“Kita pulang, Bas.” Christian memasang sabuk pengamannya.
Sepertinya kecerobohannya tadi sudah membuat sepupunya ini dalam masalah. Tapi, Bastian juga tak tau harus berbuat apa untuk membantu sepupunya itu.
“Chris, masih banyak gadis diluar sana yang masih mau berteman sama kamu. Gak masalah kalau Jenny gak mau berteman sama kamu lagi, kan masih ada aku sama Bastian. Iya kan, Bas?” Nadia menatap Bastian yang kini mulai melajukan mobilnya.
“Kamu gak usah ikut campur. Semua ini juga gara-gara kamu tau gak! Ngapain tadi kamu pakai bilang kalau Jenny itu buta!” geram Christian sambil menatap tajam ke arah Nadia.
“Lah, aku kan bicara yang sebenarnya. Dia kan memang buta, masa aku bilang dia gak buta. Kamu juga, kenapa sih kamu takut banget kehilangan Jenny? Apa kamu benar-benar sudah jatuh cinta sama dia?” tanya Nadia dengan dahi mengernyit.
“Bukan urusan kamu! lebih baik kamu urus urusanmu sendiri! dan aku harap, besok kamu keluar dari rumahku!” setelah mengatakan itu, Christian memilih untuk menatap keluar jendela. Ia tak menyangka, Jenny akan mencurigai nya seperti tadi.
Sejak tadi Bastian memilih untuk diam. Ia tak ingin membuat Christian semakin emosi, karena itu akan berdampak buruk untuk kinerja jantung Christian.
Sesampainya di rumah, Christian bahkan tak mengatakan sepatah katapun pada Bastian dan Nadia, ia langsung masuk ke dalam rumah begitu saja.
“Bas, emangnya aku salah ngomong ya?” Nadia benar-benar bingung dengan sikap Christian saat ini.
“Lebih baik kamu masuk sekarang.” Bastian lalu membuka pintu pengemudi.
“Kamu mau kemana?”
“Bukan urusan kamu.” Bastian lalu masuk ke dalam mobil, menyalakan mesin mobilnya, lalu melajukan mobilnya keluar dari pintu gerbang rumah itu.
Kepala Bastian terasa pusing, begitu banyak masalah yang harus dirinya hadapi. Belum lagi masalah kantor, sekarang muncul masalah baru dengan Christian.
Bastian melajukan mobilnya menuju apartemen Dicky. Ia ingin menenangkan diri untuk saat ini. Sepertinya ucapan sahabatnya tadi benar, kalau saat ini dirinya membutuhkan liburan dan hiburan.
“Tumben kamu kesini malam-malam begini?” Dicky menyuruh Bastian untuk masuk ke dalam apartemennya.
Bastian mendudukkan tubuhnya di sofa yang ada di ruang depan, lalu menyandarkan tubuhnya, dengan kepala mendongak menatap langit-langit ruangan itu.
Dicky melangkah menuju dapur untuk mengambil dua kaleng bir. Ia lalu kembali melangkah menuju ruang depan, melempar salah satu kaleng bir itu ke arah Bastian.
Bastian dengan sigap menangkap kaleng bir itu, lalu membukanya, kemudian meneguknya.
Dicky mendudukkan tubuhnya di sebelah Bastian. “Kamu bertengkar sama sepupu kamu itu?”
“Gak juga. Tapi sepertinya aku sudah terlalu ikut campur dengan hubungan Christian dan Jenny.”
“Tapi kamu melakukan itu karena permintaan sepupu kamu itu. Jadi semua itu juga bukan salah kamu.”
“Tapi aku hampir saja menghancurkan semuanya, Dic. Jenny marah sama Christian gara-gara aku. Aku ceroboh. Aku gegabah.”
“Memangnya apa yang sudah kamu lakukan?” tanya Dicky penasaran. Dirinya sangat mengenal Bastian, sahabatnya itu bukanlah orang yang ceroboh dan gegabah.
Bastian lalu menceritakan semua yang terjadi di rumah Jenny kepada Dicky. Tak ada satupun yang dirinya sembunyikan dari sahabatnya itu.
“Astaga! gitu doang! Cewek itu marah hanya gara-gara kamu bicara dan dia mengenali suara kamu?”
“Bukan masalah suaranya, Dic. Jenny merasa dibohongi. Dia curiga kalau yang bersamanya tadi pagi itu bukan Christian, tapi aku. Jenny pernah bilang sama aku, kalau dia paling benci kebohongan.”
“Dia pasti tersinggung. Hanya karena dia buta, jadi orang bisa seenaknya membohonginya.”
“Kalau kamu merasa bersalah, kenapa kamu gak jujur saja, kalau yang tadi pagi itu kamu. Kamu bilang sama Jenny tentang keadaan Christian yang sebenarnya. Aku yakin, Jenny pasti bisa mengerti.”
Ucapan Dicky memang masuk akal. Tapi, Bastian tak bisa melakukan itu. Ia tak ingin sampai Christian merasa dikasihani oleh Jenny. Ia kenal siapa sepupunya itu, harga dirinya sangat tinggi. Dia juga paling benci dikasihani, karena sejak kecil semua orang mengasihaninya karena penyakit yang dideritanya.
“Aku gak bisa melakukan itu, Dic. Kalau aku mengatakan sama Jenny tentang penyakit Christian, yang ada Christian akan semakin terluka nanti. Dia paling benci dikasihani. Kalau sampai Jenny tau tentang penyakit Christian, itu akan merubah sikap Jenny pada Christian nanti. Aku gak mau seperti itu.”
Bastian kembali meneguk bir yang ada di tangannya itu sampai habis tak tersisa. “Apa kamu masih punya bir lagi?” tanyanya sambil meletakkan kaleng kosong itu ke atas meja.
“Tunggu, aku punya sesuatu yang bisa buat kamu melupakan semua masalah kamu.” Dicky lalu beranjak dari duduknya, melangkah pergi dari ruangan itu.
Bastian mengambil ponselnya saat merasakan ada getaran dari dalam saku celananya. “Christian! Ngapain dia menghubungiku? Bukannya dia marah sama aku?”
Bastian tak menjawab panggilan dari sepupunya itu. Ia meletakkan ponselnya ke atas meja, lalu menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa.
Dicky datang sambil membawa sebotol whisky dan dua gelas sloki dan meletakkannya ke atas meja.
Bastian menegakkan kembali tubuhnya, menatap botol whisky yang ada di atas meja.
“Kamu dapat dari mana minuman itu?”
“Beli lah. Kamu aja yang gak tau. Kamu selalu menolak saat aku ajak minum.” Dicky lalu membuka tutup botol whisky itu, lalu menuangkannya ke dalam kedua gelas sloki yang ada di atas meja.
Bastian mengambil gelas sloki itu, lalu meneguk whisky itu sampai habis. “Mantap, sudah lama aku gak minum-minum seperti ini. Isi lagi dong,” pintanya sambil menyodorkan gelas sloki yang ada di tangannya ke arah Dicky.
“Kamu yakin mau nambah lagi?”
“Hem, malam ini aku ingin bersenang-senang. Untuk malam ini aku ingin terbebas dari semua tanggung jawab aku.”
“Sip. Aku akan dukung kamu, Bas. Kamu berhak untuk menentukan jalan hidup kamu sendiri.” Dicky lalu menuangkan whisky itu ke dalam gelas Bastian.
Dicky meletakkan botol whisky itu ke atas meja, lalu mengambil gelas miliknya. “Kita bersulang, Bas, untuk kebebasan kita malam ini,” ucapnya lalu mengangkat gelasnya.
Bastian melakukan hal yang sama, lalu menyentuhkan gelas miliknya dengan gelas milik Dicky, lalu mulai meneguk whisky yang ada di dalam gelas itu.
“Bas, menurut kamu, gimana Jenny itu?”
“Kenapa? apa kamu sangat penasaran dengan teman Christian itu?” Bastian mengambil botol whisky itu, lalu dituangkan ke dalam gelasnya.
“Dia cantik. Dia sederhana. Pokoknya sangat berbeda dengan gadis-gadis diluar sana. Dia terlihat natural, karena dia memang tak pernah berdandan kalau aku lihat.”
“Ck, kamu ini juga aneh, kamu bilang Jenny itu buta. Jadi mana mungkin dia bisa dandan.”
Bastian terkekeh. “Benar juga kata kamu. Tapi meskipun begitu, dia terlihat cantik alami,” ucapnya lalu menepiskan senyumannya.
Dicky mengernyitkan dahinya saat melihat raut wajah Bastian saat menceritakan tentang Jenny. Sahabatnya itu terlihat berbeda dari biasanya. Sepertinya telah terjadi sesuatu antara sahabatnya itu dengan gadis yang bernama Jenny itu.
“Bas, sekarang lebih baik kamu jujur sama aku. Apa kamu diam-diam menyukai Jenny?”
“Hah! Apa kamu bilang? Aku suka sama Jenny?”
Dicky menganggukkan kepalanya. “Itu tebakan aku, saat aku melihat wajah kamu berseri saat menceritakan tentang Jenny.”
“Itu gak akan terjadi, Dic. Aku gak mungkin suka sama Jenny. Jangan asal menebak kamu. Christian yang menyukai Jenny, bukan aku.”
“Siapa saja boleh menyukai Jenny, Bas, termasuk kamu. Memangnya kenapa kalau Christian menyukai Jenny? Gak ada larangan buat kamu suka sama Jenny.”
“Jelas ada. Jelas ada, Dic, karena aku gak mungkin merebut apa yang sudah menjadi milik Christian. Aku gak bisa melakukan itu.”
Bastian kembali meneguk whisky yang sudah memenuhi gelasnya dalam sekali teguk, lalu di isinya kembali gelasnya yang kembali kosong itu.
“Sebelum janur kuning melengkung, kamu masih bisa memiliki Jenny, Bas. Aku baru pertama kali melihat kamu suka sama cewek, seharusnya kamu perjuangkan dia.”
“Jangan bodoh kamu, Dic! Jenny hanya milik Christian. Aku bisa melihat cinta di kedua mata mereka.”
“Ck, Jenny buta, tau dari mana kamu kalau Jenny juga suka sama Christian? Kamu hanya tak ingin menyakiti sepupu kamu itu kan, makanya kamu mengalah.”
Bastian hanya diam. Ia tak akan mendengar apapun yang Dicky katakan, karena itu hanya akan meracuni otaknya yang masih waras.
“Sepupu kamu menghubungimu, Bas. Gak kamu angkat?” Dicky menatap layar ponsel Bastian yang ada di atas meja, panggilan masuk dari Christian.
“Biarin aja, aku gak mau menambah masalah baru. Sepertinya otakku mulai eror ini.” Bastian merasakan pusing di kepalanya. Tapi ia masih terus menuangkan whisky itu ke dalam gelas kosongnya.
Dicky mengambil ponsel Bastian, dan tanpa meminta persetujuan dari Bastian, ia langsung menjawab panggilan dari Christian itu. Bastian yang melihat itu sama sekali tak peduli.
“Halo, Chris. Ini aku Dicky, sahabat Bastian,” sahut Dicky saat panggilan itu sudah mulai tersambung.
“Dimana Bastian? Kenapa kamu yang menjawab panggilan aku?”
Dicky menatap ke arah Bastian yang sudah beranjak dari duduknya. “Bas, mau kemana kamu?” tanyanya kepada Bastian saat melihat Bastian melangkah pergi dari ruangan itu.
“Aku mau tidur, kepala aku pusing. Malam ini aku numpang tidur disini ya?” pinta Bastian sambil terus berjalan menuju kamar Dicky.
“Dimana Bastian? Apa dia baik-baik saja?”
“Apa kamu mencemaskan Bastian?”
“Tentu saja aku mencemaskan Bastian, dia keluarga aku.”
“Bukankah kamu marah sama dia? Bukankah kamu kecewa sama dia?”
“Apa Bastian yang mengatakan semua itu sama kamu?”
Dicky menghela nafas panjang, sepertinya dirinya salah bicara. Untung dirinya hanya meminum dua gelas whisky, sehingga otaknya masih waras. Entah bagaimana keadaan Bastian saat ini, karena dia hampir menghabiskan satu botol wisky.
“Chris, malam ini Bastian akan menginap di rumahku. Jadi kamu gak usah mencemaskan dia.”
“Apa kamu yakin kalau Bastian baik-baik saja?”
“Hem. Aku tutup dulu.” Dicky lalu mengakhiri panggilan itu, meletakkan ponsel Bastian ke atas meja, lalu beranjak dari duduknya, melangkah pergi menuju kamarnya.
Sementara itu di tempat lain, saat ini Christian sama sekali tak bisa memejamkan kedua matanya. Ia merasa sangat bersalah telah mengacuhkan Bastian tadi. Sebenarnya semua yang terjadi di rumah Jenny tadi bukanlah salah Bastian.
Tapi murni karena kesalahannya yang tak bisa berkata jujur kepada Jenny. Seharusnya dirinya harus berterima kasih kepada Bastian, karena berkat Bastian, Jenny tak harus menunggunya seharian karena dirinya yang tak bisa menepati janji.
“Maafkan aku, Bas. Maafkan aku. Aku sudah bersalah sama kamu. Gak seharusnya aku menyalahkan kamu untuk masalahku sama Jenny.”
Keesokan paginya, Christian yang sudah tampak segar, melangkah keluar dari kamarnya. Ia berniat untuk ke kamar Bastian yang ada di lantai dua. Tapi, sebelum dirinya melangkah menuju tangga, ia melihat Bastian yang juga tengah berjalan ke arah tangga.
“Bas, kamu baru pulang?” tanya Christian saat melihat Bastian masih memakai pakaian yang semalam.
“Hem, kamu mau kemana jam segini? Kamu mau ketemu Jenny?” Bastian menghentikan langkahnya di depan Christian.
“Aku mau ke kamar kamu. Tapi ternyata kamu baru pulang.”
“Hem, semalam aku tidur di apartemen Dicky. Kenapa kamu mau ke kamarku? Ada yang ingin kamu bicarakan sama aku?”
Christian menganggukkan kepalanya. Kali ini dirinya tidak boleh egois. Kalau dirinya memang salah, dirinya harus meminta maaf bukan?
“Bas, aku … aku minta maaf. Gak seharusnya aku bersikap seperti itu sama kamu semalam.”
“Sudahlah, Chris. Aku mengerti perasaan kamu kok. Aku memang salah, gak seharusnya aku ikut campur tentang hubungan kamu sama Jenny.”
“Sekarang kamu jawab jujur, apa kamu memang menyukai Jenny? Maksud aku, suka dari sekedar teman.”
Christian menundukkan kepalanya, lalu mengangguk pelan. “Tapi aku takut Jenny akan menolakku. Ini pertama kalinya aku jatuh cinta, Bas. Apa yang harus aku lakukan? bahkan semalam Jenny terlihat marah sama aku.”
“Kalau aku minta kamu untuk berkata jujur sama Jenny, aku yakin kamu gak akan mau melakukannya.”
“Hem, aku paling benci dikasihani, Bas. Aku juga gak ingin nanti Jenny menatapku dengan tatapan kasihan. Sampai kapanpun, aku gak akan mengatakan kepada Jenny tentang penyakitku ini.”
“Kalau begitu terserah kamu, Chris. Apapun keputusan kamu, aku akan mendukungmu,” ucap Bastian sambil menepuk bahu Christian.
Christian mengernyitkan dahinya saat mencium nafas Bastian yang masuk ke dalam lubang hidungnya.
“Bas, kamu habis minum-minum?”