Ngambeknya Dyah

1115 Kata
Sudah dua hari aku tidak membuatkan bekal makan siang untuk Mas Agung. Selian aku masih kesal dengannya, pekerjaan sangat menumpuk hingga aku malas pergi ke dapur. Setiap pagi aku hanya sarapan roti dengan selai ditambah segelas s**u hangat. Siangnya dapat jatah makan siang di sekolah dan malamnya mampir beli makan sebelum pulang ke rumah. Bukannya aku tidak irit lagi tapi badanku terasa lelah setelah seharian bekerja. Dihari libur pun aku tetap masuk hingga tak punya waktu untuk istirahat. Hari ini aku tidak bawa motor karena tadi pagi hujan deras hingga aku memutuskan pesan taksi online. Beberapa berkas yang ku bawa bisa basah kuyup jika aku memaksa memakai motor. Tidak hanya hujan lebat, petir menyambar saling bersahutan membuat ku takut membawa motor bebek berwarna merah. Mitos para orang tua kalau hujan petir dilarang bawa benda berwarna merah nanti bakal tersambar petir. Hehe, aku sangat penakut dan kadang suka percaya mitos. "Selamat siang, Pak satpam," sapa ku pada Pak Iwan. "Selamat siang juga, Mbak Dyah. Sudah ditunggu sama Pak Bos di dalam. Sejak tadi nanyain Mbak Dyah kapan datang." Aku berangkat ke klinik naik taksi online juga. Tadi Pak kepala sekolah menawarkan diri untuk mengantar ku tapi aku tolak. Lebih baik menghindari pertengkaran daripada menyulut emosi Bos Menyebalkan. Setelah menaruh payung basah aku bergegas masuk ke dalam klinik. " Semoga tidak ada yang ngereyog," gumamku pelan. Ternyata Cindy masih ada di klinik padahal jam kerjanya sudah selesai. Dia sedang duduk di meja kerjaku. Sibuk dengan ponselnya. Aku meletakkan tasku ke dalam loker setelah itu meminta Cindy agar berpindah tempat. "Saya harus segera bekerja, Bu." "Kamu kebiasaan kerja tidak pakai aturan. Datang sesuka hati dan pulang lebih awal," ujarnya. Kenapa dengan perempuan ini? Tiba-tiba ngomel-ngomel nggak jelas. "Saya selalu datang sebelum jam dua siang. Jika, telat saya pasti minta ijin pada Mas Agung. Soal pulang lebih awal saya pastikan tidak pernah melakukan itu." Cindy masih belum beranjak dari tempat dudukku. Malah kembali asik bermain game pada ponselnya. Doaku terkabul, Mas Agung tidak ngereyog tapi gantian Cindy yang berulah. "Dyah masuk ke ruangan ku," panggil Mas Agung lewat sambungan telepon PABX. Aku meninggalkan Cindy yang sedang menatapku kesal. Dia ini kesambet setan mungkin ya. Enggak ada masalah tiba-tiba bersikap ketus denganku. Setelah masuk ke ruang kerja Mas Agung kedua mataku melihat tumpukan sampah di atas meja. Lantai juga ketumpahan kopi. Jorok sekali! Sudah dua hari aku tidak masuk ke dalam ruangan ini. Setiap kerja aku hanya masuk ke dalam ruang praktek ketika mengantarkan pasien. Jadi, tak tahu kalau ruang Pak Bos seperti kapal pecah. "Dyah, aku lapar ..." Mas Agung sedang tidur di atas sofa panjang. Tangannya berada diatas kening. "Kamu tega sekali tidak membuatkan ku makan siang " Sebelum menjawab aku keluar dari ruangan lebih dulu untuk mengambil sapu dan juga tempat sampah. Jijik sekali rasanya melihat sampah berserakan. Tidak tega melihat Mas Agung lemas karena belum makan, akhirnya aku membuatkan omelette sayur dan s**u kedelai. Kebetulan saat di sekolah aku sempat belanja di tukang sayur keliling. "Cuci muka dan tangan setelah itu makan siang. Seadanya dulu karena aku juga tidak bawa bekal." Mas Agung tersenyum, bergegas masuk ke kamar pribadinya. Sementara aku mulai membersihkan meja yang penuh sampah bungkus makanan ringan. Kebiasaan Bos ku kalau tidak selera makan pasti ngemil makanan ringan. Produksi AMA Snack milik sahabatku. "Nasinya mana?" Tanya Mas Agung setelah kembali duduk di sofa. "Besok aku buatkan bekal makan siang. Hari ini seadanya dulu. Lagian omelet sayur pakai telur empat biji. Harusnya sih Mas kenyang makan itu dan minum s**u kedelai." "s**u kedelai bikinan kamu sendiri?" Aku menggeleng. "Beli di tukang sayur." "Nanti malam aku antar kamu pulang. Aku pengen makan nasi goreng tanpa kecap dengan daging cincang." Hah, mau menolak tapi enggak tega lihat wajah lelahnya. Tadi pagi Tante Jazila (Ibu angkat Mas Agung) mengirim pesan jika kondisi anak bujangnya sangat memprihatinkan. Setiap mampir ke rumah pakaiannya lusuh seperti manusia tidak terawat. Aku jadi merasa sungkan dengan beliau. Setiap kali Mas Agung cosplay jadi gembel kelaparan pasti gara-gara aku. Enggak tega juga lihatnya saat dia makan dengan lahap seperti saat ini. “Iya,” jawabku, setelah itu keluar untuk membuang sampah. *** Cindy masih di klinik hingga malam. Dia sudah tidak duduk di meja kerjaku namun berada di ruangan Mas Agung. Padahal sudah dilarang namun dia tetap nekat masuk saat Pak Bos sibuk di ruang praktek. Lagi-lagi aku yang terkena omelan dari Mas Agung gara-gara Cindy ketiduran di ruangannya. “Ayo, pulang,” ajak Mas Agung. “Biarkan Pak satpam yang membangunkannya.” “Gak mau ambil tas dulu?” “Aku butuh makan bukan tas.” Sewot amat sih! Aku sudah melarang Cindy masuk kalau orangnya memaksa aku bisa apa selain diam. Malas banget kalau harus berdebat dengan perempuan sombong dan arogan itu. Aku lebih suka tempat kerja yang nyaman, damai dan tentram. Tidak seperti ini, saling sindir dan bicaranya ketus dengan sesama teman. Jika boleh memilih aku lebih suka bekerja full time dengan Mas Agung meski di suruh-suruh tidak sesuai job. Dibanding bekerja dengan Cindy yang mulutnya seperti sambal matah. “Ada yang perlu kamu beli?” “Tidak ada, semua bahan untuk membuat nasi goreng ada di kos.” Sepanjang perjalanan aku diam. Ucapan Cindy tadi sore masih terngiang-ngiang di kepalaku. Memang tidak begitu penting namun berhasil membuatku resah. Hubunganku dengan Mas Agung masih seperti yang dulu. Kami tidak terikat dan tidak pernah berkomitmen. Hanya dekat sebatas teman, kini sebagai Bos dan Karyawan. Soal restu pastinya keluarganya tidak akan memberikan. Mana ada pria seperti Mas Agung dijodohkan dengan seorang janda sepertiku. Apalagi kabar perceraianku sempat membuat geger warga di daerah tempat tinggal ku. Gosip soal perselingkuhanku telah disebarkan oleh mantan suami dan mertua. “Kamu tidak makan?” “Nanti saja setelah mandi.” Nasi goreng tanpa kecap dengan daging cincang telah siap. Mas Agung memakannya dengan lahap. Karena kami sedang berada di kos jadi aku menyuruhnya duduk di teras. Sebelum pulang aku sempat minta izin Ibu kos membawa pulang teman pria. “Ada masalah?” Aku menggeleng. “Tidak ada,” jawabku singkat. “Diam saja sejak tadi. Tumben nggak ngomel saat aku mengganggu waktu istirahatmu.” “Besok hari minggu jadi aku bisa istirahat seharian.” “Mau ambil libur lagi?” “Liburku kemarin gagal karena ada yang minta dibawakan makan siang dan minta ditemani ke peternakan.” Mas Agung tersenyum, meminum teh yang pastinya masih panas. “Aku lebih suka melihatmu marah-marah daripada diam.” “Gantian aku yang capek kalau ngomel terus.” “Malam ini kita seperti orang asing. Kamu merasa atau tidak?” “Kita memang orang asing ‘kan?” tanyaku balik. Mas Agung menganggukkan kepala lalu menghabiskan nasi goreng yang masih tersisa sedikit. “Aku kira kamu sudah bisa menerimaku.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN