CHAPTER 3

1152 Kata
Gedung tinggi dengan warna dominan putih yang dikelilingi pepohonan rindang adalah Cipto Medical Center. Tempat yang sama ketika aku berobat setahun yang lalu. Tempat ini adalah milik keluarga Cipto tepatnya milik ayah Rizky dengan Ibunya Dokter Risa~yang juga salah satu dokter spesialis SpOG di sana. Aku masuk ke salah satu ruangan yang bernuansa putih dengan aroma karbol yang menusuk. Aku memilih duduk di kursi tunggu sambil mengamati ruangan. Masih sama seperti yang kuingat. Pintu sebelah terbuka, seorang dokter paruh baya muncul dan bergegas ke arahku. Sosok yang keibuan itu memegang bahuku dan memelukku erat. “Nadi, kamu sudah datang, Nak?” serunya hangat. Aku tersenyum mengangguk. “Tante apa kabar?” tanyaku setelah tante Risa melepas pelukannya. Tante Risa masih mengamati wajahku. Ada kegembiraan yang terlukis di wajah yang tidak lagi muda. “Tante baik-baik saja. Rizky bilang kamu akhirnya mau berobat, Nak?” tanya tante Risa. Aku mengangguk. “Biar kita periksa dulu ya kondisimu," kata tante Risa mengarahkanku agar terbaring di ranjang pasien untuk USG dan prosedur kesehatan lainnya yang tidak terlalu ku pahami. *** “Al?” ucapku bingung pada sosok yang sedang mengamati ku lekat dari seberang sana. “Kenapa murung begitu? Apa kamu sudah makan?” tanyanya sesekali menyesap sesuatu di cangkirnya. Aku mengangguk. “Al, kapan kamu akan pulang?” tanyaku lagi sambil memperhatikan aktivitasnya dari layar. Terlihat beberapa kali rekan-rekannya menyerahkan berkas ke dalam kemah yang kini ditempati Al. Alfredo mengamati wajahku, membuat suasana hening. Dahinya menyerngit. “Bukannya sudah tahu? Tiga hari lagi Nad,” katanya tanpa kedip. Ya, tentu saja aku sudah tahu. Aku memejamkan mata, terus menimbang-nimbang untuk jujur masalah kesehatanku atau tidak. “Mau membicarakan apa?” tanyanya. “Aku, sebenarnya aku... tidak ada lagi. Aku hanya, merindukanmu,” gumamku pelan. Sepertinya ini bukan saat yang tepat membicarakan masalahku, karena Al kelihatan sibuk walaupun sudah larut malam. Aku juga tahu paling sulit untuk membicarakan masalah dengan seseorang via jarak jauh begini. Kita tidak akan bisa menjelaskan kesalahpahaman jika pasangan langsung memutus panggilan sepihak. Walau Al bukan pribadi demikian. “Nadita,” panggil Al. Dari layar, bisa kulihat raut wajahnya yang kebingungan menghadapi sikapku. Seperti yang dijelaskan di awal, pria ini memang tidak suka bermulut manis. Tapi, setidaknya dia ahli cara memperlakukanku dengan baik. “Aku menyayangimu, Al...sungguh,” kataku terbawa suasana. Mata Al yang membulat jadi bukti bahwa dia terkejut mendengarnya. “Cepatlah pulang, Al. Aku ingin mengakui sesuatu padamu,” lirihku sambil mendekatkan handphone ke wajah. Entah kenapa rasanya ingin menangis. Ini sungguh terasa berat. “Dua hari lagi. Aku akan berusaha pulang dalam dua hari.” Aku sedikit terkejut. “Me..Memangnya bisa?” tanyaku. Al mengangguk. Ah, kekasihku yang kaku ini sungguh membuktikan ucapannya bahwa dia lebih menyayangiku melalui tindakannya. “Please, don’t cry," pinta Al. Aku segera menyeka wajahku yang basah. Aku bahkan tidak sadar bahwa aku menangis. Setelah mengakhiri komunikasi dengan Al, pikiranku terasa kosong. Bingung harus berbuat apa, akhirnya aku membuka laptop dan berusaha fokus terhadap pekerjaanku. Baru sebentar saja, tapi kata-kata tante Risa tadi pagi berputar lagi di kepalaku. “Nadi, apapun yang tante katakan nanti, jangan menghubungkannya dengan kejadian masa lalu. Dengarkan dengan kepala dingin.” Tante Risa memegang tanganku dengan erat. “Kondisi rahim kamu sangat buruk, Nak. Pingsan yang kamu alami selama ini adalah salah satu gejalanya. Tante yakin, siklus tamu bulananmu juga tidak teratur ditambah lagi rasa sakitnya.” Aku mengangguk mengiyakan. Selama ini, kupikir itu hal wajar, mengingat beberapa temanku juga mengalami hal yang sama. Tante Risa menunjukkan foto hasil USG dan menjelaskan detail sakit di rahimku. Terlihat ada tonjolan bulat di sana. “Dengar, Nad. Tante tahu betul keinginan terbesarmu, tapi kamu tidak akan bisa mendapatkannya tanpa melalui terapi.” “A..Apa yang harus ku lakukan, Tan?” tanyaku dengan wajah pias, mengutuk kebodohanku yang menunda-nunda pengobatan. “Kamu bisa menjalani terapi, Nad.Tapi terapi tanpa pasangan hanya akan menjamin kesehatanmu. Bukan impianmu. Kamu sebaiknya segera menikah Nak.” Bersamaan dengan itu, cahaya harapan yang tadi sempat muncul tertutup sudah dengan kabut gelap. Aku tidak melihat cahaya di masa depanku. Author POV “Kenapa? Kenapa..ya Tuhan,” isak Nadi dalam tangisnya. Berusaha mengalihkan pikiran dengan membuka e-mail dan membaca berkas kantor ternyata tidak membuahkan hasil. Nyatanya, sejak sejam yang lalu Nadi tenggelam dalam kesedihan dan air mata. Theo terjaga mendengar suara tangis di sebelah kamarnya. Dia beranjak dan berdiri di depan pintu kamar sang kakak beberapa saat. Menimbang apakah dia harus mengetuk atau tetap berdiri dengan resah. Saat Theo hendak mengetuk, tiba-tiba pintu terbuka dari dalam memunculkan wajah kusut Nadi. Matanya pun bengkak. “Apa suaraku berisik, De? Aku mendengarmu keluar kamar tadi,” T tanya Nadi. Dengan refleks, Theo segera merengkuh sang kakak sambil menepuk-nepuk bahunya. “Kak, kalo punya masalah, cerita padaku,” hibur Theo sambil mengusap kepala Nadi dengan lembut. “Aku belum siap menceritakannya, De.” Nadi melepas pelukan sang adik. Theo menghela nafas. Nadi terlihat menutupi kerapuhannya di depan Theo. “Kak, kakak tahu kan hal mendasar untuk menyelesaikan masalah adalah komunikasi? Aku sudah menahan diri untuk tidak mencampuri urusan kakak selama ini. Tapi, mendengar kakak menangis seperti tadi, aku tidak bisa diam saja. Aku tidak ingin kejadian ayah terulang lagi kepada kita, Kak. Waktu itu ayah tidak pernah bicara kepada kita karena kita masih kecil, belum mengerti kesedihannya. Tapi sekarang kita sudah dewasa kak. Kita bisa memberi masukan terhadap masalah masing-masing. Dan.. aku tidak ingin kehilangan kakak,” ujar Theo. Air mata Nadi mengalir turun meski dia hanya diam dan memandang Theo dengan sendu. Adik kecilnya sudah tumbuh dewasa. Bahkan Theo tampak lebih bijak dari dirinya sendiri. “Aku... hanya sakit biasa De. Tapi sekarang tambah parah. Aku akan sangat sulit punya anak. Aku..aku tidak tahu harus bicara apa pada Al. Dia...pasti akan segera meninggalkanku.” Nadi semakin terisak, menutup wajahnya dengan kedua tangan. Mengingat Al membuatnya berpikir hal yang tidak-tidak. Pengakuan Nadi membuat Theo mengusap wajahnya kasar. Dadanya bergemuruh menahan marah. Marah karena penyakit yang diderita kakaknya dan marah karena dia baru tahu hal itu. Theo memandang kakaknya itu dengan pandangan iba. Sekali lagi dia merengkuh bahu Nadi dengan erat. “Kakak jangan bilang seperti itu, Kak Al tidak akan meninggalkanmu.” Setelah menenangkan dan memastikan Nadi benar-benar istirahat, Theo kembali ke kamarnya dan menghubungi seseorang. “Kamu tahu kondisi kakakku?” tanya Theo kepada seseorang melalui telepon. “....” “Apa? Lalu apa dia juga tahu?” geram Theo. “....” “Kamu benar. Baiklah aku setuju.” Theo menutup ponselnya dan berjalan menuju kamar. Theo mengusap wajahnya seakan berpikir bagaimana mungkin dia tidak tahu-menau kondisi kakaknya yang sakit parah? Walaupun selama ini dia tinggal di akademi, dia juga pulang sekali-kali menemui kakaknya. Dan hanya tahu bahwa Nadi memang sering mengeluh sakit di bagian perut. Theo berpikir itu normal seperti kaum hawa pada umumnya jika mendapati tamu bulanan. “Kamu akan sembuh, Kak. Keluarga kita pasti bisa bahagia seperti dulu,” gumam Theo sambil melihat foto almarhum ayah dan ibunya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN