Christian kini sudah dipindahkan ke ruang rawat inap VVIP. Cleo selalu memberikan perawatan yang terbaik untuk putra semata wayangnya itu. Ia juga yakin, kalau suatu saat nanti Christian bisa sembuh dari penyakitnya dan bisa hidup seperti pria sebayanya.
Menikmati masa mudanya. Cleo juga ingin melihat Christian menikah suatu hari nanti. Apapun akan ia lakukan untuk kebahagiaan putranya.
“Pa, dimana Bastian?” sejak Christian dipindahkan ke ruang rawat inap, ia belum melihat Bastian mengunjunginya.
“Dia sedang ada pekerjaan. Tapi, dia bilang akan datang kesini setelah pekerjaannya selesai.”
Cleo memberikan potongan buah apel kepada Christian. “Mama mu juga baru keluar untuk membeli makanan.”
Christian mengangguk mengerti. Ia lalu memakan potongan buah apel yang diberikan oleh sang papa padanya.
Sementara itu, saat ini Bastian dan Dicky tengah menatap rumah minimalis milik Jenny. Ada seorang gadis cantik yang tengah duduk di kursi yang ada di depan teras seorang diri.
“Kamu tau kenapa Jenny duduk di teras seorang diri seperti itu?” tanya Dicky tanpa mengalihkan tatapannya.
“Mana aku tau. Aku juga tak bisa membaca pikirannya.”
“Mungkin dia sedang menunggu Christian. Bukannya sejak kejadian semalam, Christian belum menemui Jenny?”
“Hem. Mungkin juga.”
“Bagaimana kalau kamu memberitahu dia, tentang keadaan Christian sekarang? dengan begitu dia gak akan menunggu kedatangan Christian lagi.”
Bastian sejak tadi tak mengalihkan tatapannya dari rumah Jenny. Meski dirinya tak bisa melihat wajah Jenny dengan sangat jelas, tapi ia sudah merasa puas ternyata Jenny baik-baik saja.
“Mungkin aku harus melakukan tugasku sekarang, Dic.”
“Apa maksud kamu? jangan bilang kamu akan ….”
“Hem. Bukannya kamu bilang aku harus melakukan sesuatu agar dia gak menunggu Christian lagi?”
“Tapi gak dengan harus menyamar jadi Christian, Bas, karena itu akan menyiksa diri kamu sendiri.”
Bastian menghela nafas panjang. “Tapi aku harus melakukannya, Dic. Aku sudah berjanji pada Christian, kalau aku akan menggantikan dia disaat dia gak bisa menemui Jenny.”
Bastian membuka pintu mobil. “Aku pergi, kamu kembalilah ke kantor, nanti aku akan naik taksi,” ucapnya lalu melangkah keluar dari mobil, lalu menutup pintu mobil itu kembali.
Bastian membuka pintu pagar rumah Jenny, lalu melangkah memasuki halaman rumah Jenny. Semakin dirinya mendekat, semakin jelas dirinya melihat wajah cantik Jenny.
Bastian mengulum senyum. Apa yang Dicky katakan benar, sepertinya dirinya memang benar-benar sudah jatuh cinta kepada Jenny sejak pandangan pertama.
“Hai, sedang apa kamu duduk disini?” Bastian tentu saja harus membuat suaranya terdengar seperti suara Christian.
“Christian! Apa itu kamu?” Jenny lalu beranjak dari duduknya, meraba-raba ke kanan dan kiri.
Bastian mencengkram pergelangan tangan Jenny. “Aku disini, Jen.”
Jenny meraba wajah Bastian. Ia ingin memastikan kalau yang didepannya saat ini adalah Christian.
“Apa yang kamu lakukan?” Bastian menyingkirkan kedua telapak tangan Jenny dari wajahnya.
“Aku hanya ingin memastikan kalau yang ada di depanku sekarang beneran kamu, bukan Bastian, sepupu kamu itu.”
Sial! Kenapa aku gak kepikiran soal ini? untung aku sudah bercukur kemarin, kalau gak, Jenny pasti curiga, karena Christian tak pernah membiarkan jambang tubuh di wajahnya.
“Kamu mencurigaiku? Kamu gak percaya sama aku?”
Jenny meraba-raba kursi yang tadi didudukinya, ia lalu mendudukkan tubuhnya di kursi itu.
“Kamu tau kan, Chris. Aku pernah dikhianati. Jadi aku gak bisa lagi percaya dengan siapapun.”
“Termasuk aku? bukankah kita bersahabat sekarang?” Bastian mendudukkan tubuhnya di kursi yang ada di dekat meja yang ada di sebelah Jenny.
“Jujur, aku ragu sama kamu, Chris. Meski aku buta, tapi aku gak bisa kamu bodohi.”
“Ok, jadi kamu gak percaya kalau aku ini Christian kan? Kalau begitu aku pergi.” Bastian beranjak dari duduknya dengan sedikit kasar mendorong kursinya, membuat Jenny menoleh ke arahnya, karena suara kursi yang berderit.
“Kamu mau pergi?”
“Bukannya kamu gak percaya sama aku? jadi untuk apa aku disini. Aku datang kesini karena aku merindukan kamu. Tapi kamu malah mencurigaiku. Jadi gak ada gunanya aku disini.”
“Tunggu, Chris, jangan pergi. Aku percaya. Aku percaya sama kamu.”
Bastian mengulum senyum. “Benarkah?”
“Hem, aku percaya sama kamu. Kamu ngapain datang ke rumahku.”
Bastian kembali mendudukkan tubuhnya. “Kan tadi aku sudah bilang, alasan aku datang kesini, karena aku merindukan kamu.”
Bastian bisa melihat kedua pipi Jenny mulai bersemu merah. Kini dirinya semakin yakin, kalau Jenny memang menyukai Christian. Ia akan lakukan apapun untuk membuat Jenny dan Christian menjadi lebih dekat, meskipun dirinya harus memulai kebohongannya dari sekarang.
“Jen, mau jalan sama aku gak?”
“Kemana, Chris?”
“Jalan aja sih. Aku suntuk di rumah. Gimana kalau kita jalan-jalan ke taman aja?”
Bastian melihat Jenny menganggukkan kepalanya. Ia mengulum senyum, lalu beranjak dari duduknya, melangkah mendekati Jenny.
“Aku bantu berdiri.” Bastian menyentuh telapak tangan Jenny.
Hanya dengan menyentuh telapak tangan Jenny saja, sudah mampu membuat detak jantungnya berdebar-debar.
“Terima kasih, Chris.”
“Hem, ayo kita jalan.”
“Aku ambil tongkat aku dulu.”
“Gak usah, aku akan menggandeng tangan kamu. Apa kamu keberatan kalau aku ingin menggandeng tangan kamu?”
Dengan pelan, Jenny menggelengkan kepalanya. Ia tak tau kenapa sikap Christian berbeda dari biasanya. Tapi, ia suka. Ia suka dengan Christian yang begitu perhatian hari ini.
Jenny terkejut saat merasakan hembusan hangat nafas di telinganya. “Chris, a—apa yang ….”
“Percaya sama aku, Jen. Aku hanya ingin kamu percaya sama aku,” bisik Bastian di telinga Jenny.
Jenny mengangguk pelan dengan jantung yang berdebar-debar. Perlakuan yang dirinya terima saat ini mampu membuat kinerja jantungnya menggila.
Bastian dengan perlahan membantu Jenny untuk turun dari teras, dengan menggenggam kedua tangan Jenny. “Hati-hati.”
“Terima kasih, Chris.” Jenny mengulum senyum, ia tak menyangka Christian akan seperhatian ini padanya. Semalam bahkan mereka sempat berdebat soal suara Bastian yang sangat mirip dengan Christian.
Bastian menarik tangan Jenny, lalu dirangkulkan di lengannya. “Gini kan enak jalannya. Kalau kayak gini, kita kayak sepasang kekasih ya, Jen. Padahal kan kita cuma temanan,” ucapnya lalu terkekeh.
Berharap banget sih, suatu hari nanti dirinya bisa terus seperti ini bersama dengan Jenny. Tapi itu adalah hal yang sangat mustahil, karena di hati Jenny hanya ada Christian. Ia juga tak mungkin mengambil Jenny dari Christian.
Jenny hanya diam, karena sejak tadi detak jantungnya semakin menggila. Apa yang dirinya rasakan saat ini, dulu juga pernah dirinya rasakan, saat dirinya jatuh cinta untuk pertama kalinya dengan pria yang sudah berhasil menghancurkan hatinya.
Setelah sekian lama hatinya beku, kini sepertinya hatinya perlahan mulai mencair lagi. Tapi, Jenny tak ingin gegabah. Ia tak ingin terluka lagi. Ia belum lama mengenal Christian, ia takut, Christian tak jauh berbeda dengan pria di masa lalunya.
Jenny sadar, kalau dirinya hanyalah wanita yang tak berguna. Ia yakin, perhatian yang sekarang Christian tunjukkan padanya hanyalah bentuk dari belas kasihan Christian padanya.
Saking terhanyut dalam pemikirannya sendiri, Jenny sampai tak mendengar kalau sejak tadi Bastian mengajaknya bicara. Hingga ia merasa langkah Bastian tiba-tiba berhenti.
“Ada apa, Chris?”
“Jen, apa kamu melamun?”
“E—enggak, kok kamu bisa ngomong gitu?”
“Dari tadi aku ngajak kamu ngomong loh, tapi kamu diam saja. Apa yang sedang kamu pikirkan?”
Jenny terkejut saat tiba-tiba Bastian menangkup kedua pipinya. Andai kedua matanya tidak buta, mungkin saat ini kedua matanya akan bertemu tatap dengan kedua mata Bastian.
“Apa ada yang mengganggu pikiran kamu? atau kamu gak nyaman jalan sama aku seperti ini? atau … kamu takut kalau ada orang yang melihat kita jalan berdua seperti ini?”
“Apa maksud kamu?”
“Ya … siapa tau kamu takut kalau keka ….”
“Aku gak punya kekasih, Chris, dan kamu tau itu. Aku dikhianati olehnya.”
Ah ya, Bastian ingat, kalau Jenny pernah menceritakan masa lalunya dengan kekasihnya.
“Terus, kenapa kamu melamun? Apa kamu ada masalah?”
Jenny menyingkirkan kedua tangan Bastian dari pipinya, karena kalau dirinya biarkan tetap seperti ini, bisa-bisa jantungnya akan loncat keluar dari dadanya.
Jenny kembali merangkul lengan Bastian. “Chris, apa kita sudah sampai di taman?” tanyanya mengalihkan pembicaraan.
“Sebentar lagi kita sampai.”
Mereka lalu kembali melanjutkan perjalanan. Mereka berjalan dengan sangat lambat, seakan mereka memang ingin berlama-lama dan terus seperti ini.
Maafin aku, Chris. Maaf, karena aku sudah berani mencintai wanita yang kamu cintai. Tapi aku janji sama kamu, aku hanya melakukan peranku sebagai dirimu. Jenny juga gak akan pernah tau, kalau yang bersamanya saat ini adalah aku, bukan kamu.
Bastian membantu Jenny untuk duduk di bangku taman, ia lalu mendudukkan tubuhnya di sebelah Jenny. Ada begitu banyak anak-anak kecil yang berlarian di depannya.
“Chris, ada berapa anak yang berlarian di depan kita?” Jenny memang hanya bisa mendengar suara tawa anak-anak kecil yang ada di depannya.
“Em … banyak sih. Tapi yang sejak tadi mondar mandir di depan kita ada … empat anak. Kenapa?” Bastian menoleh untuk menatap wajah cantik Jenny.
“Gak apa, aku hanya ingin tau saja. Kalau aku jalan-jalan ke taman, aku hanya bisa mendengar suara-suara yang ada di dekatku tanpa bisa melihat seperti apa rupa mereka.”
“Jen, apa kamu sudah pernah mencari donor mata untuk kamu?” tanya Bastian sambil menatap wajah cantik Jenny yang memang terlihat natural, karena Jenny memang tak memakai make up sama sekali.
“Hem, tapi tetap gagal. Selain itu, biayanya juga gak murah, Chris. Kamu juga tau kan, kalau Ibu aku hanya ….” Jenny menghentikan ucapannya saat meresakan tangan kirinya digenggam oleh Bastian.
“Aku akan bantu kamu carikan donor mata yang cocok buat kamu. Aku ingin kamu bisa melihat seperti dulu lagi. Dengan begitu, kamu akan bisa melihat wajahku tanpa perlu meraba-raba wajahku lagi.”
Kalau kamu sudah bisa melihat, maka aku akan menjauh dari kamu, Jen. Karena aku gak bisa lagi berperan sebagai Christian. Suara kami memang sedikit mirip, tapi tidak dengan wajah kami, karena kami beda.
“Gak perlu, Chris. Aku gak mau merepotkan kamu. Selain itu biayanya juga gak murah.”
“Soal itu kamu gak perlu cemas. Aku akan menanggung semuanya. Apa kamu lupa kalau aku ini kaya?”
“Ihh! Sombong! Apa kamu ingin memamerkan kekayaan kamu sama aku!” kesal Jenny dengan bibir mengerucut.
“Bukan ingin memamerkan, tapi aku ingin kamu tau, kalau kamu bisa mengandalkan aku kapan saja, Jen. Kita ini teman. Bukankah sesama teman itu harus saling membantu? Selain itu, aku juga ingin kamu bisa melihat lagi.”
Jenny menghela nafas panjang. Ia lalu menoleh ke kiri. Meski ia tak bisa melihat, tapi ia tau kan dimana letak duduk Bastian saat ini.
“Chris, apa kamu pernah jatuh cinta?”
“Jatuh cinta? Kenapa kamu tiba-tiba menanyakan itu?”
“Em … gak sih, aku cuma ingin tau saja.”
“Belum sih. Aku belum pernah jatuh cinta, karena aku belum menemukan gadis yang cocok.”
“Gadis seperti apa tipe kamu itu?”
“Em … yang penting dia harus cantik, baik, dan cinta sama aku.”
Sama seperti kamu, Jen. Wajahmu yang polos, mampu mengetarkan hatiku dan juga Christian. Andai kamu tau aku bukan Christian, aku yakin, kamu gak akan menanyakan itu sama aku.
“Kenapa, Jen? Apa kamu sedang jatuh cinta sekarang?”
“Entahlah, Chris. Aku juga gak tau?”
“Siapa pria beruntung itu, Jen? Kasih tau aku?”
Pria beruntung? Bukankah aku hanya akan menjadi beban kamu, Chris? Aku buta. Dan aku gak pantas buat kamu.
“Chris, aku haus. Belikan aku minum dong?”
“Kamu mau minum apa?”
“Air dingin aja,” ucap Jenny lalu mengulum senyum.
Jenny terkejut saat Bastian mengusap puncak kepalanya.
“Kamu tunggu disini ya. Jangan kemana-mana, aku akan belikan minuman untuk kamu,” ucap Bastian lalu beranjak dari duduknya, melangkah pergi menuju stand penjual minuman.
Jenny menghela nafas panjang. “Sepertinya aku sudah jatuh cinta sama kamu, Chris. Tapi aku gak akan mengatakan itu sama kamu, karena aku gak ingin menjadi beban kamu.”
Bastian merasakan getaran di dalam saku celananya. Ia lalu mengambil ponselnya dan melihat siapa yang menghubunginya.
“Christian?” Bastian langsung menjawab panggilan itu.
“Halo, Chris, gimana keadaan kamu sekarang?” Bastian memberikan uang lima puluh ribuan kepada pejual minuman itu.
“Kembaliannya buat Bapak.” Bastian mengambil kantong kresek yang isinya dua botol minuman dingin.
“Chris, kenapa kamu diam?” tanya Bastian lagi saat tak mendengar suara Christian.
“Kamu lagi dimana, Bas?”
“Aku lagi meninjau pembangunan hotel sama Dicky. Kamu belum jawab pertanyaan aku, bagaimana keadaan kamu?”
“Baik. Kapan kamu akan datang kesini?”
“Setelah pekerjaan aku selesai, aku akan ke rumah sakit. Kamu mau aku bawain apa?”
“Gak ada. Aku hanya ingin kamu datang kesini.”
“Ok, aku akan segera menyelesaikan pekerjaan aku, setelah itu aku akan ke rumah sakit.”
“Ok.” Christian lalu mengakhiri panggilan itu.
Christian menyentuh dadanya yang terasa nyeri, dengan tatapan menatap ke arah Bastian, lalu beralih ke arah Jenny yang tengah menunggu Bastian.
Christian tadi merengek kepada sang papa untuk mengizinkannya keluar dari rumah sakit, karena ia ingin bertemu dengan Jenny. Tapi, saat melewati taman, dirinya justru melihat Jenny yang tengah duduk di taman bersama dengan Bastian.
Christian menghela nafas panjang. “Kenapa kamu harus bohong sama aku, Bas? Aku tau, aku yang memintamu untuk menggantikan aku disaat aku tak bisa menemui Jenny. Tapi kenapa kamu harus berbohong sama aku sekarang?”
“Aku gak akan marah, kalau kamu menyamar menjadi aku di depan Jenny, tapi seenggaknya kamu jujur sama aku.”
“Bas, apa kamu diam-diam menyukai Jenny?”
“Rob, kita kembali ke rumah sakit.”
“Den Chrisrian gak jadi bertemu sama Nona Jenny?”
“Aku sudah bertemu dengannya. Aku juga gak ingin mengganggu kesenangannya. Aku mau kembali ke rumah sakit, sekarang.”
“Baik, Den.” Pria bertubuh kekar yang tak lain adalah pengawal Christian itu meminta supir untuk melajukan kembali mobilnya.
Christian melihat Bastian yang tengah duduk di samping Jenny. Sepupunya itu terlihat tengah membukakan tutup botol minuman milik Jenny.
“Jalan, Rob! Tunggu apa lagi!”