Betapa terkejutnya Hita saat melihat Mimi-sang asisten rumah tangga yang selama 2 tahun ini sudah ia anggap seperti teman sendiri, malah memergokinya sedang berduaan dengan pria yang merupakan tetangga barunya. Walau ia dan Arutala ada di luar rumah, tetapi ucapan pemuda tampan itu benar- benar tak seharusnya terucap.
Bagaimana bisa seorang pemuda tampan jatuh hati pada wanita yang sudah bersuami?
Di samping Mimi, ada Kafka-anaknya yang kali ini ikut dengannya seperti yang memang biasa ia lakukan. Selain karena tak ada yang mengurus sang anak jika sang suami bekerja, Hita juga sangat senang jika anak kecil itu di rumahnya, rumah menjadi ramai dan menyenangkan.
"Apa kalian sudah saling kenal?" tanya Mimi lagi, padahal pertanyaannya barusan belum mendapatkan jawaban.
Baik Hita dan Arutala masih belum ada yang menjawab pertanyaan Mimi, padahal wanita itu sudah berpikiran yang tidak-tidak, hingga tangannya gemetaran tak karuan.
Hita menelan ludahnya, sementara Arutala melempar senyum dan memasang ekspresi santai yang benar-benar tak diinginkan istri Yassa itu. Pemuda itu tak menunjukkan rasa penyesalan dan malah berharap Mimi bisa membantunya. Entah apa yang membuatnya begitu percaya diri kalau asisten rumah tangga di rumah Yassa dan Hita itu akan membantunya suatu saat nanti.
"Mbak Mimi?! Jangan salah paham, aku bisa jelasin semuanya nanti. Ah, enggak, sekarang aja. Aku emang berniat mau ninggalin orang gila ini." Hita berbicara dengan lugas, menatap Mimi sesaat dan lalu menatap Arutala dengan sinis sebelum akhirnya ia pergi dari tempatnya berdiri beberapa saat yang lalu itu.
Mendengar jawaban dari Hita, ada sedikit angin segar bagi Mimi. Wanita itu merasa sedikit lega dan berharap kalau Hita bukanlah tipe wanita yang tak bisa menjaga kehormatannya sebagai seorang istri.
Mimi tahu kalau selama ini Hita dan Yassa belum diberi kepercayaan memiliki buah hati. Itu lah yang membuat wanita itu mengasihani sang majikan.
Mimi menatap Hita masuk ke dalam rumah tanpa ragu, lalu menatap Arutala dengan mimik wajah datar. Ia tak tahu apa yang seharusnya ia lakukan dengan benar. Di satu sisi, ia senang bisa mengenal pemuda tampan itu karena selain tampan, Arutala juga ramah dan baik hati. Namun, kini rasa senangnya sedikit ternodai, ia mulai berpikir kalau pemuda itu adalah orang buruk yang berusaha menggoda wanita yang sudah bersuami.
Mimi masuk ke dalam rumah Hita, meninggalkan Arutala dengan menggandeng tangan sang anak dan tanpa mengucapkan satu kata pun.
Sementara Arutala, pemuda itu malah dengan santainya tersenyum. "Pagi Mbak Mimi, yang semangat ya kerjanya." Sengaja ia mengatakannya dengan suara meninggi, tetapi Mimi sama sekali tak menggubrisnya.
Sesampainya di dalam rumah, Mimi sudah melihat Hita duduk di sofa, di ruang tamu. Istri Yassa itu menatap sang asisten rumah tangga dengan sorot mata yang tampak sayu.
"Duduk sini, Mbak." Hita mempersilakan Mimi untuk duduk di sofa.
Mimi dengan perlahan duduk di sofa yang berbeda dengan Hita, menarik tangan sang anak dengan pelan dan memangkunya. Lalu ia menunduk, merasa tak memiliki nyali untuk menatap sang majikan. Sebenarnya, ia tak berhak ikut campur urusan pribadi sang majikan. Hanya saja, selama ini, selama ia bekerja di rumah itu, ia tahu seberapa baiknya Hita. Baik sebagai seorang istri, seorang teman, apalagi majikan. Rasanya ia tak percaya dan terkejut kalau majikannya itu bermain api di belakang sang suami.
"Mbak Mimi jangan mikir yang aneh-aneh dulu. Aku akan jelasin semuanya, tapi aku mau Mbak Mimi berjanji buat nggak cerita ini semua ke Mas Yassa. Aku nggak mau Mas Yassa salah paham, sama seperti yang Mbak Mimi lakukan sekarang." Dengan tegas Hita ingin menyampaikan kalau apa yang Mimi pikirkan sekarang adalah hal yang tak benar. Walau ibunda Kafka itu tak mengatakan apa pun, tetapi Hita sudah tahu apa yang dipikirkan sang asisten rumah tangga.
Mimi terlihat semakin lega, ia bisa bernapas sedikit lebih lega, walau belum sepenuhnya. Ia masih menunggu penjelasan sang majikan.
"Tetangga yang Mbak bilang cakep itu, yang namanya Arutala, dia juga seorang penulis n****+ online macam aku ini, Mbak."
Satu kalimat panjang dari bibir manis Hita berhasil membuat kedua bola mata Mimi membola.
"Kami sudah saling kenal sebelumnya, sebelum dia tinggal di sebelah."
Hita melanjutkan penjelasannya, Mimi mendengarkannya dengan seksama. Perlahan, asisten rumah tangga di rumah Yassa itu merasa menyesal karena sudah memikirkan hal yang tidak-tidak tentang Hita-majikannya yang sudah menganggapnya seperti teman sendiri.
"Aku awalnya kaget, Mbak, kenapa bisa dia tinggal di sebelah. Dan seperti yang Mbak lihat tadi, memang benar kalau dia mengaku suka sama aku."
Kali ini kata Mimi seolah mampu keluar dari tempatnya, karena ia begitu terkejut.
"Aku tegasin ya, Mbak. Dia yang ngaku suka sama aku, dan aku nggak tahu apa dia serius, atau cuma main-main. Kalau aku sendiri, tentu saja aku nggak suka sama dia. Bagaimana mungkin aku bisa menyukai laki-laki lain, sementara aku sudah bersuami?" Sorot mata Hita tampak semakin sayu, raut wajahnya pun tampak seperti orang yang kelelahan.
Melihat hal itu, Mimi merasa bersalah. "Tadi saya kagetnya ya itu, Mbak. Saya pikir Mbak Hita ada main sama Mas Arutala. Ternyata seperti itu sebenarnya yang terjadi." Ia berharap ucapannya mampu menghibur sang majikan.
Hita mengerutkan bibirnya. "Makanya itu, Mbak. Aku mau minta tolong sama Mbak, tolong percaya sama aku. Aku serius nggak ada main api, main air atau apa pun itu lah. Aku sengaja sembunyiin ini dari Mas Yassa karena takut buat keributan. Untuk sementara aku akan mengabaikan Arutala, aku juga akan cari tahu apa yang dia mau, sampai nekat bilang suka sama aku begitu."
Mimi mengangguk. "Baik, Mbak. Saya akan rahasiain ini, dan semoga aja masalah ini cepat terselesaikan. Saya ikut kesel, sama itu tetangga baru. Padahal kelihatan cakep begitu, kenapa malah cari masalah dengan ganggu rumah tangga orang?" Wanita itu menyeringai kesal.
Hita terkekeh lirih melihat reaksi Mimi yang sudah berbeda jauh dari sebelumnya. "Terima kasih banyak, Mbak."
"Untuk apa, Mbak? Saya kan nggak ngapa-ngapain."
"Terima kasih karena sudah percaya sama aku. Aku dari tadi takut kalau orang lain akan salah paham. Padahal aku sendiri aja nggak terlalu kenal sama Arutala itu. Aku juga sangat terganggu dengan apa yang dia lakukan."
Mimi melihat raut wajah Hita yang tampak seperti orang yang frustrasi. Ia benar-benar merasa bersalah dan kasihan.
"Saya tahu Mbak bukan tipe wanita yang seperti itu. Tadi saya cuma kaget aja karena capek jalan kaki ke sini, eh sampai gerbang malah denger begitu. Saya kaget aja, Mbak. Maaf."
Hita tersenyum ringan, ia mencoba terlihat tegar, tetapi raut wajahnya menunjukkan seberapa lelah ia. Lelah karena menjadi istri yang kurang mendapatkan kasih sayang suami, serta lelah karena ia tak tahu apa yang sebenarnya Arutala inginkan darinya. "Pokoknya, aku berterima kasih yang sebesar-besarnya. Karena Mbak Mimi udah mau percaya sama aku, karena udah mau jadi temen aku dan karena banyak hal lainnya."
Kesalahpahaman Mimi akhirnya sudah berakhir. Wanita itu kemudian mulai mengerjakan tugasnya, mencuci piring dan membersihkan rumah. Sementara Hita sendiri memilih masuk ke kamar untuk mandi. Sengaja ia berendam, ingin mendinginkan hati dan kepalanya yang terasa panas.
Sikap dan ulah Arutala tadi masih membayanginya. Ia takut kalau Yassa atau orang lain akan melihatnya jika pemuda tampan itu melakukannya lagi. Hita berharap segera bisa mengetahui tujuan utama Arutala melakukan itu semua. Dengan begitu, ia bisa melakukan hal yang benar, jangan malah salah memilih jalan.
Mimi merasakan ada yang berbeda dari Hita, apalagi sudah lama istri Yassa mengurung diri di kamar mandi. Jika biasanya Kafka asyik bermain dengan Hita, kali ini tidak. Bahkan sejak kedatangan mereka, Hita tak menyapa Kafka sama sekali.
Mimi sadar kalau Hita sedang banyak pikiran, matanya tampak sayu dan ekspresi wajah yang tampak kelelahan, sangat jelas terlihat. "Semoga Mbak Hita nggak kenapa-napa. Kasihan, dia pasti stres dan nggak bisa nulis n****+ dengan fokus."
Tiba-tiba saja Mimi merasa kesal pada Arutala, lalu menyimpan dendam. Ia berniat akan memperlakukan tetangga baru Hita itu dengan sikap yang kurang ajar, demi membalas sikap Arutala yang dianggap salah dan kelewat batas. "Kalau memang Mbak Hita sama Mas Arutala itu sudah kenal lama, harusnya Mas Arutala kalau Mbak Hita sudah punya istri. Bisa-bisanya, dengan mudahnya bilang suka sama istri orang. Sudah, kalau begini memang nggak bener. Harus ditindaklanjuti ini!" Wanita itu berbicara dengan bibir mengkerut dan tangan yang memegang gagang pel sangat kuat.
Ketika Hita masih gelisah tak karuan, dan Mimi juga memiliki dendam pada Arutala, pemuda itu sendiri sedang sibuk dengan pekerjaannya. Ia sama sekali tak terusik dengan sikap acuh tak acuh dari Mimi tadi pagi.
Jemari Arutala menari indah di atas keyboard laptop miliknya, matanya tampak fokus menatap layar, sementara pikirannya sedang memikirkan alur jalan cerita atas n****+ yang sedang ia tulis itu.
Arutala sendiri berada di kamarnya, kamar yang baru ia tempati 2 hari ini, tetapi terasa begitu nyaman dan hangat.
Jemarinya berhenti tiba-tiba saat pikirannya tak lagi fokus ke alur cerita n****+ yang ia tulis. Apa lagi yang bisa mengalihkan dunianya kalau bukan wanita yang bermana Senja Suraduhita?
"Ah, apa yang akan aku lakuin mulai sekarang? Harus mulai dari mana aku? Apa aku langsung to the point aja sama dia? Tapi bagaimana kalau dia malah benci sama aku?“
Arutala benar-benar percaya diri dengan perjuangannya sekarang. Karena ia sudah memegang kartu milik Yassa, kartu yang sudah ia yakini dapat membuat Hita lepas dari ikatan sang suami yaitu Yassa. Lalu, apa sebenarnya kartu yang dimiliki pemuda tampan itu? Hingga ia memiliki nyali untuk melakukan itu semua, hal yang sebenarnya salah, tetapi malah benar di matanya.