Part 4~PHK

2020 Kata
Part 4~PHK "Assalamualaikum, Nduk. Sehatkan di sana?" Sapa suara dari sambungan telpon milik Ayu. "Wa'alaikumussalam, Bu. Alhamdulillah, sehat. Ibu sama bapak sehat juga kan?" Tanya Ayu yang lebih dari tiga bulan tidak bertemu. Ada kangen dalam hati, tapi harus di tahan sampai libur semester nanti. "Alhamdulillah, bapak sama ibu sehat selalu. Sudah makan siang belum?" Ayu tersenyum, ia rindu bermanja-manja pada ibunya. "Sudah, Bu. Ini tadi sama telur dadar. Ibu sendiri sudah makan?" "Sudah, Alhamdulillah." "Ibu masak apa hari ini?" Ayu jadi kangen masakan Ibu, masakan terlezat yang pernah ada. "Ini, ibu masak daun singkong di santan, kesukaan adekmu." Ayu terkikik mendengar menu masakan ibunya, mentang-mentang di kebun belakang rumah ditanami pohon singkong. Ibu hampir setiap hari masak daun singkong, untung bapak sama adiknya tidak bosan. Ah, bukannya tidak bosan, tapi lebih ke terima apa adanya. Dari pada tidak makan. "Ibu ini selalu masak daun singkong, mbok ya sekali-kali ganti." Ayu takut Dika nanti bosan dan malah ngelunjak sama bapak ibu. "Lah, mumpung punya sendiri, kok. Jadi ngirit, makan enaknya ndak usah keseringan, nanti malah kebiasaan. Lagian bapak sama adekmu gak keberatan, itung-itung latihan prihatin buat adekmu. Biar nrimo opo ono ne." Ah, Ayu paham. Ibu hanya mengemat pengeluaran, karena saat ini karet harganya murah. Belum lagi adeknya yang sudah kelas dua SMA, jadi harus mengumpulkan uang untuk kelanjutan pendidikannya nanti. Ayu memang rutin mengirim setiap bulan untuk kedua orang tuanya, tapi dalam jumlah yang sedikit. Ayu mengalihkan pembicaraan, "Dika sama bapak ke mana, Bu? Gak kedengaran suaranya." Ayu juga kangen sama bapak, kangen wejangan bapak untuknya. "Oh, Dika lagi di rumah Mbak mu, momong Rasya. Kalau bapak lagi istirahat, habis dari ladang langsung tidur. Apa mau bicara sama bapak? Biar ibu bangunkan." "Eh, nggak, Bu. Biar bapak istirahat aja, nanti Ayu telpon lagi aja. Kasian bapak capek," ah andai Ayu di sana. Pasti ia akan memijit tubuh bapak dan ibunya. "Yo wes kalau gitu. Nanti biar adekmu aja telpon." "Iya, Bu. Malam aja kalau bisa, kan Ayu udah santai." "Iya," "Bu, nanti lagi, ya? Ayu mau lanjut kerja dulu." "Iya, jaga kesehatan ya, Nduk. Kalau capek ya, istirahat." "Iya, Bu. Ibu sama bapak juga sehat-sehat di rumah. Salam buat bapak sama Dika, Bu. Assalamualaikum," "Iya, wa'alaikumussalam." Ayu pun melanjutkan pekerjaannya, karena jam makan siang sudah habis. Hah, kadang Ayu merasa jenuh dengan aktivitasnya ini. Terkadang ia ingin seperti teman-temannya yang tidak perlu memikirkan mencari uang seperti dirinya. Tapi, sekali lagi pikiran itu ia eyahkan jauh-jauh. Justru dia bersyukur karena Ayu tidak merepotkan orang tuanya dan bisa memberi meskipun hanya sedikit. "Eh, Bu Rosa datang!" Mbak Ning memberikan peringatan pada teman-temannya. "Mana-mana?" Esa berlari heboh melihat ke arah parkir. "Ih, iya. Ada apa, ya? Tumben," Teh Wiwi ikut nimbrung. Ayu yang juga ikut heran pun melihat ke arah mobil mewah milik Bu Rosa, pemilik toko baju tempat mereka bekerja. Bu Rosa baru saja keluar dari mobil mewah itu dengan gaya elegan. Meksipun beliau sudah tidak muda lagi. Tentu saja mereka heran karena kedatangan Bu Rosa, pasalnya selama ini yang datang untuk mengecek toko ini hanya lah asistennya. Bu Rosa tidak pernah datang langsung, kecuali ada hal benar-benar penting. Ah, mereka jadi harap-harap cemas. "Kenapa ya, Ay?" Tanya Esa yang sudah kepo akut. Ayu mengangkat bahu acuh, "mana aku tau." "Eh, ayo sambut dulu." Ajak Teh Wiwi pada yang lain. Mereka berdiri sejajar dan menunduk untuk menyambut big bos mereka. "Selamat siang, Bu." Sapa mereka serempak. Bu Rosa tersenyum sekilas, "siang." "Ada yang bisa kami bantu, Bu?" Teh Wiwi yang paling tua mewakili yang lain untuk bertanya. Bu Rosa memindai empat pegawainya, ia mendesah lirih. Ia datang kesini untuk membuat salah satu pegawai teladannya bersedih. Tapi ia juga tidak bisa berbuat lebih, ia masih sayang dengan usahanya yang ia dapatkan dengan susah payah. Rosa pun memantapkan niatnya, "Ehm. Saya minta Ayu ke ruangan saya." Titahnya yang mana dia langsung menuju ruangan yang jarang ia tempati. Mendengar perintah Bu Rosa mereka berempat langsung saling pandang, kemudian mereka mengalihkan pandangannya pada Ayu. "Ay, kamu ada masalah sama Bu Rosa?" Tanya Mbak Wiwi cemas. Ayu menggeleng, "gak, Mbak. Aku selama kerja di sini baru ketemu Bu Rosa gak lebih tujuh kali." Esa yang juga cemas pun mengelus pundak Ayu, ia juga takut nantinya ada apa-apa. "Sudah, mending Ayu langsung ke ruangan Bu Rosa. Jangan khawatir," Teh Wiwi memang paling dewasa. Ayu menggangguk pelan, "Ay semangat!" Ujar Esa menyemangati sahabatnya. Ayu pun tersenyum dan mulai melangkah ke ruangan Bu Rosa. Ia melafalkan doa di dalam hatinya, berharap tidak akan ada hal buruk. Tok! Tok! "Masuk," suara merdu Bu Rosa memerintah dari dalam. Ceklek! Ayu masuk dengan kepala menunduk. "Silahkan duduk." Ujar Bu Rosa. "Terima kasih, Bu." Bu Rosa menatap Ayu yang sedang menunduk, gadis ini adalah gadis yang disukai putra pertamanya. Bagaimana bisa dia tau? Ya, karena putranya selalu curhat mengenai gadis di depannya ini. "Em, apa apa ya, Bu panggil saya?" Tanya Ayu memberanikan diri karena sedari tadi Bu Rosa hanya diam saja. "Ehm," Bu Rosa menarik napas sejenak. "Sebelumnya saya minta maaf sama kamu. Tapi saya juga tidak berwenang dengan keputusan ini." Rosa menjeda ucapannya. Ayu meremas tangannya cemas, keringat dingin mulai membasahi tangannya. "Sekali lagi, saya minta maaf sama kamu. Mulai hari ini kamu off dari toku baju saya." Berat hati Rosa menyampaikan ini, ia tambah merasa bersalah ketika melihat mata Ayu berkaca-kaca. Ayu bagaikan disambar petir di siang bolong mendengar ucapan Bu Rosa. Off? Maksudnya dia di pecat? Matanya berkaca-kaca menatap Bu Rosa, "a-apa saya ada salah, Bu?" Tanyanya lirih, perasaan Ayu selama ini ia bekerja dengan baik. Rosa menggeleng, "tidak. Hanya saja ini bukan kuasa saya. Maaf kan saya, Ayu." Bu Rosa mengucapkan dengan nada menyesal dan bersalah. Ia sama seperti mendzolimi orang lain. Kini giliran Ayu yang menggeleng, "tidak, Bu. Terima kasih sebelumnya karena sudah menerima saya bekerja di sini. Karena bekerja di sinilah saya bisa bertahan selama ini. Ibu tidak perlu minta maaf," lirih Ayu mencoba mengerti. Bu Rosa memberikan amplop putih berisi pesangon untuk Ayu dan juga gaji Ayu di bulan ini. "Ini, gaji kamu bulan ini. Dan ada sedikit pesangon untuk kamu, karena kamu sudah bekerja dengan baik selama ini." Ayu menatap amplop putih itu, ia tidak akan menolak. Karen ai butuh uang itu untuk bertahan selama belum mendapatkan pekerjaan. Uang di tabungan tidak ingin ia gunakan kalau bukan hal mendesak. Ayu mengambil gaji terakhirnya, biasanya ia akan senang ketika waktu gajian tiba. Tapi kali ini rasa sedih lah yang ia rasakan. "Terima kasih, Bu. Kalau begitu saya permisi," buru-buru Ayu meninggalkan ruangan Bu Rosa. Air matanya sudah tidak dapat dibendung lagi, ia menangis. Esa, Mbak Ning, dan Teh Wiwi menyambut Ayu ketika keluar dari ruangan Bu Rosa. "Ay, kenapa?" Tanya Esa ketika melihat Ayu mengusap matanya. Ayu menggeleng pelan, "gak papa." "Kamu nangis." Tebak Mbak Ning. "Ay, kenapa? Cerita dong." Esa paling tidak bisa melihat sahabatnya sedih. "Ay, jangan sedih ada kami." Teh Wiwi ikut menghibur Ayu. "Gak papa, aku mau pamit. Assalamualaikum," Ayu langsung pergi dari hadapan mereka. Ia mengambil tasnya lalu pulang ke kost, bahkan ia tak menghiraukan panggilan teman-temannya. Ayu hanya ingin menenangkan diri karena pemecatan ini. Ini semua terlalu mendadak, Ayu belum memiliki persiapan. *** "Kamu kenapa bisa di sini?" Tanya Dex datar pada gadis di depannya. Eh, Dex tidak tahu dia itu masih gadis atau tidak. Perempuan ini terlalu vulgar dan seksi pakaiannya. Sedangkan perempuan itu hanya acuh, dia tetap duduk di sofa panjang yang tersedia di ruangan mewah milik Dex. Sesekali ia mengamati dekor ruangan ini dengan mata bersoftlen miliknya. "Aku kangen kamu," ujarnya manja. Yang justru membuat Dex muak dengan itu. "Pergi, aku sibuk." Dex benar-benar benci dengan perempuan lintah di depannya ini. Dia adalah Dionara Amasya, atau Dio. Anak dari sahabat papanya ini selalu saja mengganggu ketenangan Dex. Dex bukan tidak tahu kalau perempuan gatal satu ini memiliki rasa lebih padanya. Hanya saja ia tidak mau menanggapi, ia sudah memiliki Ayu. Jadi ia tidak butuh perempuan seperti Dio. "Aku tidak akan mengganggumu, aku hanya duduk di sini." Keukuh Dio, yang terlihat jelas memiliki rasa lebih pada Dex. "Pergi sekarang juga!" Usir Dex dingin dan datar. Dex sedang tidak ingin diganggu! "Kamu kenapa sih, aku cuma pengen lihat kamu. Gak lebih!" Teriak Dio marah, pasalnya Dex selalu saja mengusirnya ketika ia berkunjung ke kantor Dex. Ataupun akan menghindarinya ketika betetemu di tempat lain. Dio hanya ingin Dex memperhatikannya, melihatnya sebagai seorang perempuan. Bukan malah ditatap dengan tatapan dingin dan wajah datar. "Tapi aku gak mau. Keluar sekarang sebelum aku panggil satpam." Dex semakin geram dengan tingkah Doi. "Dex, bisa gak sih lihat aku sebentar aja sebagai wanita!" Dio makin menjadi. Tidak terima dengan sikap dingin dan acuh Dex. "Pergi Dio!" Bentak Dex yang mulai muak dengan kekeras kepalaan Dio. Keturunan Amasya memang keras kepala dan ambisius, salah satunya Dio. Benar-benar menyebalkan dan menyusahkan! "Fine! Aku pergi sekarang, tapi jangan harap aku bakal nyerah." Dio menyerah, ia pun pergi dari ruangan Dex degan penuh amarah. Tapi tidak mengurangi rasa ingin memilikinya pada Dex. Dio tergila-gila dengan Dex! Dan dia harus mendapatkan Dex. Setelah kepergian Dio, Dex duduk dengan tangan memijit pelan keningnya. Siang-siang seperti ini, Dex sudah kedatangan tamu tak diundang. Menyebalkan! Ah, Dex ingat kenapa ia begitu uring-uringan seharian ini. Ternyata ia belum melihat Ayu barang sejenak. Pantas saja ia kacau! Dex pun mengeluarkan ponsel pintarnya, ia mencari daftar nama di kontak telpon dan memanggilnya. "Hallo, apa sudah anda laksanakan perintah saya?" Tanya Dex dingin tanpa basa basi. "Su-sudah, sesuai perintah anda." Jawab penerima telpon Dex degan gugup. "Bagus," Tut! Dex langsung memutuskan sambungan teleponnya. Ia menyeringai sinis, akhirnya rencananya terlaksa satu. "Ayu Sayang, aku datang." Ujar Dex mentap foto dalam bingkai berukuran sedang yang ia pajang di meja kerjanya. Ia mengusap pipi gembil dalam foto itu, seolah pipi itu nyata. Ah, kelakuannya ini malah membaut Dex tambah tidak sabar untuk segera memiliki Ayu. *** "Aku dipecat," ucap Ayu memulai ceritanya pada Esa. Esa melotot, "dipecat?! Kenapa? Kamu ada salah?" Ayu menggeleng lemah, "Bu Rosa gak ngomong. Katanya dia cuma disuruh gitu." Bahu Ayu merosot, ia tidak tahu harus apa sekarang. Mencari pekerjaan di kota besar bukanlah hal yang mudah. Apalagi ia belum memiliki ijazah S1. Esa menyerngit mendengarnya, "disuruh? Emang Bu Rosa ada bos lagi?" "Mana aku tahu," jawab Ayu frustasi. "Eh, bentar! Jangan-jangan Kak Sabda lagi yang suruh. Kan kemarin kami nolak ajakan dia nonton!" Ujar Esa heboh dengan pemikirannya. Ayu berdecak sebal dengan pemikiran Esa, "mana mungkin, Sa. Aku aja nolak ajakan Kak Sabda bukan cuma sekali kok." Esa menjentikkan jarinya, "nah, justru itu. Karena kamu sering nolak Kak Sabda, jadi dia itu patah hati. Terus balas dendam sama kamu lewat ini. Iya! Yakin aku!" Esa manggut-manggut, seolah pemikirannya benar. "Ih, aku gak percaya! Aku lebih yakinnya kalau ada bos besar Bu Rosa yang nyuruh." "Ih, dibilangin ngeyel juga. Besok kita lihat ya, gimana sikap Kak Sabda sama kamu." Tantang Esa percaya diri. "Oke, kita lihat aja besok." Meraka diam sejenak dengan pemikiran masing-masing. "Terus kamu nanti gimana?" Tanya Esa tersadar dengan nasib Ayu. Ayu mengangkat bahu acuh, "entah. Nyari kerjaan lain." Esa mengusap pelan bahu Ayu, ia sedih degan keadaan Ayu. Tapi ia sendiri tidak bisa membantu apa-apa. "Pasti aku bantu, ya. Jangan sedih pokoknya, ada aku." "Iya, aku gak sedih kok. Shock aja," mungkin. Buktinya sekarang ini Ayu masih kepikiran dengan pemecatannya tadi. "Aku masih gak nyangka Bu Rosa pecat kamu. Padahal gak ada alasan kuat buat pecat kamu. Sementara ini dugaanku ada pada Kak Sabda," ujar Esa terbayang betapa jahatnya Bu Rosa memecat sahabatnya yang rajin ini. Karena di antara ompat pegawai di toko milik Bu Rosa, Ayu lah yang paling rajin dan ramah pada pembeli. "Udah ih, jangan asal nuduh. Mungkin memang aku udah gak layak buat kerja lagi. Kan akhir-akhir ini aku sibuk sama kuliahku. Ayu dan pikiran positifnya. "Hah, kamu itu terlalu baik, Ay. Aku takut kalau kamu nanti dimanfaatkan sama orang." "Ya Allah, Sa. Baik itu gak boleh nanggung sama pilih-pilih." Aneh Esa ini. "Ah, udah ah, yuk tidur, sudah jam sepuluh lebih." Ajak Esa yang sudah ngantuk berat. "Yuk."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN