Hita tampak tak suka dengan ucapan Arutala yang baru saja ia dengar, padahal itu adalah sebuah pujian tulus dari hati pemuda yang dianggapnya aneh itu. Perasaan itu tak muncul begitu saja, ia beranggapan kalau pemuda yang jauh lebih muda darinya itu hanya membual saja.
Wanita cantik yang kini menekuk wajahnya itu mengambil napas dengan tak teratur. "Sebenarnya apa mau kamu? Sikap kamu benar-benar membuat aku bingung, kenapa ada pria lajang yang mau menggombal pada wanita yang sudah bersuami seperti aku? Apa memang ini hobi kamu? Atau kamu punya dendam padaku?“
Hita membalas pujian Arutala dengan serentetan pertanyaan yang memang mengusik hatinya. Mengingat bagaimana dan apa saja yang pemuda itu katakan tadi selama makan malam bersama sang suami, membuatnya bertanya-tanya. Benarkah Arutala menyukainya? Atau hanya keisengan seorang pria yang kesepian? Atau mungkin dirinya hanya akan dijadikan objek pengamatan oleh pemuda yang berprofesi sama dengannya itu?
Mendengar pertanyaan dari wanita yang ia cintai itu, bukannya marah atau tersinggung, lagi-lagi Arutala memamerkan senyum manisnya. Ia senang karena setidaknya perhatian Hita sudah mulai tertuju padanya. Itulah yang ia inginkan, perlahan masuk ke dunia Hita dan lalu perlahan mengubah kehidupan wanita itu dari seorang istri yang tak dianggap, menjadi wanita yang paling berharga sedunia.
"Pelan-pelan saja, Mbak." Bukannya menjawab pertanyaan dari Hita, Arutala malah mengucapkan kalimat yang berhasil membuat kening Hita berkerut.
"Maksud kamu?"
"Waktu kisah masih panjang, sepanjang perasaanku ke kamu yang aku yakin tak memiliki ujung. Simpan rasa penasaran dan berbagai tanda tanya itu, sembari perlahan belajar menyimpan setiap kenangan yang akan kita ukir. Yang jelas, aku tak pernah main-main dengan ucapanku." Kembali Arutala tersenyum manis tatkala kedua bola matanya menangkap ekspresi tak biasa Hita.
Ekspresi yang menggambarkan rasa terkejut bercampur dengan rasa tak percaya. Bagaimana ada orang seperti Arutala? Itulah yang ia pikirkan.
Jelas-jelas pemuda itu sudah tahu tentang kehidupannya, ia sudah tak sendiri. Jika foto yang ia kirim tak mampu meyakinkan pemuda itu, Hita masih bisa maklum. Mungkin saja pemuda itu berpikir kalau dirinya hanya mengarang, zaman sekarang banyak aplikasi edit foto. Namun, kali ini bukan hanya gambar saja.
Arutala menyaksikan sendiri kalau ia sudah berumah tangga, bertemu langsung dan bahkan mengobrol dengan sang suami. Lagi-lagi wanita itu memikirkan serentetan pertanyaan, yang kali ini ia memilih untuk memendamnya di dalam hati. Karena pertanyaannya barusan saja belum menemukan jawaban.
Berbeda dengan Hita yang kini memasang ekspresi datar, Arutala malah melebarkan senyumnya. "Sudah ya, Cantik. Aku pulang dulu, sana masuk, suami kamu bisa curiga kalau kamu terlalu lama di sini."
Ucapan Arutala menyadarkan Hita, wanita itu membuka sedikit mulutnya dan lalu menoleh ke arah dalam rumah. Benar yang pemuda itu katakan, ia kembali menutup mulutnya, menelan ludah dan kemudian menghela napas panjang.
Hita kemudian masuk kembali ke dalam rumah tanpa mengucapkan sepatah kata pun ke Arutala. Ia masih bingung dengan apa yang terjadi, semua yang ia alami sejak bertemu dengan pemuda yang sama-sama menulis n****+ online itu membuatnya bertanya-tanya. Apakah itu semua nyata? Atau hanya mimpi saja.
Wanita yang berstatus sebagai istri sah Yassa itu berjalan dengan lunglai menuju ke meja makan. Sang suami melihatnya, tetapi tak peduli sama sekali dengan istrinya.
"Dia sudah pulang?" tanya Yassa yang membuat Hita segera tersadar dari lamunannya.
Tampak gelagapan, menatap sang suami dengan mata yang membulat sempurna. Mengangguk dengan kuat. "Sudah, Mas," jawabnya singkat.
Sebenarnya wanita itu sudah menunjukkan rasa tidak nyamannya akan kehadiran Aratula, tetapi sang suami selalu tak peduli padanya. Yassa kembali menikmati gudeg yang masih ada di piringnya, seolah makanan lebih berarti dari sang istri.
Mendapati sikap sang suami yang seperti itu, tak membuat Hita marah atau pun kesal. Ia sudah terbiasa dengan sikap sang suami, pria yang terpaksa menjadi pasangan legalnya karena wasiat orang tua mereka. Hari demi hari Hita lalui dengan penuh sabar, padahal 5 tahun bukanlah waktu singkat bagi seorang istri yang tak dianggap.
Setelah makan malam selesai, Yassa masuk ke kamarnya dan mengurung diri di sana. Sementara Hita memilih duduk di ruang tamu sembari memandangi layar laptop miliknya dengan sorot mata kosong. Layar itu menyala, menunjukkan pekerjaannya yang belum selesai, tetapi fokus pikiran wanita cantik itu malah tertuju ke pemuda yang akhir-akhir ini mengusik hidupnya.
"Dengan siapa aku bisa berbagi kegelisahan ini?" tanyanya lirih, lalu helaan napas panjang terdengar. Wanita itu kemudian membanting tubuhnya ke badan sofa. "Arutala. Arutala. Arutala."
Menyebut nama pemuda tampan yang mengaku suka padanya sebanyak 3 kali, membuat bulu kuduk wanita itu merinding.
Kedua tangannya mengepal seiring dengan perasaan kesal di dalam dadanya. "Kenapa sih dia perlu hadir dalam hidup aku dengan cara yang seperti ini? Kenapa dia nggak berhenti mengganggu hidup aku setelah tahu aku ada Mas Yassa."
Suara wanita itu terdengar lirih, hanya dirinya saja yang mampu mendengar.
"Andai saja Mas Yassa lebih terbuka sama aku, sedikit saja ... aku yakin aku bisa berbagi keluh kesah ini dengannya. Ah, tapi ... seandainya Mas Yassa seperti suami pada umumnya, mungkin Mas Yassa akan cemburu karena ada laki-laki lain yang berusaha deketin aku." Masih berbicara sendiri, Hita merasa frustrasi dengan perasaannya itu.
"Apa yang bisa aku lakukan sekarang? Selain memendam perasaan ini sendiri. Bertingkah seolah semuanya baik-baik saja, padahal ...." Terdengar helaan napas panjang lagi.
"Ah, sudah lah!" seru Hita yang kemudian memilih untuk mengabaikan semua perasaan yang mengganggunya itu dan kembali menulis naskah novelnya.
Di tempat lain, ketika Hita tersiksa dengan perasaannya yang terusik, Arutala malah menikmati malam itu dengan perasaan bahagia. Bagaimana tidak, usahanya untuk memperjuangkan cintanya, bisa berjalan dengan begitu alus. Ia rela pindah dari tanah kelahirannya-Yogyakarta dan menyewa rumah di Jakarta hanya demi bisa dekat dengan wanita pujaannya. Betapa beruntungnya karena ia bisa mendapatkan rumah yang lokasinya tepat berada di sebelah rumah Hita.
Lalu, apakah itu hanya kebetulan semata? Tentu saja tidak. Perjuangan Arutala tidak tanggung-tanggung, dengan berbagai upaya ia akhirnya bisa tahu di mana Hita tinggal, dan kebetulan sekali rumah di sampingnya kosong dan disewakan.
Apakah takdir berpihak pada Arutala? Hanya Tuhan yang tahu.
Yang jelas, pemuda berusia 25 tahun itu begitu bersyukur dengan apa yang kini ia capai.
"Dengan tinggal di sini, aku bisa lihat wajahmu tiap hari, Mbak. Aku juga bisa menyapamu kapan saja, dan aku akan buktikan keseriusanku padamu. Tidak seperti apa yang kamu pikirkan sekarang, perasaanku ini tidak main-main."
Pemuda tampan itu duduk di ranjang, menikmati perut kenyang yang terisi makanan yang dimasak wanita pujaannya. Tangannya memegang gawai pipih miliknya, layarnya menunjukkan kalau ia sudah masuk ke halaman media sosial miliknya. Awalnya ia membuat postingan untuk menyapa para penggemarnya, karena selama seminggu lamanya ia jarang muncul menyapa, tentu saja karena kepindahannya dari Kota Pelajar ke Ibukota Indonesia yang padat penduduk itu.
Postingannya banjir komentar dari para penggemar, juga dari teman-temannya. Namun, puluhan komentar itu tak lantas membuatnya merasa puas. Ada satu orang yang ia harap juga ikut memberikan komentar di postingannya. Namun, hal itu tak akan mungkin terjadi. Tak kekurangan akal, Arutala memilih untuk menulis kalimat yang sengaja akan ia tujukan ke Hita, yaitu untuk postingan selanjutnya.
"Bukan tidak mungkin, apa yang sekarang bukan milikku, lalu suatu hari akan menjadi milikku. Dan bukan tidak mungkin, perasaan yang sekarang tidak ada, akan menjadi ada dan bahkan bersemayam abadi di sana."
Segera setelah postingan itu diunggah, komentar yang Arutala terima menumpuk di media sosialnya. Setiap notifikasi yang ada, satu nama yang selalu ia harapkan-Hita, nyatanya tak pernah muncul dan ikut berkomentar.
Hita sendiri masih sibuk menulis, fokus membuat cerita yang epik, yang mampu membuat pembacanya untuk terus setia mengikuti setiap alur yang ia buat. Namun, seolah mendapatkan telepati, kembali nama Arutala menelisik pikirannya.
"Ah, kenapa lagi aku harus memikirkannya. Mau sampai kapan aku terganggu dan hidup tak nyaman seperti ini?" gumam Hita yang kembali menyandarkan tubuhnya di badan sofa.
Matanya terpejam, helaan napasnya terdengar beraturan, tetapi suaranya jelas terdengar. Sepinya malam itu, sama seperti sepinya hatinya, hati yang tak pernah disentuh oleh sang suami. Tak ada cinta di sana, tak ada komunikasi layaknya suami istri. Kehidupan rumah tangga yang mirip dengan hubungan pertemanan, yang hanya berisi obrolan ringan, tak ada obrolan serius yang menyangkut perasaan di antara keduanya.
Hita sadar, kehadirannya sebagai seorang istri di rumah itu memang tidak diharapkan. Walaupun begitu, ia tak pernah membenarkan jika kehadiran Arutala bisa merubah kehidupannya. "Mana boleh aku ngebiarin laki-laki lain masuk ke kehidupan aku? Meskipun aku tahu kalau Mas Yassa nggak akan pernah cinta sama aku. Bahkan setelah 5 tahun berlalu, dia nggak pernah nyentuh aku. Kamar pun terpisah, obrolan pun seadanya. Apa yang aku harapin? Tapi ... tetap saja aku nggak boleh deket sama orang lain."
Sadar tentang hidupnya yang seperti itu, Hita hanya bisa berpasrah pada Tuhan tentang apa yang akan terjadi pada hidupnya. Karena, walaupun Yassa tak memperlakukannya layaknya seorang istri, bukan berarti ia bisa mendapatkan perlakuan itu dari pria lain. Bisa saja Arutala hanya main-main dengannya? Apalagi usia mereka yang terpaut jarak yang cukup jauh.
Merasa penat, Hita mengambil ponselnya dan lalu membuka aplikasi media sosial. Postingan Arutala yang menyapanya, muncul paling atas di beranda. Postingan yang menyapa para penggemar, yang mengundang rasa penasaran wanita itu untuk membuka linimasa milik pemuda itu. Barulah setelah itu, postingan Arutala yang ditujukan untuknya, ia baca dengan mata yang tak berkedip. "Apa maksudnya? Apa ini untukku? Apa aku yang dia maksud?" Lagi-lagi seribu tanda tanya muncul di benak wanita itu. Dengan gusar ia menoleh ke arah luar rumah, ia kesal dan penasaran, ingin sekali ia menemui pemuda yang mengaku suka padanya itu dan lalu bertanya tentang apa yang sebenarnya diinginkannya. Napasnya menggebu, tangannya mengepal dan matanya tak berkedip. Berdiri dengan tergesa dan dalam waktu singkat tangannya sudah memegang gagang pintu.
Masih ragu, apakah Hita benar-benar akan mendatangi rumah Arutala malam itu? Seorang diri? Apa yang akan dikatakan orang kalau sampai ada yang melihat?