(Bukan) Makan Malam Romantis

1282 Kata
Aku menunggu Mas Agung memeriksa para sapi yang mau melahirkan dan habis melahirkan. Saking banyaknya aku menunggunya cukup lama hingga bosan berada di dalam mobil. Mau turun tidak dikasih ijin. Lagipula tempatnya lumayan sepi dan juga kurang terawat. Beda dengan peternakan milik Om Yopie yang selalu bersih seperti peternakan sapi yang dibuat rekreasi para anak-anak TK. “Mas Agung masih lama?” “Sebentar lagi selesai. Tinggal menyerahkan hasil pemeriksaan pada penjaga peternakannya.” “Jangan lama-lama ya. Aku takut soalnya mulai gelap dan lampunya belum dinyalakan.” “Hmmm.” Sambil menunggu Mas Agung, aku memutar musik untuk mengurangi rasa sepi. Kedua mataku mengedar ke seluruh peternakan dan melihat ada seorang perempuan yang entah sejak kapan ada di sana. “Dia bukan hantu ‘kan?” ucapku. Ternyata Mas Agung mendengarnya. “Bukan siapa-siapa, Mas.” “Kamu lihat ada perempuan di depan kantor peternakan?” “Iya, aku sedikit terkejut saat melihatnya.” “Dia manusia bukan hantu. Tapi kelakuannya seperti hantu jadi-jadian. Makanya aku mengajakmu ke sini agar terhindar darinya.” Owh, perempuan itu yang sering dibahas oleh Mas Agung dan Pak satpam. Lumayan cantik kalau dilihat dari jauh tapi pakaiannya terlalu pendek. Apa tidak ada nyamuk di sini? Setelah menunggu cukup lama akhirnya Mas Agung keluar dari peternakan. Dia berjalan buru-buru karena perempuan tadi sedang mengejarnya. Lumayan lucu sih menurutku. Biasanya pria yang mengejar wanita. Sekarang wanita yang mengejar pria hingga ketakutan. “Turun dari mobil dan sambut aku seperti menyambut seorang calon suami,” ujar Mas Agung. “Mas bukan calon suamiku.” “Pura-pura saja Dyah. Cepat lakukan!” Aku membuka pintu mobil lalu mencari tanah yang bisa aku injak. Semuanya lumpur dan pastinya sendal yang aku pakai bakal kotor. Yah, putus. Baru juga berjalan selangkah sandalku langsung putus. Terpaksa aku mengambilnya dan berjalan dengan satu kaki. “Kenapa?” tanya Mas Agung dengan suara lembut. Dih, kalau pura-pura saja langsung sok baik begini. “Sandal ku putus nih,” rengek ku, aku betulan kesal ya bukannya sedang akting. “Mas Agung pakai sepatu dan aku disuruh turun pakai sandal.” “Nanti beli lagi,” jawabnya. “Ayo kita pulang sekarang.” Sementara perempuan di belakangnya menatapku dengan tatapan mengerikan. Tangannya pun mengepal kuat seolah siap memukulku. Ih, kok aneh ya dia. Sebenarnya perempuan ini siapa? Berani sekali tinggal di peternakan besar, sepi dan horor. Apalagi dia sangat-sangat cantik. “Gak usah dipandangi terus,” bisik Mas Agung. “Dia aneh banget ya, Mas.” “Hmmm.” Mas Agung menutup pintu setelah aku masuk ke dalam mobil. Jadi kotor semua mobilnya karena sandal dan kakiku penuh dengan tanah. Brak!!! Aku kaget ketika Mas Agung menutup pintu mobil cukup keras. “Astagfirullah, perempuan ini kok makin seram sih,” ujarku mengelus d**a. Bukannya takut Mas Agung justru tertawa. Perempuan tadi tiba-tiba ada di depan mobil dengan rambut menutup wajah. Saat tersorot lampu membuatnya seperti hantu sungguhan. “Memang seperti itu. Dia anaknya pemilik peternakan.” Mas Agung memundurkan mobilnya untuk meninggalkan peternakan. Jika maju bakal menabrak perempuan tadi. Enggak lagi-lagi deh aku ikut ke peternakan ini. Suasananya horor sekali padahal banyak sapi yang tinggal di sini. Harusnya sih peternakan sebesar ini banyak pekerjanya tapi aku hanya melihat dua orang sejak menunggu Mas Agung. “Perempuan itu dulunya gadis yang ceria dan sangat pintar,” terang Mas Agung setelah mobil telah sampai di jalan raya. “Kenapa sekarang jadi aneh?” “Waktu di sekolah dia menjadi korban bullying karena banyak laki-laki yang menyukainya. Kabar dari pengurus peternakan dia juga menjadi korban pelecehan kakak tirinya. Akhirnya, terkena gangguan mental dan tinggal di peternakan.” “Enggak ada yang mau mengurusnya?” “Ibunya meninggal sejak dia kecil dan Pak Yohanes sudah menikah lagi. Pernah dengan cerita tentang Ibu tiri ‘kan?” Aku mengangguk. “Kasihan banget ya, Mas.” “Justru lebih baik dia tinggal di peternakan. Di sini dia diurus sepasang suami-istri yang berhati tulus.” “Oh, Bapak dan Ibu tadi?” “Iya, mereka adalah orang kepercayaan pemilik asli peternakan.” “Loh, bukan Pak Yohanes pemiliknya?” “Peternakan itu milik mertua Pak Yohanes, Kakeknya perempuan tadi.” Ya, seperti Ayah. Lahir dari keluarga biasa dan mendapatkan mertua kaya. Kini kehidupannya bergelimang harta berkat harta milik Bunda. Namun, dia seolah lupa dengan asal-usulnya. Menjadi seorang yang anti dengan orang miskin padahal dulunya dia juga pria miskin. *** Sebelum mencari mie yamin, Mas Agung mengajakku mampir ke masjid untuk sholat magrib. Bos menyebalkan itu kembali menyebalkan setelah jin baik keluar dari tubuhnya. Bukannya membelikan ku sandal baru justru memintaku memakai sandalnya. Ukuran kakinya dengan kakiku beda jauh. Sendal yang ku pakai saat ini kebesaran dan juga berat. Tidak seperti sandal milikku yang ringan karena harganya pun hanya 20 ribu. “Gak usah cemberut. Kamu ini mudah sekali tersulut emosi.” “Seneng banget lihat aku diketawain orang-orang.” “Siapa yang menertawakan mu?” “Lihat tuh,” tunjuk ku pada orang-orang di sekitar malioboro. “Mas sengaja mau bikin aku malu ‘kan?” “Harusnya kamu berterima kasih padaku karena telah membantumu.” “Mas bisa belikan aku sandal murah. Di sini banyak loh sandal murah.” “Buat apa beli kalau ada sandal yang bisa kamu pakai?” “Sendal punya Mas tuh kebesaran di aku.” Mas Agung meninggalkanku, sama sekali tidak berniat membelikan sendal padahal kami sedang berada di daerah malioboro. Disini banyak sekali penjual sandal-sandal murah. Aku merutuki diriku bisa-bisanya lupa tidak bawa uang. Aku pikir setelah mengantar makan siang langsung pulang. Tidak menyangka akan diajak ke peternakan dan juga makan di pusat kota. “Duduk sini,” panggil Mas Agung saat aku memilih meja yang menghadap jalanan. “Dyah ...” panggilnya lagi. “Kamu mau bayar pakai apa kalau pesan makanan sendiri?” “Aku bisa cuci piring setelah makan,” jawabku tanpa melihat ke arah Mas Agung. Biarlah orang-orang melihat tingkah kekanakanku. Aku sudah terlanjur kesal dengan Bos menyebalkan. Saat mie yamin datang Mas Agung pindah duduk di sebelahku. Membantuku mengambil sumpit juga sedotan. Dih, sok baik karena aku mendiamkannya sejak tadi. “Makan dulu keburu dingin nanti enggak enak.” “Ngapain Mas mepet-mepet gini? Agak jauh deh ...” “Biar aku bisa melihat jalanan juga. Kamu pelit banget Dyah.” “Katanya gak suka duduk di sini?” “Terpaksa karena ada yang lagi ngambek.” “Semua ini gara-gara Mas! Aku sudah minta dibeliin sendal malah di suruh pakai sendal besar dan berat kayak gini ...” Mas Agung menaruh telunjuk pada bibirnya. Kedua matanya melirik ke arah kanan. Dan, aku pun mengikutinya. Ah, ternyata para pelanggan kedai mie yamin sedang memperhatikan kami. “Maaf ya, perempuan kalau lagi tantrum memang seperti ini,” ujar Mas Agung. Tanpa aku sadari telah meninggikan suara hingga menarik perhatian pelanggan kedai. Ah. Malu sekali! “Belikan sendal warna pink, Mas. Banyak kok di depan gang ini,” ujar salah satu pelanggan. “Biar dia pakai sandalku saja, Mas. Dia sedang mode irit bakal marah kalau aku membelikan sendal mahal.” “Perempuan selalu bilang begitu tapi kalau sudah ada barangnya bakal senyam-senyum juga.” Dih, malah saling curhat. Apa-apaan Mas Agung mengatakan jika aku sedang mode irit. Memangnya harus menjelaskan sedetail itu pada orang-orang di sini?! Aku buru-buru makan mie yamin setelah itu berniat pulang lebih dulu. Rencananya aku akan pinjam uang Tante Jazil untuk bayar Ojol. Daripada pulang bareng Bos menyebalkan. “Pelan-pelan saja makannya. Kuahnya masih panas kamu bisa tersedak,” ucap Mas Agung. Sok peduli padahal aslinya senang aku dibuat bahan tertawaan. Awas saja bakal aku balas! Tidak akan ku buatkan makan siang selama satu minggu. Meskipun merengek aku tidak akan merasa iba. “Dyah, kamu ini kenapa?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN