CHAPTER 1

1502 Kata
Al menghentikan mobil dinasnya. Dia buru-buru melepas self beth lalu keluar dari mobil dengan gerakan cepat. Tiba-tiba saja pintu di sampingku terbuka dan tanganku di tarik agar keluar dari mobil. Sedikit terkejut saat tiba-tiba tangannya menarik ku mendekat tanpa aba-aba. Refleks satu tanganku menyikut tepat di depan dadanya karena hampir saja aku terjungkal kehilangan keseimbangan. Tapi, Al tidak meringis, dia bahkan memelukku erat, lalu mengelus puncak kepalaku dengan err.. sangat tidak lembut. Baru saja aku memejamkan mata menikmati hawa romantis di sekitar kami, Al sudah mendorong bahuku agar berdiri ke posisi semula. Aku ingin protes, tapi urung melihat Al yang serius memandangi wajahku. “Al,” ucapku. “Sebentar, aku ingin merekam wajahmu dengan baik,” ucap Al diiringi senyum teduhnya yang tipis, sebenarnya hampir datar. Rasa senang sedikit membuncah dalam hatiku. Aku mendekat untuk memeluk tubuh tegapnya. Hangat, itu yang kurasakan. Dan kupikir bukan aku dan Al saja yang berbagi kehangatan ini, tapi juga sekumpulan rekan kerjaku yang selalu mencuri pandang kegiatan kami seminggu belakangan. Aku memang sedikit malu, tapi momen ini jarang terjadi, jadi harus ku manfaatkan semaksimal mungkin. Al melepas pelukan nya dan dengan cepat dia kembali ke dalam mobilnya. Dia tidak mengucapkan apa pun lagi, pandangan kami hanya bertemu lewat spion mobil. Aku memasang senyum terhangat, berharap senyumku bisa menambah semangat Al dalam menjalani aktivitasnya. Sama seperti arti senyum tipisnya untukku. Seperti biasa, Al akan diam beberapa menit tanpa membalas senyumku atau sekadar membunyikan klakson mobil. Lalu, hp-ku bergetar, notif dari Al. Alfredo : Akan aku jemput dua minggu lagi. Saat aku menoleh kembali ke arah depan, mobil dinas miliknya sudah melaju dengan senyap keluar dari halaman kantor. Aku menghela nafas sambil memejamkan mata. Menyiapkan diri tanpa Al untuk dua minggu ke depan menjadi semakin sulit karena aku semakin terbiasa dengan perhatiannya. *** Alfredo Patibrata, nama lengkap Al. Pria yang tadi mengantarku adalah kekasihku. Pria berusia 31 tahun asal Jawa Tengah itu resmi menjadi pasanganku sejak tiga bulan yang lalu. Tepat saat aku bertemu dengannya di perayaan kelulusan Theo, adikku. Baru ketemu sudah pacaran? Tolong jangan heran dulu. Aku berusaha berbaik sangka dengan penuturan Theo yang mengatakan bahwa Al sering berpapasan denganku walau aku tidak menyadarinya. Bisa dibilang kalau Al sudah lama memperhatikanku, tepatnya sebagai pengangum. “Kadang Al suka memperhatikanmu dari jauh, Kak,” begitu kata Theo. Awalnya aku juga berpikir Al hanya atasan iseng yang suka mengirim pesan kepadaku lewat perantaraan Theo. Tapi semua tidak sama seperti yang kupikirkan, saat Al menemui ku langsung dan mengatakan isi hatinya dengan serius dan... ...sangat tidak romantis. “Namamu Nadita Niman Naeswari, gadis biasa yang bekerja sebagai pegawai di kantor yang sama denganku. Ini mendadak bagimu. Tapi, tidak bagiku. Aku sudah memperhatikanmu sejak lama. Aku ingin lebih mengenalmu. Jadilah kekasihku.” Begitu kata-kata Al tiga bulan yang lalu. Saat itu aku berdiri kikuk setelah Theo mengantarku ke sebuah ruangan yang sepi untuk menemui Al. Lalu, adikku itu meninggalkan kami berdua saja. Aku harus berterima kasih pada Theo karena dia sangat tau cara memberi privasi. Hasilnya, aku dan Al saling menatap dengan ekspresi berbeda. Aku yakin, raut terkejut dan gamang tergambar jelas di wajahku setelah mendengar kalimat panjangnya apalagi ditambah ekspresi datar itu. Aku memang agak ragu. Tapi, entah apa yang merasuki ku, aku hanya mengangguk dan tenggelam sesaat dalam mata legamnya. Aku tersentuh dengan tatapan teduh Al, ada rasa penasaran ingin mengenalnya lebih jauh. Sebenarnya, tidak sedramatis itu juga yang kurasakan. Hanya saja, tidak salah untuk memberi kesempatan pada Al. Tepatnya lagi, aku hanya ingin memuaskan rasa penasaran. Setelah momen itu, aku merenungi diri dalam kesendirian. Theo bahkan kaget dengan keputusan ku saat kami sedang berada di dalam mobil dalam perjalanan pulang ke flat kami. Aku dan Theo tinggal di flat sederhana tidak jauh dari kantor. Dulunya kami tinggal bersama di sebuah rumah dengan ayah setelah penyakit ibu membawanya pergi selamanya dari kehidupan kami. Tapi, sekitar 5 tahun kemudian, tepatnya 10 tahun yang lalu, aku dan Theo resmi menjadi yatim piatu saat ayah juga ikut sakit-sakitan karena tidak tahan dengan kerinduan sebab ditinggal mati oleh ibu. Walaupun menjadi yatim piatu sejak lama, baik aku maupun Theo, kami hidup berkecukupan berkat kerja keras ayah yang membanting tulang demi kehidupan kami sampai kuliah. Kalau diingat-ingat lagi, sejak kepergian Ibu, ayah memang jarang pulang ke rumah kami yang dulu. Bahkan sangat jarang. Aku bahkan sempat membenci ayah karena berpikir ayah sibuk mencari istri baru dan melupakan kami anak-anaknya, seperti kisah kebanyakan orang. Tapi, saat ayah pulang diantar ambulance beserta rekan kerjanya juga sepucuk surat permintaan maafnya padaku dan Theo, seketika itu juga tangisan ku pecah. Selama itu aku tidak menyadari kesedihan ayah, diamnya ayah, dan kerja keras ayah. Bahkan sampai ujung hidupnya, kebencian lah yang menjadi balasanku untuk semua jasanya. Dan Al, pria yang tidak secara langsung menjadi atasanku di kantor mengingatkanku pada sosok ayah. Dia seorang yang terampil dan bertanggung jawab. Di tempat kerja, Al sering menjalankan misi yang sangat penting, sekaligus misi yang kadang membahayakan nyawanya. Pria itu punya tubuh yang tinggi tegap layaknya seorang tentara tangguh. Seragam yang biasa dipakainya ke kantor membuat Al tampak semakin misterius karena jarang berekspresi, jarang tersenyum, dan irit bicara. Selama tiga bulan hubungan kami, kehidupanku juga sedikit banyak berubah. Ketika tidak bertugas, Al akan rutin mengantar-jemput seperti kekasih pada umumnya. Aku tetap tinggal di flat yang sama, bedanya sejak sebulan lalu Theo juga kembali tinggal bersamaku setelah hari pelantikannya, sama seperti empat tahun yang lalu ketika dia masuk akademi militer. Theo menggeluti pekerjaan yang sama dengan Al dan kebetulan juga menjadi anggotanya. “Aku memilih pekerjaan ini untuk melindungi mu, Kak!” begitu kata Theo saat ku tanya mengapa dia memilih menjadi tentara. Al dulunya tinggal di komplek perumahan tentara bersama pamannya. Tapi, sejak sebulan yang lalu, dia membeli sebuah rumah tidak jauh dari flat tempat tinggal ku. Setelah pulang kantor, aku akan bersama dengan Al di rumahnya, sekadar memasak untuknya atau menemani Alie kecil, keponakannya, yang sering merengek untuk bermain boneka. *** Aku duduk di kantor, memandangi layar komputer dengan pandangan nanar. Di atas meja masih banyak dokumen pajak dan administrasi lainnya yang masih harus diperiksa. Tapi, tubuhku rasanya letih dan aku jadi tidak bersemangat. Saat jam menunjukkan siang hari, perutku mendadak perih dan perasaanku tidak enak. Aku menekan perutku agar sakitnya berkurang sambil berjalan menuju pantry. Rekan-rekan yang lain melihat dengan tatapan iba, ada juga yang biasa saja. Dengan menahan sakit, aku mencengkram botol air minum dan segera meminum pil pencegah rasa sakit yang selalu kubawa. “Kambuh lagi, Nad?” Lya menghampiri dengan tatapan iba. Aku mengangguk. Lya menarik sebelah tanganku agar duduk di kursi pantry. Lalu perlahan memijit jari-jariku dengan kuat. Aku meringis. “Sakit Ly, jangan kuat-kuat,” kataku memelas pada rekan kerja sekaligus sahabatku itu. Dan aku yakin raut mukaku sangat berantakan sekarang. “Justru bagus, Nadi. Artinya Lya bisa menemukan titik sarafmu,” ujar Rizky yang baru bergabung dengan kami di pantri. Sepertinya dia menyusul dari ruangannya setelah melihat Lya tergesa menghampiriku. “I- iya kamu benar, Riz. Lagi pula Lya satu-satunya ahli akupuntur yang kita punya di kantor ini,” gurauku seadanya, berniat menghibur kedua sahabatku yang wajahnya tegang ini. Tapi respon yang diberikan tidak sesuai harapan. Mereka, baik Lya maupun Rizky, malah menatapku horor. Seperti ibu tiri saja! “Bisakah kalian kembali saja? aku rasa perutku sudah tidak sakit lagi,” pintaku berbohong, lalu berdiri mengambil gelas yang tadi kupakai. Keram di perutku kembali terasa. “Oh, tentu saja tidak, Nadi.” Rizky langsung menarik tanganku, dan menyuruhku duduk kembali di tempat semula. Aku menghela nafas. Dan terjadi lagi~~~ Rizky dan jiwa penyelamatnya. “Kamu sudah periksa lagi, Nad?” tanya Lya. Aku memandang mata mereka berdua bergantian. Aku menggeleng. “Belum. Apa kalian lupa? Terakhir kali aku disuruh untuk terapi, aku tidak suka kalau~” “Kamu akan sembuh Nad. Tapi, akan sangat terlambat jika kamu menunda-nunda terapimu!!” ucap Rizky kesal. Aura dingin dari kalimat itu terus menyebar bagai kentut. Lya menatapku prihatin. Memang hal ini bukan lah perdebatan yang baru. Sakit perutku ini sudah sering terjadi, sudah sering pula Rizky menyuruhku untuk terapi. Tapi, caranya memotong perkataan ku dan langsung pergi begitu saja sungguh~. Ah, yang benar saja! Dia sahabat ter moody yang pernah kukenal. Aku paham Rizky tidak suka menunjukkan perasaannya di depan umum. Aku juga tau dia peduli. Tapi, tapi ah,, tadi itu menyebalkan! “Nadi, apa kamu belum memberitahukan Al?” Lya menginterupsi pikiranku, meraih tanganku dan memijit jari-jariku lagi. Sejujurnya aku sudah menganggap mereka berdua seperti saudara, tidak ada yang ditutup-tutupi. Namun, untuk hal yang berhubungan dengan Al, aku hanya.. belum dapat memberitahukan semuanya. Khususnya kepada Riz. “Aku...tidak tahu harus bagaimana Ly,” Aku menggeleng. Lya menatap mataku, aku tahu dia tidak puas dengan jawaban itu. Tapi, yang kulihat Lya berusaha untuk mengerti. Dia menekan rasa penasarannya. Lya berdiri dan mengambil gelas dari pantri. “Sabtu malam, aku akan datang ke rumahmu, Nad. Kita berdua, tanpa Rizky. Kamu wajib cerita,” tegasnya. Lalu Lya menuangkan bubuk herbal ke dalam gelas yang berisi air hangat dan menyodorkannya padaku. “Apa sudah baik-baik saja?” tanyanya. Aku mengangguk.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN