar apa kata asisten rumah tangga Hita, Arutala memang tampan. Perawakannya tampak sempurna, wajah tampan, badan kekar dan tinggi serta usia yang masih muda. Dengan penampilan seperti itu, ia bisa saja mencari pasangan yang bukan milik orang lain. Namun, apa yang bisa ia lakukan jika perasaannya untuk Hita terlalu kuat?
Bukan hanya dari fisik saja, sikap Arutala yang santun, ramah dan bahkan jago mengucapkan kalimat manis, adalah kelebihan yang tak banyak orang bisa melakukannya. Jika Hita masih single, mungkin saja ia bisa dengan mudah jatuh hati pada pemuda itu.
***
Pagi menyapa. Hita menyiapkan makan pagi seperti biasa, menyantapnya bersama sang suami dengan suasana datar saja dan lalu mengantar kepergian suami dengan senyum yang tampak palsu.
Setelah melihat mobil Yassa pergi meninggalkan pekarangan rumah, Hita menoleh dan menatap rumah tetangganya.Tanpa ia sangka, ternyata sang penghuni ada di teras rumah, menatapnya tanpa ragu dan lalu senyuman manis terlihat jelas di sana.
Hita tampak salah tingkah, gelagapan seperti maling yang ketangkap basah. Padahal tak ada yang Arutala lakukan selain melempar senyum pada wanita itu. Melihat sang pujaan hati menggaruk kepala dan leher secara bergantian, dan lalu berlari masuk ke dalam rumah, membuat pemuda itu terkekeh lirih.
"Ah, cute banget. Bagaimana bisa aku nggak jatuh cinta kalau kamu secantik itu, Mbak. Sepagi ini, dan aku udah lihat kamu, lama-lama kena diabetes juga aku." Arutala mendesis kemudian, mengulum bibirnya dan lalu mendekati pagar pembatas rumahnya dan rumah Hita.
"Mbak," panggil Arutala.
Tak ada sahutan dari Hita, bukan karena wanita itu tak mendengar. Ia masih berdiri di balik pintu, memegangi dadanya karena degup jantung yang tak beraturan, ia menyesal karena bertingkah seperti orang bodoh di depan pria yang selalu menggodanya itu.
"Keluar lah, aku mau bicara." Kembali Arutala bersuara, ia begitu bersemangat menggoda sang pujaan hati yang ia yakini mendengar semua ucapannya itu.
Masih tak ada jawaban. "Senja Suraduhita!" seru Arutala, sengaja ia menaikkan volume suaranya. Ia ingin Hita keluar dan menemuinya.
"Mbak! Kamu cantik! Dan aku suka!"
Semakin Hita mengabaikan Arutala, pemuda itu malah semakin bersemangat menggodanya. Jantung wanita itu berdegup lebih cepat dari biasanya, tetapi ia tak tahu alasan di baliknya. Yang ia tahu saat ini ia begitu malu karena tingkah tetangganya, dan takut kalau ada orang lain yang mendengarnya.
Buru-buru penulis n****+ online cantik itu keluar dari persembunyiannya, dengan mata melotot tajam dan bibir yang sengaja ia cebikkan, napas menggebu pun menjadi saksi akan kekesalannya pada pria yang kini ia tatap. "Kamu!"
Arutala terkekeh, giginya bagian depan terlihat sempurna, putih bersih dan rapi. "Makanya jangan sembunyi. Kecantikanmu terlalu sia-sia untuk disembunyikan, Mbak."
Lagi dan lagi, pemuda itu tak menanggapi kekesalan wanita pujaannya. Ia malah senang dan merasa terhibur, apa pun ekspresi yang Hita berikan, asalkan ia bisa bertatap muka dengan wanita itu, semua itu lebih dari cukup.
"Mau kamu sebenarnya apa, sih?" tanya Hita dengan kaki yang perlahan melangkah mendekat ke arah Arutala. Wanita itu kemudian berhenti di saat ia merasa jarak di antara mereka sudah cukup dekat, sudah cukup untuk saling mendengar agar tidak ada lagi yang berteriak. Sungguh memalukan jika sampai ada orang lain yang mendengar, dan itu bisa menimbulkan prasangka buruk dari orang lain.
Tak langsung menjawab pertanyaan wanita cantik yang kini sudah berdiri di depannya, Arutala kembali memamerkan senyum manisnya. Sungguh menawan.
"Mau kamu apa, sih?" tanya Hita sekali lagi. Masih dengan pertanyaan yang sama.
"Aku mau ngobrol sama kamu." Singkat saja Arutala menjawab, nadanya pun terdengar ringan, seolah ia tak merasa bersalah sama sekali karena sudah membuat Hida kesal.
"Nggak penting banget!" Hita berbalik, ia berniat meninggalkan Arutala karena banyak hal. Yang pertama, ia masih merasa malu karena tingkahnya sebelumnya. Kedua, ia tak tahu kenapa degup jantungnya masih saja lebih kencang dan tak kunjung normal lagi di saat ia harus terus bertatapan dengan pemuda itu. Serta, yang ketiga, ia takut kalau ada orang yang melihat ia mengobrol dengan pria lain padahal suaminya sedang bekerja.
"Kalau kamu pergi, aku akan ke rumah kamu."
Tiba-tiba saja Arutala mengancam Hita, ia sendiri tak menyangka kalau ia akan melakukan hal tersebut. Yang ia inginkan sebenarnya adalah menghabiskan waktu lebih lama lagi dengan wanita pujaannya, sayangnya ancamannya malah membuat istri Yassa itu semakin kesal padanya.
Hita berbalik dan menatap Arutala dengan mata yang membola. "Sekali lagi kamu berbuat sesuka hati kamu, dan ganggu hidup aku, aku nggak akan segan ceritain semua yang kamu lakuin ke suami aku!" Wanita itu membalas ancaman Arutala dengan ancamannya. Ia tak main-main, ia sangat marah saat ini. Namun, jauh di dalam lubuk hatinya, ia sendiri tak yakin kalau suaminya akan peduli tentang dirinya.
Pria muda bernama lengkap Fajar Arutala itu terkekeh lirih. "Sepertinya cukup untuk hari ini. Setidaknya aku sudah cukup puas ngelihat kamu, dari kamu tersenyum sampai kamu cemberut begitu." Kembali ia menunjukkan sikapnya yang selalu tampak santai di segala situasi.
Melihat reaksi Arutala yang tak sama dengan dugaannya, Hita benar-benar merasa dipermainkan. Kali ini ia merasa yakin kalau pemuda yang sudah menjadi tetangganya itu hanya bermain-main dengannya. "Kalau kamu bosan, kenapa kamu nggak cari kesibukan yang lebih bermanfaat? Kenapa harus ganggu aku?" tanya Hita yang kali ini bersuara lirih. Tampak ia begitu frustrasi dengan sikap Arutala yang sulit ia tebak itu.
"Apa kamu masih nggak tahu tentang perasaanku ke kamu? Haruskah setiap saat, setiap aku bertemu denganmu, aku katakan kalau aku suka sama kamu?" Pertanyaan yang diucapkan dengan suara lembut dan merdu itu menyentil hati Hita. Sontak saja wanita itu kembali menghadirkan seribu pertanyaan di benaknya, tetapi mulutnya terlalu kaku untuk menyampaikan semua pertanyaan itu.
Tiba-tiba saja, terdengar suara yang tak asing lagi. "Apa?!"
Suara itu muncul dari balik pagar, Arutala dan Hita menoleh bersamaan ke arah sumber suara. Keduanya tampak terkejut, tetapi Hita yang paling menunjukkan rasa terkejutnya. Karena suara itu adalah suara asisten rumah tangganya.
Apakah ia mendengar semuanya? Apakah ia akan salah paham? Bagaimana kalau asisten rumah tangga itu salah paham padanya dan mengadu pada Yassa-sang tuan di rumah itu? Lalu bagaimana juga kalau hal itu disampaikan ke banyak orang? Hita tampak gugup dan ketakutan, sementara sang asisten rumah tangga itu masih menatap Hita dan Arutala secara bergantian dengan mata yang melotot tajam.
Di benaknya, hanya satu yang ia pikirkan, hanya satu yang ia tanyakan. Benarkah apa yang barusan ia dengar? Lalu ia berharap setelahnya, semoga saja ia salah mendengar.
"Apa yang baru saja saya dengar? Apa itu benar? Saya nggak salah dengar?"