CHAPTER 2

1083 Kata
Beberapa hari setelah kejadian kram perut, aku lebih banyak istirahat di rumah. Aku masih rutin ke kantor sekadar menyelesaikan semua pekerjaan yang menjadi bagianku. Setelahnya, aku akan izin pulang lebih dulu dengan alasan sakit. Pak Nathan, atasanku, tahu betul tentang penyakit yang kualami. Beliau pun tidak segan-segan memberi izin cuti seperlunya jika tahu penyakit itu kambuh lagi. Walau aku yakin, kemudahan itu tidak wajar, tapi aku menganggapnya sebagai suatu anugerah. Sisanya, hanya tinggal bertahan dengan tatapan aneh dan iri dari rekan kerja yang lain. Walau beberapa kali aku tidak sengaja mendengar mereka mengatai ku wanita berduri yang gemar merusak hubungan orang, aku tidak peduli. Mereka bahkan tidak tau sedikit pun kebenaran tentangku. Jadi omongan mereka sama sekali tidak penting. Aku mengusap perutku dari luar piyama yang kupakai... tidak pernah berpikir bahwa aku akan mengalami kemalangan ini. Aku sering memimpikan kehidupan keluarga sederhana yang bahagia, menikah, mengandung lalu melahirkan. Tapi, ya Tuhan, bahkan sekarang aku tidak tahu apakah pilihanku adalah yang terbaik bagi Al, bagiku dan bagi semua orang yang mengkhawatirkan ku. *** “Al,?” ucapku serak saat bayangan wajah Al samar-samar sangat dekat ke wajahku. “Kenapa tidur di sofa, Nad?” keningku berkerut. Ini bukan suara Al. Aku segera duduk dan langsung mengambil kaca mata dari atas meja. “Riz?” tanyaku heran, “Kenapa bisa di sini?” Keningku berkerut sementara mataku menyusuri ruangan, memastikan bahwa aku memang berada di flat ku sendiri. “Theo sedang ke bawah menemui seseorang, mungkin rekannya.” Riz bergeser dan duduk di sofa yang berhadapan denganku, tangannya membuka botol minuman dan cemilan yang ada di atas meja. Mendengar penjelasannya aku sedikit lega, berarti Riz dan Theo datang bersama. “Begini Riz,” kataku sambil membetulkan letak kacamataku, berniat meminta Rizky agar segera pulang, sebab aku belum nyaman. Tapi sebelum niatku tersampaikan, Riz memanfaatkan kesempatan untuk bertanya tentang masalah kemarin hari. Wajahnya pun serius. “Kamu sudah cerita padanya?” Aku diam memandang ke arah lain, tidak menutupi bahwa aku sedang tidak berselera membahas hubunganku dengan Al. Rizky yang menyadarinya hanya menghela nafas. “Orangtuaku khawatir padamu Nad. Jika masih sakit, segeralah berobat. Mereka juga tidak ingin kamu menjalin hubungan dengan orang lain jika tidak didasarkan kejujuran dan kepercayaan. Itu bisa jadi bumerang untukmu ke depannya.” “Paman dan bibi tahu tentang Al?” tanyaku sedikit kaget. Tidak kusangka kabar hubunganku dan Al sudah sampai ke telinga orangtua Rizky. Rizky menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi, menatap langit-langit. “Kamu tahu sendiri kan mereka sangat menyayangimu. Terlepas dari keinginan mereka untuk menjadikanmu menantu, mereka sudah menganggap mu seperti putri mereka sendiri,” ucapnya sembari menghela nafas. Aku diam. Tak bisa dipungkiri, saat Riz membahas masa lalu, aku seperti ditarik pada kenangan yang sangat ingin ku lupakan dalam hidup. Perasaannya hampir sama saat mengingat diri sendiri jatuh terguling dari tebing curam menuju laut dalam. Walau akhirnya selamat dan baik-baik saja, tapi otak tidak pernah lupa rasanya. Tanpa kusadari, Rizky berdiri dan berjalan ke arahku. Tangannya yang dingin menyentuh keningku membuatku kaget, sekaligus sadar. "Dan aku pun sama, selain sahabat. Aku sudah menganggap mu seperti adik, Nad. Kami semua mengkhawatirkan mu dan ingin yang terbaik. Tolong lakukan saja nasihat kami,” pintanya tulus. Aku memejamkan mata sebentar, lalu melepas tangannya dari dahi ku. “Baiklah, aku akan berobat. Puas?” ucapku sebal. Sebenarnya aku sudah memikirkan perkataan Riz dalam beberapa hari ini. Senyum terbit menghiasi wajah Rizky. “Begitu baru adikku yang baik,” serunya riang. Tidak lupa tangannya terangkat untuk mengacak-acak rambutku yang langsung ku lepas dan kubalas dengan tatapan tajam. “Hahaha.” Riz tertawa kencang. Sifat riangnya sudah kembali. “Hei,, sedang apa kalian?” Suara Theo mengalihkan perhatian kami. “Apa kami baru saja melewatkan sesuatu?” tanya Lya yang menyusul dari belakang. Tangannya menenteng sebuah kantong plastik bening besar. Aku bisa melihat di dalamnya ada iga sapi, buah dan makanan lainnya. “Ya begitulah, Nadi tadinya ingin memeras uangku, sayangnya tidak jadi setelah dia kalah main tebak-tebakan. Yah.. aku tidak sombong sih, belum ada yang bisa menandingi trik hebatku, hahaha,” ucap Riz dengan nada jenaka. Aku tertawa geli melihat reaksi Lya yang memutar mata, bosan mendengar Rizky. Sementara Theo berlalu begitu saja setelah menatap Rizky dengan tampang sedatar setrika. Yang ditatap malah semakin tertawa puas. Theo dan Riz pun berlalu menuju dapur untuk menyiapkan makanan. Aku segera memberi kode pada Lya untuk mendekat. Dia berhutang penjelasan padaku. “Apa? Bukankah aku sudah bilang akan datang malam ini?” tanya Lya karena melihatku mengangkat alis tidak sabaran. “Betul sekali, seratus. Tapi tanpa Rizky kan? Theo apalagi! Huasem,, Ini saat yang sangat tidak tepat. Intinya aku belum mau cerita semuanya pada Rizky," dengusku setelah memastikan aku dan Lya mendapat ruang sendiri untuk bicara empat mata. “Bukan begitu Nad. Tadi saat belanja di Mall Benz, Riz tiba-tiba menghubungi Theo dan kau pasti tau kelanjutannya.” “Apa kenapa kalian tiba-tiba begitu dekat?” tanyaku. Entah kenapa pikiranku menangkap kenyataan yang lain ‘ Sejak kapan Lya mau jalan bersama dengan Theo?’ Lya mengangkat bahu acuh, lalu mengeluarkan benda-benda yang mirip vitamin dari dalam tasnya. “Apaa kalian itu sebenarnya..” gumamku memastikan yang tadi. “Astaga, Rizky yang ngotot ikut, Nad. Bukan aku yang mengajaknya.” Lya mulai jengkel. “...” “Jadi aku tidak diinginkan di sini?” Aku berjengit kaget saat Riz tiba-tiba muncul. Wajahnya kecewa. Ck, kenapa dia tiba-tiba ada di sini sih? Bukannya mereka tadi sedang di dapur? “Riz, maksudku bukan begitu,” ucapku saat Riz mengemasi jaket dan kunci mobilnya dengan cepat. Aku beranjak menyusul Riz yang sudah mencapai pintu dan hendak membuka kenopnya. Sementara Lya masih diam di tempat. “Riz, please dengar dulu. Bukan itu maksudku tadi.” pintaku hati-hati saat dia diam sejenak di depan pintu. "Jangan baperan terus lah, Riz.." “Tapi bohong,” Dia berbalik dengan wajah yang menahan senyum menyebalkan. Aku melongo. Terdiam dalam hening yang muncul tiba-tiba, sampai ada suara jangkrik lewat di otakku. Riz mengerjai kami! Tersadar, aku segera memukul lengan Riz kuat-kuat. Bukannya meringis atau kesakitan, Riz malah tertawa kencang, membuatku geram dan mengejarnya. Suasana jadi sedikit heboh. “Sudahlah Riz, jangan terlalu kekanak-kanakan. Kita di sini untuk menghibur Nadi, bukan membuatnya kesal,” pinta Lya pada Rizky yang menghindar ke belakangnya. “Baiklah baiklah haha. Aku hanya bercanda sedikit. Kamu tahu kan Ly, Nadi sepertinya selalu menjaga jarak dariku sejak kejadian itu.” Rizky duduk lagi di sofa dan memejamkan mata ke arah langit-langit ruangan. Walau ceria begitu, aku masih bisa melihat raut kelelahan di wajahnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN