Janji Bastian

2149 Kata
Bastian tak menjawab pertanyaan Christian, ia langsung melangkah pergi menuju tangga. “Jangan ikuti aku, Chris.” Bastian tau kalau sejak tadi Christian mengikutinya. Ia sedang tak ingin menjawab pertanyaan sepupunya yang ingin ikut campur masalah pribadinya. “Aku bilang jangan ikuti aku!” teriak Bastian setelah membalikkan tubuhnya, menghadap Christian yang saat ini berada tepat di depannya. Christian begitu terkejut mendengar teriakan Bastian, karena ini kali pertama Bastian berani berbicara keras di depannya. “Kamu marah sama aku, Bas?” lirih Christian sambil menyentuh dadanya. Sial! Bastian menyugar rambutnya ke belakang dengan sangat kasar, sepertinya alkohol masih mempengaruhi otaknya. “Chris, tinggalkan aku sendiri. Aku lagi ingin sendiri,” ucap Bastian lalu membuka pintu kamarnya, melangkah masuk ke dalam kamar, lalu menutupnya. Bastian tak akan membiarkan Christian masuk ke dalam kamarnya, karena dirinya memang sedang ingin sendiri saat ini. Dirinya bahkan meminta Dicky untuk menghandle semua pekerjaannya. Bastian melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya, karena dirinya belum sempat membersihkan tubuhnya saat di apartemen Dicky. Setelah merasa lebih fresh, Bastian melangkah menuju balkon kamarnya, tentu saja setelah memakai pakaiannya. Bastian menghela nafas panjang. Ditatapnya langit yang terlihat sangat cerah pagi ini. “Apa aku temui Jenny aja ya? aku akan jelasin sama dia semuanya. Aku gak mau lagi ikut campur urusan Christian dan Jenny.” Bastian melangkah menuju nangkas yang ada di dekat sofa, lalu mengambil bungkus rokok dari dalam laci itu beserta korek apinya. Disaat seperti ini, ia memang melampiaskannya dengan merokok. Bastian bukan perokok aktif, tapi ia memang suka merokok disaat pikirannya tengah kacau seperti sekarang ini. Bastian sejak tadi tak memperdulikan suara ketukan di pintu kamarnya, ia yakin, Christian saat ini masih berdiri di depan pintunya. “Ck, biasanya dia langsung main masuk aja, sekarang kenapa dia main ketuk pintu? Apa dia benar-benar menyesal dengan sikapnya semalam?” Bastian sudah menghabiskan satu batang rokok, saat ingin menyalakan batang rokok yang kedua, kedua telinganya mendengar suara pintu terbuka. Ia sontak langsung memasukkan batang rokok yang ada di tangannya kembali ke dalam bungkus rokok, lalu melemparnya ke sofa beserta dengan korek apinya. Bastian lalu melangkah masuk ke dalam kamarnya. Ia terkejut saat melihat Bella—mamanya Christian yang ternyata berada di dalam kamarnya. “Tante? Ada apa ya, Tan?” Bastian melangkah mendekat. “Semalam kamu gak pulang ke rumah. Gak seperti biasanya kamu tidur diluar, Bas. Apa kamu ada masalah? Apa kamu bertengkar dengan Christian?” Bella sudah menganggap Bastian seperti putranya sendiri, sejak kecil dirinya yang merawat Bastian setelah kedua orang tua Bastian meninggal dunia. Ia menyayangi Bastian seperti dirinya menyayangi Christian. Selama ini baik Bella maupun Cleo, tak pernah membeda-bedakan antara Christian dan Bastian. Apa yang Christian dapat, maka Bastian juga akan mendapatkannya. Tak ada perbedaan sama sekali. “Maafin aku, Tan. Aku gak izin sama Tante dulu. Semalam aku menginap di apartemen Dicky, karena ada pekerjaan yang harus selesai malam itu juga,” ucap Bastian yang terpaksa harus berbohong. “Terus kenapa sekarang kamu gak berangkat ke kantor?” “Aku berangkat agak siang, Tante. Aku mau meninjau pembangunan hotel.” Bella mengangguk mengerti. Bastian memang harus mengemban tugas yang berat, karena Christian tak memungkinkan untuk mengurus perusahaan yang turun temurun itu. “Tante hanya mencemaskan kamu, Bas. Gak seperti biasanya kamu seperti ini,” ucap Bella sambil mengusap lengan Bastian. “Maafkan aku, Tante. Aku janji, lain kali aku akan beritahu Tante dulu.” “Ya sudah, sekarang kamu turun, Tante yakin, kamu belum sarapan kan? Christian sedang menunggu kamu di ruang makan.” “Baik, Tante, aku akan segera turun.” “Kalau begitu Tante turun dulu.” Bella lalu melangkah menuju pintu, membukanya, lalu melangkah keluar dari kamar Bastian. Bastian menghela nafas panjang, lalu melangkah menuju ranjang, mendudukkan tubuhnya disana, lalu mengambil ponselnya yang tergeletak di atas nangkas. Bastian ingin menghubungi seseorang. “Halo, Dic,” sapanya saat panggilan itu sudah mulai tersambung. “Hem, ada apa? kamu berubah pikiran dan mau masuk kerja?” “Gak, hari ini ada meeting penting gak?” “Bentar, aku cek dulu.” Bastian menunggu jawaban dari Dicky sambil beranjak dari duduknya dan melangkah keluar dari kamarnya. “Gak ada, Bas. Kamu free hari ini. Memangnya kenapa? bukannya kamu memang mau libur ya hari ini?” “Hem, tapi aku berubah pikiran. Gimana kalau kita cek pembangunan hotel di kawasan Pantai Ancol?” “Wah, cocok tuh. Gak ada kamu kantor rasanya sepi. Malas aku gak ada temen. Ok, aku jemput kamu aja, biar keluarga kamu gak curiga.” “Ok, aku tunggu. Aku juga mau sarapan dulu, habis itu siap-siap.” Bastian lalu mengakhiri panggilan itu. Ia melihat hanya ada Bastian yang duduk di kursi meja makan. Bastian menatap Christian sekilas, lalu menarik kursi yang ada di depan Christian, lalu didudukinya. “Om dan Tante mana? mereka gak sarapan?” Bastian tidak mungkin mendiamkan Christian begitu saja. Rasanya canggung, karena Cuma ada mereka berdua di ruangan itu. “Mama dan Papa sudah selesai sarapan dari tadi. Mereka sejak tadi nungguin kamu, tapi kamu belum juga turun. Makanya aku nungguin kamu, biar kamu gak makan sendirian,” ucap Christian lalu mengambil nasi lalu diletakkan di atas piring kosongnya. Tak lupa dengan sayur kesukaannya. Bastian melihat Christian yang tak mengambil lauk. “Kamu gak pakai lauk? Bukannya itu lauk kesukaan kamu?” “Aku lagi gak pengen,” ucap Christian lalu menyuap satu sendok makanan ke dalam mulutnya. Hening, habis itu sama sekali tak ada percakapan antara Christian dan Bastian, sampai mereka selesai makan. “Bas, kamu gak kerjakan?” tanya Christian saat melihat Bastian yang sudah mau beranjak dari duduknya. “Aku kerja kok, nih baru mau siap-siap. Sebentar lagi Dicky datang. Aku mau meninjau pembangunan hotel dekat kawasan Pantai Ancol. Aku pergi dulu.” “Tunggu, Bas!” Christian beranjak dari duduknya, lalu melangkah mendekati Bastian. “Boleh aku ikut?” Dahi Bastian mengernyit. “Kamu serius mau ikut?” Christian menganggukkan kepalanya. “Aku bosan di rumah.” “Tapi ini aku lagi kerja loh, Chris, bukan main.” Kalau ada apa-apa dengan Christian disana kan berabe. Niat mau melepas penat, eh … Christian malah mau ikut. “Kalau kamu bosan, kamu minta antar Pak Galih untuk mengantarmu ke rumah Jenny. Atau aku akan antar kamu, nanti pulangnya kamu minta jemput Pak Galih, gimana?” “Bas ….” “Chris, aku gak mau bahas masalah yang semalam. Kalau Jenny tetap marah sama kamu, aku akan meminta maaf sama dia karena sudah bohongi dia. Aku akan jujur sama dia, kalau yang sama dia kemarin itu aku, bukan kamu.” “Gak, Bas. Jangan katakan apapun sama Jenny. Hanya kamu harapan aku satu-satunya untuk bisa terus dekat dengan Jenny.” Dahi Bastian kembali mengernyit bingung. “Apa maksud kamu?” tanyanya tak mengerti. “Aku butuh kamu, Bas. Disaat aku sedang tak bisa bersama dengan Jenny, aku ingin kamu yang menggantikan aku dan menyamar menjadi aku di hadapan Jenny.” Kedua mata Bastian membulat dengan sempurna. “Apa kamu sudah gila! kamu ingin membohonginya lagi, hah!” geramnya dengan kedua telapak tangan mengepal. “Kamu tau kondisiku, Bas. Aku gak mungkin terus bersama dengan Jenny. Aku gak mau sampai Jenny merasa kehilangan aku, untuk itu aku ingin kamu ….” “Gak! Aku gak akan mau melakukan itu lagi, Chris. Aku gak mau membohongi Jenny lagi. Maafkan aku, kali ini aku gak bisa membantu kamu. Aku harus pergi.” Bastian lalu bergegas keluar dari ruang makan itu. Sementara Christian kembali mendudukkan tubuhnya di kursi meja makan sambil meremas dadanya yang mendadak terasa nyeri. “Aku benci hidup seperti ini. Aku benci menjadi pria yang lemah! Aku benci dengan penyakit ini!” teriak Christian keras sambil menahan rasa nyeri di dadanya. Bastian yang mendengar teriakan Christian seketika langsung menghentikan langkahnya, karena ia belum terlalu jauh dari ruang makan itu. “Maafkan aku, Chris. Aku hanya gak ingin sampai menyakitimu dan Jenny. Aku harap suatu saat nanti kamu mau jujur sama Jenny tentang keadaan kamu yang sebenarnya.” Bastian lalu kembali melangkahkan kakinya menuju tangga. Ia akan menghabiskan waktunya seharian di tempat proyek. Anggap saja dirinya bekerja sambil melepas penat sambil menatap keindahan Pantai Ancol. Bastian yang sudah berganti pakaian dengan pakaian kerjanya, bersiap untuk keluar dari kamarnya. Dicky sudah menghubunginya kalau dia sudah sampai di rumahnya dan menunggu di depan teras. “Ada apa ya?” Bastian melihat semua pekerja rumah itu berlari ke arah belakang. “Bik, ada apa? kenapa semua pada lari ke belakang?” tanya Bastian penasaran kepada salah satu asisten rumah tangga keluarga Christian. “Itu, Den. Den Christian pingsan di ruang makan.” Kedua mata Bastian membulat dengan sempurna. “Apa!” teriaknya terkejut dan langsung berlari menuju ruang makan. Bastian melihat kedua pengawal Christian membopong tubuh Christian, sedangkan mama dan papa Christian mengikuti dari belakang. “Tante, ada apa dengan Christian?” tanya Bastian saat melihat sang tante menangis. “Christian pingsan, Bas. Tante gak tau apa penyebabnya,” ucap Bella di tengah isak tangisnya. Apa ini gara-gara penolakan aku tadi? Apa ucapan aku tadi terlalu kasar sama Christian. Bastian merasa bersalah, ia lalu mengikuti tante dan om nya keluar dari rumah, mereka akan membawa Christian ke rumah sakit. Dicky yang duduk di depan teras, beranjak dari duduknya saat melihat kedua pengawal itu membopong tubuh Christian dan memasukkannya ke dalam mobil, diikuti oleh Bella dan Cleo. “Bas, Christian kenapa?” “Dic, kita ikut mereka ke rumah sakit.” “Hah! Terus yang tadi ….” “Ini lebih penting, Dic! Christian seperti itu karena aku.” “Apa! memangnya kamu apain sepupu kamu itu? gak kamu maki-maki kan?” “Nanti aku ceritakan, kita ke rumah sakit sekarang.” Dicky mengangguk, lalu bergegas menuju pintu pengemudi. Melajukan mobilnya setelah Bastian masuk ke dalam mobilnya. “Sekarang ceritakan sama aku, apa yang telah terjadi antara kamu dan Christian?” Bastian menghela nafas panjang. “Aku menolak saat Christian memintaku untuk menggantikan dirinya saat dia gak bisa menemani Jenny. Dia gak ingin sampai Jenny merasa kehilangan dirinya.” “Mungkin cara menolakku itu salah, aku berteriak padanya tadi. Selama ini aku sekalipun belum pernah berbicara kasar sama Christian, tapi tadi aku terbawa emosi.” “Dic, kalau sampai terjadi apa-apa sama Christian, aku gak akan pernah bisa memaafkan diriku. Aku memang benci saat dia minta aku untuk kembali membohongi Jenny, tapi aku juga gak mau sampai Christian kenapa-napa.” “Bas, sekarang kamu jujur sama aku. Kamu beneran gak tertarik sama Jenny?” Bastian hanya diam, karena dirinya sendiri tak tau apa yang telah terjadi padanya setelah melihat Jenny untuk pertama kalinya di rumah Christian waktu itu. “Apa kamu menyukai Jenny, Bas?” tanya Dicky sekali lagi, karena Bastian masih bungkam. “Jenny milik Christian, Dic. Aku gak berhak untuk menyukai Jenny. Kalaupun aku memang suka sama Jenny, aku juga gak mungkin rebut Jenny dari Christian. Aku juga gak mungkin pisahin mereka.” Dic mengangguk setuju. Jangan sampai hanya gara-gara wanita, hubungan persaudaraan menjadi hancur. Christian adalah segalanya untuk Bastian. Makanya dirinya terkejut, saat Bastian bilang, Christian kambuh gara-gara dia. Sesampainya di rumah sakit, Christian dimasukkan ke dalam ruang ICU, karena belum juga sadarkan diri. Bastian melihat tantenya yang tengah menangis di pelukan om-nya. Ia lalu menghela nafas panjang, lalu melangkah menuju ruang ICU. Tapi tak lupa dirinya harus memakai perlengkapan sebagai syarat masuk ke dalam ruangan ICU itu. Bastian melihat Christian terbaring tak sadarkan diri dengan banyak sekali kabel peralatan yang menempel di dadanya. Bastian mendudukkan tubuhnya di kursi yang ada di dekat ranjang, lalu digenggamnya tangan Christian. “Chris, maafin aku. Aku gak bermaksud buat kamu kayak gini. Bangun, Chris, aku mohon.” “Aku janji, saat kamu bangun nanti, aku akan lakukan apapun yang kamu inginkan. Kamu ingin aku menyamar jadi kamu didepan Jenny? Ok, akan aku lakukan. Jadi sekarang bangunlah, jangan buat aku merasa bersalah seperti ini.” Bastian merasakan jemari tangan Christian bergerak. “Chris, bangun. Aku tau kamu bisa mendengarku. Aku janji, aku akan jadi kamu di hadapan Jenny, aku janji Chris.” Bastian menghela nafas lega, saat melihat kedua mata Christian yang mulai terbuka dengan perlahan. “Syukurlah, Chris. Terima kasih kamu mau mendengarkan ucapan aku.” “Dimana aku?” Christian menatap langit-langit ruangan itu yang begitu menyilaukan kedua matanya. Bastian menekan tombol merah yang ada di dekat ranjang. “Kamu di rumah sakit, Chris. Akhirnya kamu sudah sadar,” ucapnya dengan mengulum senyum. Pintu ruangan ICU terbuka, dokter dan dua orang suster masuk untuk memeriksa kondisi Christian, sedangkan Bastian memilih untuk keluar dari ruangan itu dan meminta untuk kedua orang tua Christian masuk ke dalam. Bastian mendudukkan tubuhnya di samping Dicky. “Akhirnya Christian bangun, Dic.” “Aku ikut lega, Bas. Jadi kamu gak perlu lagi menyalahkan diri kamu sendiri,” ucap Dicky sambil menepuk bahu Bastian. “Dic, aku berjanji sama Christian, kalau aku sanggup menyamar jadi dirinya di depan Jenny. Sekarang apa yang harus aku lakukan agar rasa ini tak semakin tumbuh jadinya?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN