Part 5~Putus Asa

1510 Kata
Part 5~Putus Asa Sudah seminggu sejak pemecatan Ayu oleh Bu Rosa. Tapi Ayu belum juga mendapatkan pekerjaan baru pengganti pekerjaannya dulu. Ia sudah menelusuri kota untuk mencari lowongan pekerjaan. Sebagai pelayan restoran pun tidak apa, tapi seolah mereka semua bersekongkol untuk menolak Ayu. Padahal memang mereka sedang tidak membutuhkan pegawai baru. Rasa-rasanya Ayu ingin menyerah, "huft. Kemana lagi aku cari kerja," keluh Ayu ketika berada di kampus. Ayu kuliah sehabis Dzuhur, dan sebelumnya ia mencari lowongan pekerjaan. "Kenapa, Ay? Murung gitu?" Tanya Ika, salah satu teman sekelasnya yang cukup dekat dengannya. Ayu menggeleng lemah, "gak papa. Cuma lagi capek aja." "Istirahat lah, jangan dipaksain nanti malah jadi sakit, loh." "Iya, nanti kalau di kost tidur yang banyak." Canda Ayu, ia tidak ingin menunjukkan kegelisahannya di depan Ika. "Haha, sip. Mumpung lagi sepi tugas." "Dosen, gais!" Teriak salah satu teman Ayu dan menghentikan obrolan antara Ayu dan Ika. Hah, hari ini mungkin Ayu belum beruntung. Dan dia tidak ingin menyerah begitu saja, meskipun rasa itu timbul. Yang selalu Ayu tanamkan dalam dirinya adalah "setiap kesusahan ada kemudahan." Jadi ia akan merasa tenang ketika mengingat hal itu, meski kenyataannya sedikit sulit. *** "Ay, kenapa kamu gak ada di toko seminggu ini? Aku cari kamu di toko, tapi gak ada." Hadang Sabda ketika Ayu hendak pulang ke kost. Terpaksa Ayu berhenti, padahal ia sudah capek dan ingin cepat sampai di kost terus tidur sebentar. "Em, aku udah gak kerja di toko baju keluarga Kakak lagi." Sabda menyerngit heran, "gak kerja lagi? Maksud kamu apa?" "Aku berhenti, Kak." Jawab Ayu lirih. "Kenapa? Apa mama aku yang pecat kamu?" Ada nada marah dari suara Sabda. Buru-buru Ayu menggeleng, ia tidak ingin Sabda tahu yang sebenarnya terjadi. "Gak, gak. Bukan Bu Rosa kok, Kak. Aku memang pengen berhenti." "Jangan bohong Ayu, aku tahu siapa kamu!" Sabda tidak percaya pengakuan Ayu, dia merasa ada yang tidak beres. "Bener, Kak." Ujar Ayu lebih meyakinkan, agar Sabda percaya dan tidak bertanya yang aneh-aneh lagi. Sabda menggangguk, seolah percaya. Ia akan mencari tau sendiri nanti. "Baiklah, apa kamu mau pulang sekarang?" "Iya, Kak. Pengen istirahat bentar," ujar Ayu berharap Sabda peka dan segera pergi. "Ayo aku antar." "Em, tidak usah, Kak. Aku sudah pesan ojek tadi." Bohong Ayu lagi, entah berapa kebohongannya hari ini. Yang pasti ia sangat menyesal, tapi begini lebih baik. Ada gurat kecewa dari wajah tampan Sabda, tapi buru-buru ia menepis itu. Ayu adalah gadis baik-baik, maka dia juga harus mendapatkan dengan cara baik. "Oke, hati-hati di jalan." "Iya, Kak. Kalau gitu, aku duluan, assalamualaikum." "Wa'alaikumussalam." Ayu pergi meninggalkan Sabda yang juga akan pulang. Padahal Ayu belum pesan ojek online, aplikasinya saja tidak punya. Tapi mau bagaimana lagi, meski ia memiliki rasa pada Sabda, Ayu tidak ingin terlalu berdekatan dengan Sabda untuk saat ini. Ayu masih ingin fokus kuliah, agar bapak ibunya bangga melihatnya sukses. *** Mobil Rolls-Royce berwarna hitam tidak bergerak sedaei tadi dari depan gerbang Universitas Pembangunan. Pemilik mobil itu seperti sedang menunggu seseorang yang akan keluar dari gerbang kampus tersebut. Tapi yang ditunggu sedari tadi belum muncul juga, sehingga membuat pria yang duduk di bangku penumpang nampak gelisah. Tidak sabar untuk melihat orang yang ditunggu. "Alex, dimana gadisku?" Akhirnya ia memutuskan untuk menelpon anak buahnya. "Dia sedang ngobrol dengan pria waktu itu, Tuan." "Sial!" Umpat pria itu yang tak lain adalah Dex. Padahal ia sudah membuat Ayu dipecat dari toko baju milik keluarga pria tengik itu agar Sabda tidak memiliki alasan untuk bertemu Ayu di toko. Tapi Dex malah kecolongan, dia lupa kalau Ayu dan Sabda satu kampus. "Awasi terus!" "Baik, Tuan." "s**t!" Dex mengumpat lagi, dia diliputi amarah saat ini. Hari ini dia memutuskan untuk melihat gadisnya secara langsung meskipun dari jarak jauh. Bahkan Dex sudah nenunggu di depan gerbang kampus sejak setengah jam yang lalu untuk menunggu Ayu keluar. Tapi apa yang dia dapat? Pria tengik yang menjadi pengganggu malah menahan gadisnya cukup lama. Sial! Kamu terus seperti ini, Dex ingin segera muncul dihadapan Ayu. Mengatakan pada semuanya bahwa Ayu adalah miliknya seorang. Tidak ada yang boleh mendekatinya! "Jalan!" Titahnya datar pada sang supir. Mood Dex langsung anjlok mendengar laporan dari Alex tadi. Jadi sekarang ini ia batalkan untuk melihat Ayu secara langsung. *** Esa menatap sahabatnya yang diam saja sedari tadi. Padahal ia sudah mengajak Ayu ngobrol sana-sini, tapi tidak ada tanggapan yang berarti dari Ayu. Ayu sibuk dengan pikirannya sendiri Esa tahu apa yang dipikirkan Ayu, sahabatnya ini pasti sedang memikirkan masalah pekerjaan yang belum ia dapatkan. Sejak pemecatan seminggu lalu, Ayu sudah berusaha untuk mencari pekerjaan baru. Tapi belum juga dapat, ia pun juga ikut membantu. Bertanya pada teman-teman kampusnya yang mungkin tahu ada lowongan pekerjaan. "Ay, jangan nglamun, ih." Esa menoel pundak Ayu, guna menyadarkan Ayu agar tidak keblabasan. Tapi Ayu masih diam, belum sadar juga. "Ay! Ayu!" Teriak Esa akhirnya tepat di telinga Ayu. "Astaghfirullah! Esa, ngapain teriak-teriak? Di telinga lagi!" Hardik Ayu kesal, kupingnya jadi berdengung. "Haha, abisnya kamu nglamun terus. Kan aku takut nanti kamu kemasukan setan." Ujar Esa dengan tubub yang ia buat bergidik. Plak! Ayu menggeplak lengan Esa sedikit kuat, "ngawur, ih! Gak sampai kayak gitu juga. Aku masih sadar kok." "Iya, iya minta maaf, deh. Tapi jangan nglamun lagi." Esa hanya khawatir, Ayu nanti banyak beban dan drop. Ia tidak ingin melihat Ayu sedih ataupun sakit. Jadi sebisa mungkin ia akan membuat Ayu terhibur. "Iya, eh. Aku pengen makan pecel deh, beli yuk." Tiba-tiba saja Ayu pengen makan pecel yang berada di dekat kampus. Pecel terenak di sini, dan Ayu ketagihan. "Males, ah. Aku ngantuk, lagian ini jam satu siang, Ay. Panas, kulitku gosong nanti." Esa menunjukkan kulitnya yang kuning Langsat. Plak! "Kulit gak terawat aja, gayaan." "Ih, syirik aja!" "Wle, siapa juga yang sirik?!" "Huu," "Dah, ah. Aku mau beli pecel, awas nanti kalau minta." "Gak!" Ayu beranjak dari rebahannya di kasur yang cukup untuk tidur mereka berdua. Ia ingin merealisasikan keinginannya untuk makan pecel. *** "Bu, pecelnya dua, ya. Bungkus," Ayu memesan dua porsi pecel. "Oke, Neng. Tunggu dulu, ya." "Iya, Bu." Ayu menunggu di kursi yang sudah disediakan untuk para pembeli. Suasan di warung pecel Bu Eka ini selalu ramai, karena memang rasa pecelnya yang khas. "Ini, Neng pecelnya." Bu Marni teman berjualan Bu Eka memberikan pecel pesanan Ayu. "Makasih, Bu. Berapa semuanya?" "Sepuluh ribu aja, Neng." "Ini, Bu." Ayu mengulurkan uang sepuluh ribuan pada Bu Marni. "Makasih, Neng." "Sama-sama, Bu." Setelah itu Ayu segera keluar dari warung Bu Eka. Dia ingin cepat kembali ke kost untuk menyantap pecel menggoda ini. Ayu berjalan sejauh seratus meter untuk menyebrang jalan raya. Ia ingin membeli jus dulu, sebagai pelengkap makan pecel. Tapi baru saja ia hendak menyeberang, ia melihat seorang wanita yang terjatuh di aspal. Buru-buru Ayu menolong wanita tersebut. "Mbak, Mbak gak papa?" Ayu membantu wanita itu bangun dan menyingir dari jalan. Wanita yang terserempet mobil tadi hanya meringis, kakinya tergores cukup besar. "Duh, ayo Mbak aku antar ke klinik." Ajak Ayu yang panik sendiri. "Em, gak usah, Mbak. Ini cuma lecet aja." Tolak wanita yang dua puluhan tahun tersebut. "Ih, nanti infeksi gimana? Ayo gak papa, Mbak." Keukuh Ayu yang tidak ingin terjaid apa-apa dengan wanita ini. "Em, oke. Tapi gak ngerepotin?" Wanita itu akhirnya mengalah, tapi masih sedikit sungkan. Ayu menggangguk yakin, "iya. Ayo," Ayu memapah wanita itu. Meksipun tubuhnya lebih pendek dari wanita itu. Maklum, Ayu hanya memiliki tinggi kurang seratus lima puluh centi meter. Sedangkan wanita ini mungkin sekitar lima bilas centi di atasnya. "Mbak, ini ada keserempet tadi." Ujar Ayu pada perawatan yang bertugas di klinik tersebut. "Oh, ayo ke ruangan Mbak." "Kenapa bisa keserempet ini Mbak?" Tanya perawat yang mulai membersihkan luka di kaki wanita tadi. "Sshh, mau nyebrang malah ada mobil ngebut. Untung cuma lecet," ujar si wanita yang belum Ayu ketahui namanya. "Ya ampun, harus hati-hati besok lagi Mbak." "Iya, Mbak. Untung ada Mbak ini yang bantu saya." Ujar wanita tadi sambil melirik Ayu. Ayu tersenyum mendengar itu, "kebetulan aja, Mbak." "Ini gak papa lukanya, dua tiga hari sudah sembuh." Perawat tersebut ternyata sudah menyelesaikan tugasnya. "Makasih, Mbak." "Sama-sama. Saya permisi dulu." "Iya, Mbak." Mereka berdua diam sejenak sebelum wanita tersebut membuka pembicaraan. "Makasih ya, Mbak udah bantuin saya." Ayu tersenyum, manis sekali. "Sama-sama, Mbak. Sesama umat manusia harus saling tolong menolong." "Mbaknya baik sekali, namanya siapa?" "Mbak bisa saja, saya Ayu. Mbaknya sendiri?" "Fira, tapi Mbaknya memang baik." Ayu tersenyum canggung, "kayaknya Mbak Fira panggil saya nama saja. Sepertinya Mbak lebih tua dari saya." Ujar Ayu malu-malu. "Haha, keliatan banget ya, tuanya?" Ayu menggeleng, "gak, kok Mbak. Cantik banget Mbaknya." Fira tertawa kencang, gadis di depannya ini lugu sekali. Pantas saja sahabatnya itu sampai tergila-gila dengannya. Dan lagi melibatkan dirinya, bukan dalam hal baik. Ini malah dia kena apes, niat cuma mau pura-pura tapi malah kejadian betulan. Memang Tuhan tidak mengizinkan ia berbohong. "Kamu juga cantik. Boleh minta nomor hpnya, kalau-kalau kita ketemu lagi." "Boleh," Ayu dan Fira akhirnya bertukar nomor ponsel. Ayu yang terlalu polos pun tidak mengetahui ada maksud terselubung dari Fira. Ayu adalah gadis dengan pikiran positif yang memenuhi kepalanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN