Part 6~Teman Baru

1817 Kata
Part 6~Teman Baru "Beli pecel di mana sih? Lama amat?" Esa menyongsong kedatangan Ayu yang menurutnya terlalu lama untuk membeli pecel. Ia takut kalau-kalau Ayu putus asa dan nyemplung di sungai belakang kost. Kan jadi ngeri! Nanti mau jawab apa sama orang tua Ayu ketika ia ditanya. Astaghfirullah, jangan pikir aneh-aneh. "Di Singapura, sambil mandi di pancuran singa." Jawab Ayu ketus, ia langsung ke dapur untuk mengambil piring. Ah, tadi setelah membantu Mbak Fira yang keserempet tadi, ia malah di marah sama tukang ojek online. Benar-benar menyebalkan! "Kamu ngapa sih? Kesambet setan pecel, ya?" Nah, Esa ini kalau ngomong suka asal. "Nih, makan. Ada-ada setan pecel," Ayu memberikan piring berisi pecel milik Esa. "Makasih, dah." Esa menerima dengan senang, padahal tadi sok-sokan gak mau. "Eh, beneran, Ay. Kamu beli di mana? Satu jam lebih loh." Ayu menelan pecelnya terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan Esa. "Di tempat biasa." "Kok lama?" Tanya Esa yang masih kepo akut. "Tadi aku liat Mbak-mbak keserempet mobil. Jadi aku bawa ke klinik dulu." "Ih, mbaknya gak papa kan?" "Gak, cuma lecet aja." "Alhamdulillah." Karena rasa kepo Esa sudah terjawab, ia pun menghabiskan pecel dengan hikmat. Tidak ada pembicaraan yang keluar dari keduanya, mereka fokus pada pecel masing-masing. **** Seorang pria muda memasuki ruangan yang biasa digunakan oleh wanita spesialnya untuk bekerja. Tapi kedatangannya kali ini bukan untuk bermanaja, ada sesuatu hal yang perlu ia luruskan. "Ma," panggilnya pada wanita paruh baya yang sedang sibuk pada laptop di depannya. Wanita itu pun langsung mendongak, "eh. Kapan datang, Nak?" Pria yang tak lain Sabda itu pun duduk di kursi yang disediakan untuk tamu. "Baru aja, Ma. Mama terlalu fokus sama laptop, gak denger aku datang." Ujarnya sedikit merajuk, padahal Sabda bukan anak kecil lagi. Tapi karena dia anak satu-satunya, jadi dia sangat di manja oleh mama dan papanya. Jadi tidak heran, sampai umurnya dua puluh dua tahun, ia masih suka manja pada mamanya. "Ya ampun, maafin Mama, ya. Ini lagi banya laporan Sayang. Jadi harus cepet diselesaikan." Rosa tersenyum dan menggenggam tangan putranya. "Jadi, ada apa anak tampan mama ini ke sini?" Sabda mendesah lirih, "itu, Ma. Masalah Ayu, kenapa dia keluar dari toko mama? Apa mama pecat dia?" Aku melunturkan senyumnya, ia tahu pertanyaan ini pasti akan keluar dari mulut putranya. Tapi dia sudah memiliki persiapan, "iya. Kenapa memangnya?" Dada Sabda bergemuruh marah, tangannya yang di genggam mamanya langsung ia tarik. "Kenapa mama pecat dia? Mama kan tau, kalau aku suka sama dia?" Rosa sedikit tersentak ketika Sabda menarik tangannya yang ia genggam. Ini salah satu resiko yang ia ambil ketika memilih memecat Ayu. Putranya pasti akan marah, "mama gak punya pilihan lain, Sayang. Ini yang terbaik," Rosa mencoba membuat Sabda paham. Sabda menggeleng, ia belum terima alasan mamanya. "Yang terbaik gimana, Ma? Dia itu bukan orang kaya, Ma. Dia butuh kerjaan ini. Kalau dia Mama pecat, kerja dimana dia." Geram Sabda, tapi tidak bisa meninggikan suaranya. Ia masih tahu sopan santun pada orang tua. "Kamu tahu, Mama memang pemilik butik kita dan cabang-cabangnya. Tapi semua ini tidak akan pernah berhasil tanpa batuan seseorang, dan orang itu yang minta mama melakukan semua ini. Mama tidak bisa menolak." Ujar Rosa berharap Sabda paham. "Ini hak mama, siapa dia, Ma? Aku mau ketemu sama dia." Ada pancaran kemarahan dari tatapan mata Sabda. Ia tidak terima Ayu dipecat tanpa alasan seperti ini. Sabda harus bertemu dengan orang itu. Enak saja memecat Ayu sesuka hati. Rosa menggeleng, menolak ide putranya. "Jangan, mama tidak mau kamu berurusan sama dia." "Kenapa, Ma? Ada dia ada kenalan polisi? Mama tenang saja, Sabda bisa mengatasinya." Ujar Sabda percaya diri, padahal ia belum tahu siapa sebenarnya orang yang dimaksud. "Lebih dari itu, Sayang. Kuasanya sangat besar, meskipun kita termasuk golongan orang terpandang. Tapi kita tidak bisa menandingi kuasanya." Rosa masih memberikan pengertian pada Sabda, putranya ini keras kepala ketika menginginkan sesuatu. Apapun itu harus ia dapat, mungkin ini efek dari memanjakannya. "Apa Ayu ada salah sama dia, Ma?" "Mama tidak tahu, Sayang. Tapi yang pasti, jangan ikut campur, ya. Mama takut kamu kenapa-napa, bukannya mama melarang kamu urusi urusan Ayu. Tapi ini yang terbaik, Nak." Rosa berbicara dengan nada memelas, hal ini biasanya membuat Sabda menurut. Sabda membuang napas berat, ia tidak bisa membantah mamanya lagi. Karena apa yang dikatakan mamanya banyak benarnya. "Kalau begitu, apa mama punya kerjaan lain buat Ayu? Aku gak bisa lihat dia sedih terus, Ma?" Ah, apa sebegitu cintanya Sabda pada gadis bernama Ayu. Terkadang Rosa heran, karena Sabda tidak pernah bosan menceritakan tentang Ayu. Sehari saja, tidak pernah luput. "Nanti mama carikan, kamu gak usah khawatir." Senyum manis yang sedari tadi tidak nampak di wajah Sabda kini muncul mendengar ucapan Mamanya. "Makasih, Ma." Rosa bisa melihat pancaran berbeda dari Sabda, ia nampak lebih senang ketika ia kan mencarikan Ayu pekerjaan. "Beneran suka sama Ayu, toh?" Sabda menggangguk semangat, "iya, Ma. Pokoknya Ayu harus jadi istri aku." Rosa melihat ada kilat keyakinan dan ketangguhan dari mata putranya ketika mengatakan ingin menjadikan Ayu istri. Dia pun tidak akan menghalangi niat putranya, siapapun yang akan jadi pendamping hidup putranya nanti ia tidak akan mengusik. Tugasnya hanyalah meluruskan kalau nantinya Sabda berada di jalan yang salah ketika memilih pasangan. Dan Ayu, ia tahu kalau gadis itu gadis yang baik. Rosa setuju saja, meskipun bukan dari kalangan konglomerat. *** Dex masih menyimpan amarah karena kejadian kemarin. Di mana ia mendapat laporan kalau Ayu sedang berbicara bersama si pria tengil itu. Dan karena itulah, ia belum memerintahkan sahabatnya untuk beraksi hari ini. Dan sudah dua jam lebih sejak ia menyuruh Fira, sahabatnya beraksi. Tapi ia belum mendapatkan kabar apapun. Apa Fira gagal? Brak! "Woy, sialan kamu Dex!" Dobrakan pintu beserta teriakan seorang wanita memekakkan telinga Dex. Ia kerkejut, jelas. "Apa maksudmu mendobrak pintu dan berteriak seperti orang gila, Ra!" Geram Dex ketika melihat siapa pelakunya. Dialah Afira Soetama, sahabatnya. Fira mendengus melihat Dex, ia menyimpan amarah pada Dex. Karena Dex, ia kena sial dan kaki mulusnya lecet. Sialan memang! Fira pun duduk di sofa, ia tidak menghiraukan tatapan mematikan dari Dex. Ia kesini selain ingin melaporkan tugasnya, juga untuk meminta pertanggung jawaban dari Dex. Dex yang melihat Fira duduk santai di sofa pun bertambah geram, tidak tahu apa maksud Fira tadi. Ia pun menghampiri Fira dan duduk tepat di depan Fira. "Fira, apa maksudnya ini? Datang mendobrak pintu dan berteriak, itukah caramu bertamu?" Fira bertambah dongkol mendengar sindiran Dex, ia melipat tangan di d**a. Matanya menatap tajam Dex, "hei! Jaga mulut sok nanismu itu! Lihat aku sial gara-gara kamu!" Tunjuknya pada kaki kanannya yang lecet akibat terserempet mobil tadi, ia menaikkan kakinya di atas meja. "Turunkan kakimu, Fira. Dan lagi, kenapa kamu menyalahkan ku dengan luka di kakimu. Aku tidak melakukan apa-apa denganmu." Dex belum memahami situasi yang ada. "Justru aku yang harusnya marah, kenapa kamu belum mengabari ku. Apa kamu berhasil?" "Ih, Dex! Kakiku lecet gara-gara melakukan misimu! Aku tersemper mobil!" Teriak Fira frustrasi, Dex ini manusia tidak peka. Ia malah menanyakan hasil misinya. Dex yang mendengar itu mengangkat alisnya sebelah, tidak peduli dengan ucapan Fira lebih tepatnya. "Itu urusanmu, salah siapa tidak hati-hati." Sumpah, demi! Sialan, kau Dex! Umpat Fira di dalam hati, ia dongkol setengah mati mendengar respon Dex. "Kamu menyalahkan ku? Oke, fix! Aku tidak akan berikan apa yang aku dapat." Fira bangkit dari duduknya, ia lebih baik segera pulang dan istirahat. Dia menyesal datang ke kantor Dex, harusnya ia biarkan saja Dex menunggu dan mencarinya. Dex langsung menahan tangan Fira, tidak mengizinkan Fira pergi sebelum memberi tahu apa yang dia dapat tadi. "Oke, oke. Aku akan tanggung jawab, tapi beritahu aku dulu apa yang kamu dapat." Fira menyeringai, aha! Dia akan memoroti Dex setelah ini. Fira pun kembali duduk, tapi wajahnya ia buat seangkuh mungkin. "Jadi, tunggu apa lagi. Ceritakan!" Titah Dex tidak sabaran. Kalau saja Dex ini bukan sahabat suaminya yang juga menjadi sahabatnya, sudah ia buang ke laut dari dulu. Pria jomblo satu ini memang menyusahkan dan menyebalkan. Pantas saja belum nikah-nikah, eh Dex kan sedang menunggu gadis kecil yang baru saja ia temui. "Hm, tidak ada yang perlu diceritakan." Jawab Fira cuek. Dex memincing menatap Fira, "apa maksudmu dengan tidak ada yang perlu diceritakan?!" Sial! Dex benar-benar sudah sangat penasaran. Sepertinya Fira sedang membalas perbuatannya tadi. Fira mengangkat bahu acuh, "ya memang tidak ada. Dia membantuku, lalu kami bertukar nomor ponsel. Sudah," ujar Fira. Dex melotot, "kenapa kamu tidak tawarkan pekerjaan untuknya?!" Fira membalas dengan pelototan juga, "hei! Kamu pikir perkenalan apa yang sekali bertemu langsung menawarkan pekerjaan. Itu hanya strategi biar dia terpancing." Ujar Fira sebal. Dex akhirnya terkekeh mendengar ucapan Fira, "bukannya pertemuan pertama mu dengan Gio kamu langsung dilamar." Goda Dex mengingatkan Fira pada kejadian lima tahun yang lalu. Kejadian yang lucu menurut Dex. Fira yang diingatkan pun wajahnya memerah, sialan Dex! "Beda cerita!" Kata Fira ketus. "Sudahlah, aku mau pulang. Jangan lupa kamu harus ganti rugi atas luka ku." Ujar Fira yang langsung melenggang pergi dari hadapan Dex. "Jangan lupa selesaikan misimu!" Teriak Dex yang tidak mendapat tanggapan dari Fira. Kemarahan Dex kemarin menghilang begitu saja, di dalam benaknya sudah tersusun berbagai rencana untuk menyambut kedatangan gadisnya. Dan semakin dekat langkahnya untuk bisa bersama gadisnya. Dex menyeringai menyeramkan membayangkan hal itu. *** "Ay, hpmu bunyi!" Teriak Esa dari dalam kamar. "Siapa, Sa? Nanggung ini, bentar lagi mateng." Balas Ayu dari dapur. Ternyata dia sedang merebus mie untuk makan malam untuk kedua kalinya. "Gak ada nama!" "Bentar!" Mereka ini, hanya di dalam ruangan yang besarnya tidak seberapa tapi selalu berteriak. "Assalamualaikum," sapa Ayu ketika mengangkat telpon dari nomor yang tidak di kenal. "Wa'alaikumussalam, malam, Ay." Sapa suara di seberang telpon, Ayu menyerngit. Mengingat-ingat suara siapa ini? "Em, siapa ya?" "Haha, masa baru ketemu tadi siang udah lupa sih?" Esa menoel-noel pundak Ayu kepo, tapi Ayu hanya menggeleng. Karena memang belum mengingat siapa perempuan ini. "Em, hehe. Maaf Mbak, memang lupa." Ujar Ayu tidak enak. "Hahaha, Fira, Ayu. Yang kamu tolong tadi." "Ya Allah, Mbak Fira toh? Maaf ya, Mbak. Gak hapal suaranya, kok nomernya beda sama yang tadi siang?" Ayu baru ingat, tadi siang mereka kan sudah saling save nomor ponsel. Fira terkekeh, "hehe. Ini nomor suami, hpku lagi di charge." "Oh, gimana sama kaki Mbak?" "Baik, berkat kamu ini." Ayu tersenyum, "bukan aku Mbak." "Iya terserah, eh besok ketemuan, yuk. Aku lagi gak ada kerjaan." Ayu memandang Esa sebentar, ia juga mengingat jadwal kuliah. "Em, bisa Mbak. Di mana ya, tempatnya?" "Besok aku kirim." "Iya, eh tapi, apa kaki Mbak udah enakan?" "Udah, cuma lecet doang. Udah dulu, ya. Suamiku udah selesai mandinya, bye." "Iya, Mbak." Sambungan telpon pun terputus. "Siapa-siapa?" Tanya Esa kepo. "Tadi yang keserempet mobil." "Ngapain telpon kamu?" "Ngajakin ketemuan besok, katanya mumpung gak sibuk." Esa menatap Ayu khawatir, "ih jangan mau, Ay. Nanti cuma modus, kamu bar bertemu satu kali loh." Ayu tersenyum menangkan, "in syaa allah gak. Udah ah, jangan su'udzon. Mending makan mienya, keburu tambah melar." "Oke."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN