Jangan sampai kamu menyesal

2644 Kata
Dicky mengambil segelas es teh manis yang tadi dipesannya. Ia lalu mulai meneguknya hingga tinggal separuh. Kedua matanya sejak tadi terus menatap sahabat sekaligus atasannya di kantor. Jujur, ia merasa sangat penasaran. Baru kali ini dirinya melihat Bastian mulai melalaikan tugasnya. Apalagi sampai membuang jauh-jauh kesempatannya untuk bekerja sama dengan perusahaan yang sudah lama Bastian incar selama ini. “Bas, sekarang katakan padaku. Siapa yang tadi kamu temui, sampai kamu melupakan meeting penting kita pagi tadi?” tanya Dicky setelah meletakkan gelas yang ada di tangannya. Bastian menghela nafas, “Jenny.” Mendengar sahabatnya menyebut nama seorang wanita. Benarkan tadi Bastian menyebut nama seorang wanita? Jenny? Siapa dia? Kekasihnya kah? “Jenny?” Dicky mengulang perkataan Bastian untuk memastikan kalau pendengarannya tak bermasalah. Ia yakin, kalau telinganya memang tidak bermasalah. Sahabatnya lah yang bermasalah saat ini. “Hem... Jenny. Sahabat baru Christian.” Bastian kembali menghela nafas panjang, “Jenny adalah sahabat Christian. Mereka belum lama saling mengenal.” “Terus apa hubungannya sama kamu? kenapa kamu tadi bilang kamu sedang membantu Bastian. Bantuan apa yang kamu maksud itu?” “Christian kambuh lagi. Dia ternyata mempunyai janji sama Jenny untuk pergi ke taman pagi tadi. Jadi...” “Jadi kamu menggantikan Christian dengan berpura-pura menjadi Christian dan pergi bersama dengan Jenny ke taman? Begitu?” Dicky bahkan sampai mengernyitkan dahinya. Bastian menganggukkan kepalanya, “aku gak punya pilihan lain selain bersandiwara di depan Jenny sebagai Cristian.” “Tunggu... tunggu... apa Jenny belum pernah bertemu dengan Christian? Kenapa kamu bisa menyamar sebagai Christian? Wajah kalian bahkan sama sekali gak mirip? Hanya suaramu aja yang sedikit mirip dengan suara Christian.” “Jenny buta.” Kedua mata Dicky membulat dengan sempurna, “apa? buta?” “Hem... Jenny buta karena kecelakaan yang dialaminya dulu. Itu sebabnya dia gak bisa mengenaliku dan menganggap aku sebagai Christian.” “Astaga, Bastian! Jadi kamu membohongi seorang gadis buta?” “Hanya kali ini aja. Aku hanya gak tega, saat melihat Jenny yang tengah menunggu kedatangan Christian. Apalagi tadi Jenny terlihat begitu bahagia.” “Gila! kamu memang sudah gila, Bas. Kenapa kamu selalu mementingkan kepentingan sepupu kamu itu? kenapa kamu gak mementingkan diri kamu sendiri? selama ini, kamu selalu mengurus Christian. Sampai-sampai kamu gak peduli dengan diri kamu sendiri.” “Bagiku Christian adalah segalanya. Kamu tau itu.” Dicky tersenyum sinis, “tentu saja, karena dia adalah anak dari pemilik perusahaan ini. Orang yang sudah sangat berjasa dalam hidupmu.” “Bukan hanya itu. Om dan Tante sudah begitu baik padaku selama ini. Mereka bahkan tak pernah membeda-bedakan antara aku dan Christian. Apalagi kondisi Christian yang memang membutuhkan bantuan orang lain, karena ia tak akan bisa mengandalkan dirinya sendiri.” “Ya... ya... ya. Terserah kamu aja. Aku juga gak mau ikut campur soal urusan pribadi kamu. Aku hanya kasihan sama kamu. Di usia kamu yang sudah dua puluh lima tahun, sampai detik ini aku sekalipun belum pernah melihat kamu mengencani seorang wanita.” Dicky lalu melipat kedua tangannya di depan dadanya, “kamu gak belokan? Kamu masih normalkan, Bas?” tanyanya sambil mengernyitkan dahinya. “Sialan kamu! kamu pikir aku belok gitu! Aku akan buktikan sama kamu kalau aku masih normal!” dengan emosi, Bastian beranjak dari duduknya dan melangkah pergi meninggalkan Dicky. Dicky beranjak dari duduknya, melangkah cepat mengikuti langkah Bastian yang sudah jauh di depan. “Kalau begitu, bagaimana kalau malam ini kita pergi ke club. Kamu buktikan sama aku, kalau kamu memang gak belok.” Bastian menghentikan langkahnya. Ia lalu menatap sahabatnya yang berdiri di sampingnya. “Ok. Siapa takut.” Saat ini Christian merasa jenuh berada di dalam kamar seharian ini. Ia ingin sekali pergi keluar untuk menghirup udara segar. Ia juga sangat ingin bertemu dengan Jenny. Tapi, kondisi tubuhnya belum memungkinkan dirinya untuk menemui sahabat barunya itu. Saat berada di dekat Jenny, membuat jantungnya kembali bermasalah. Ia butuh waktu untuk menormalkan kondisi tubuhnya itu. Christian melangkah keluar dari kamar. Ia hanya ingin jalan-jalan di taman yang ada di samping rumahnya. “Sayang, kamu mau kemana?” tanya Bella yang melihat sang putra melangkah menuju pintu utama. “Ma. Aku hanya ingin jalan-jalan di taman aja. Aku bosan dikamar terus.” Bella mengusap lengan putranya, “mau Mama temani?” Christian menganggukkan kepalanya. Mereka lalu melangkah keluar dari rumah. Christian dan mamanya duduk di bangku taman. “Sayang, kenapa kamu gak kasih tau Mama, kalau penyakit kamu kambuh kemarin?” “Maafin aku, Ma. Aku hanya gak ingin Mama cemas. Lagian masih bisa aku tahan sakitnya.” “Lain kali jangan lakukan itu lagi.” Christian menganggukkan kepalanya. “Apa Jenny tau kalau kamu...” Christian menggelengkan kepalanya, “aku gak mau sampai Jenny tau, Ma.” “Tapi kenapa, Sayang? apa kamu takut Jenny gak mau berteman denganmu lagi?” “Bukan itu, Ma. Aku hanya gak ingin menjadi bebannya. Mama ‘kan tau penyakit aku ini bisa kambuh kapan aja. Apalagi Jenny tidak bisa melihat. Mama tau ‘kan maksud aku?” Bella menghela nafas, “maafin Mama ya, Sayang. Kamu harus mengalami semua ini,” ucapnya sedih sambil menggenggam tangan Christian. “Kenapa Mama meminta maaf? Ini bukan salah Mama. Ini takdir yang harus aku jalani.” Christian tak ingin melihat wajah cantik mamanya kembali bersedih. Ia tak ingin membuat wanita yang sudah melahirkan dan membesarkannya kembali mengeluarkan air mata saat mengkhawatirkannya. “Ma, besok aku mau menemui Jenny. Aku mau minta maaf, karena hari ini aku gak bisa menepati janji aku untuk mengajaknya jalan-jalan ke taman. Mungkin Jenny tadi menungguku.” “Apa Mama boleh ikut ke rumah Jenny? Mama juga ingin tau dimana rumah Jenny.” Christian menganggukkan kepalanya, “tapi Jenny hanya berasal dari keluarga sederhana, Ma. Rumahnya juga gak sebagus rumah kita.” Bella tersenyum, lalu mengusap lengan putranya, “itu gak masalah buat Mama, Sayang. Mama gak pernah menilai orang dari hartanya. Tapi dari hatinya. Jenny gadis yang baik dan Mama suka sama dia.” Christian lalu memeluk mamanya, “terima kasih, Ma. Aku sayang sama Mama.” Mereka lalu melanjutkan obrolan mereka, sampai mereka mendengar suara seseorang yang memanggil Bella. Bella mengernyitkan dahinya, “Heny!” serunya terkejut. Heny bersama dengan seorang gadis cantik melangkah mendekati Bella dan Christian. Heny adalah sahabat Bella semasa kuliah dulu. Mereka sudah lama tak bertemu setelah lulus kuliah. Hingga Bella maupun Heny tak tau kabar masing-masing. Bella lalu beranjak dari duduknya. Ia lalu memeluk sahabat lamanya itu, lalu melepaskannya. “Dari mana kamu tau alamat rumah aku?” tanya Bella penasaran. “Aku tanya-tanyalah. Kenapa nomor kamu gak bisa dihubungi? Membuatku sulit untuk berkomunikasi denganmu lagi.” “Maaf, ponsel aku hilang dan Mas Cleo memberikan aku nomor yang baru. Aku juga gak hafal kontak kamu dan yang lainnya,” ucap Bella sambil menepiskan senyumannya. Bella lalu menatap seorang gadis cantik yang saat ini berdiri di sebelah Heny. “Apa dia putrimu?” “Hem... dia putriku satu-satunya. Namanya Nadia. Nadia, kasih salam sama Tante Bella,” ucap Heny sambil menatap putrinya. Nadia lalu mencium punggung tangan Bella, “halo, Tante. Salam kenal,” ucapnya dengan senyuman di wajahnya. Bella mengusap lengan Nadia, “wajah kamu sangat mirip sama mama kamu saat masih muda dulu,” ucapnya dengan senyuman di wajahnya. Nadia tersipu malu, “terima kasih, Tan.” “O ya.” Bella lalu meminta Christian untuk berdiri, “kenalkan, dia putraku satu-satunya. Chris, kasih salam sama Tante Heny.” “Halo, Tan. Aku Christian.” Christian lalu mencium punggung tangan Heny. “Bell, anak kamu tampan.” “Christian mewarisi wajah papanya,” ucap Bella sambil menatap wajah tampan sang putra. “Lebih baik kita mengobrol di dalam aja. Gak enak ngobrol disini,” ajak Bella sambil menatap Heny dan Nadia secara bergantian. “Ma, aku disini aja ya,” pinta Christian yang tak ingin gabung dengan sahabat mamanya itu. “Baiklah. Tapi jangan lama-lama.” “Hem...” Heny lalu menatap Nadia, “Sayang, kamu temani Christian disini ya. Ada hal penting yang ingin Mama bicarakan dengan Tante Bella.” “Baik, Ma.” Heny dan Bella lalu melangkah pergi dari taman itu. “Boleh aku duduk disini?” tanya Nadia saat Christian sudah kembali mendudukkan tubuhnya. “Hem...” Christian mengambil ponselnya dari dalam saku celananya. Nadia mendudukkan tubuhnya di sebelah Christian, “kita belum kenalan ‘kan?” Nadia mengulurkan tangannya, “aku Nadia,” ucapnya memperkenalkan diri. Christian sebenarnya malas menanggapi Nadia. Tapi, ia tak ingin sampai meninggalkan kesan buruk di depan gadis itu. Apalagi Nadia adalah anak dari sahabat mamanya. “Christian,” ucap Christian saat menjabat tangan Nadia. Christian lalu menarik tangannya lebih dulu. Nadia menatap sekeliling taman, “melihat taman ini, mengingatkan aku pada rumahku dulu,” ucapnya sambil menepiskan senyumannya. “Memangnya kamu gak tinggal di rumahmu lagi?” “Hem... setelah Mama dan Papa bercerai, Mama mengajakku untuk pindah kesini.” Christian yang awalnya fokus dengan ponsel yang ada di tangannya, kini mengalihkan tatapannya ke arah Nadia. “Memangnya dulu kamu tinggal dimana?” tanyanya penasaran. “Surabaya. Kampung halaman Papaku.” “O...” hanya itu yang keluar dari mulut Christian. Ia lalu kembali menatap benda pipih yang ada di tangannya. Apa yang Christian lakukan, tentu saja membuat Nadia penasaran. Bisa-bisanya Christian mengabaikan wanita cantik seperti dirinya hanya untuk menatap benda mati yang ada di tangannya saat ini. “Chris, apa yang kamu lihat? Apa aku boleh tau?” Nadia bahkan sudah mendekatkan wajahnya ke arah Christian guna untuk melihat apa yang begitu menarik perhatian Christian pada benda pipih itu. Christian menurunkan ponselnya, “kamu gak perlu tau. Lagian bukan urusanmu juga.” Nadia kembali memundurkan wajahnya, “maaf. Aku hanya penasaran aja,” ucapnya sambil menepiskan senyumannya. “O ya, Chris. Apa kamu mau berteman denganku?” Christian menatap Nadia sambil mengernyitkan dahinya, “berteman?” “Hem... kenapa? apa kamu gak mau berteman denganku?” “Bukan begitu. Tapi kamu yakin mau berteman dengan orang sepertiku?” Nadia mengernyitkan dahinya, “orang sepertimu? Memangnya kenapa? apa ada yang aneh denganmu hingga aku gak mau berteman denganmu?” tanyanya bingung. “Em... bukan apa-apa.” Christian lalu beranjak dari duduknya, “maaf, aku lelah. Aku mau masuk ke dalam,” ucapnya lalu melangkah pergi meninggalkan Nadia sendirian. Nadia mengernyitkan dahinya, “ada apa dengannya? Kenapa sikapnya aneh seperti itu? memangnya ada yang salah ya dengan ucapanku tadi? Memangnya kenapa kalau aku mengajaknya berteman?” Nadia lalu beranjak dari duduknya, melangkah meninggalkan taman itu untuk masuk ke dalam rumah Christian dan bergabung dengan mamanya dan juga mamanya Christian. Nadia mendudukkan tubuhnya di samping mamanya. “Gimana, Bell? Apa kamu setuju dengan apa yang tadi aku katakan?” Bella menatap Nadia, “em... aku belum bisa mengambil keputusan. Aku harus membicarakan ini sama Mas Cleo dan juga Christian.” Bella memang ingin melihat Christian bahagia. Apalagi melihat putra semata wayangnya menikah dan mempunyai keluarga sendiri. Tapi, saat mengingat kondisi Christian saat ini. Dirinya tak berani mengambil keputusan seorang diri. “Ma... apa yang Mama bicarakan dengan Tante Bella?” tanya Nadia penasaran. Heny mengusap lengan Nadia, “bukan apa-apa, Sayang. Mama hanya ingin melihat kamu bahagia,” ucapnya dengan senyuman di wajahnya. Dahi Nadia mengernyit, “bahagia? maksud Mama apa? aku udah bahagia selama ini.” Bella menatap Nadia dengan senyuman di wajahnya. “Mama kamu berniat menjodohkan kamu dengan anak Tante—Christian. Bagaimana pendapat kamu? apa kamu juga menginginkan perjodohan ini?” Kedua mata Nadia membulat dengan sempurna, “apa, Tante? Perjodohan?” Bella menganggukkan kepalanya, “apa kamu menyukai Christian?” Nadia menatap mamanya dengan kesal, “Ma, apa ini alasan Mama mengajak aku kesini? Apa ini alasan Mama menyuruhku untuk pulang?” Heny menghela nafas panjang, “Mama hanya ingin melihat kamu menikah, Sayang. Mama lihat Christian sangat cocok untuk kamu.” “Ma! Aku bukan anak kecil lagi, Ma! Aku juga belum ingin menikah!” kesal Nadia. Bella menghela nafas panjang, “Hen, sepertinya aku tidak bisa mengabulkan permintaan kamu. Selain itu, kondisi Christian saat ini juga tak memungkinkan untuk menikah dan membina rumah tangga.” Nadia mengernyitkan dahinya, ia lalu menatap Bella, “memangnya Christian kenapa, Tante? Apa dia sakit? soalnya aku lihat tadi wajahnya agak pucat?” tanyanya penasaran. “Christian memiliki penyakit jantung bawaan. Kondisi tubuhnya sangat lemah.” Kedua mata Nadia membulat dengan sempurna. Sekarang ia tau, kenapa tadi Christian begitu terkejut saat dirinya ingin berteman dengannya. Karena penyakitnya. Jadi ini yang membuat Christian diam saja saat aku ajak berteman. Memangnya apa yang salah dengan penyakitnya? Kita juga gak bisa memilih untuk terlahir dalam kondisi sehat dan tidak sehat. “Tan. Apa aku boleh menemui Christian? Ada yang ingin aku bicarakan dengannya.” Bella dan Heny saling menatap satu sama lain. “Christian ada di kamarnya.” Bella lalu memberitahu letak kamar Christian. Dan disinilah Nadia sekarang berada. Di depan pintu kamar Christian. Nadia menggerakkan tangannya untuk mengetuk pintu kamar Christian. Ia lalu membuka pintu kamar saat mendengar sahutan dari dalam kamar itu. “Apa aku boleh masuk?” tanya Nadia setelah membuka pintu kamar Christian. Christian menatap ke arah pintu. Tentu ia terkejut saat melihat Nadia yang tengah berdiri di depan pintu kamarnya. Christian kembali membalikkan tubuhnya, menjadi memunggungi Nadia. “Kenapa kamu kesini? aku lagi gak mau diganggu.” Christian saat ini tengah berdiri di depan jendela kamarnya. Nadia melangkah masuk ke dalam kamar Christian, dengan perlahan mendekati Christian. “Aku ingin bicara sama kamu.” “Gak ada yang harus kita bicarakan. Kita bahkan tak saling mengenal satu sama lain.” “Kita sudah kenalan tadi. Apa kamu lupa itu?” Nadia tak menyangka, ternyata Christian begitu angkuh. Christian memalingkan wajahnya menatap wajah Nadia. “Terus? Apa hanya karena kita sudah kenalan tadi, kamu bisa seenaknya masuk ke dalam kamar aku?” Nadia tersenyum sinis, “jadi ini sifat asli kamu? atau kamu bersikap seperti ini hanya untuk menutupi kelemahan kamu?” “Keluar dari kamar aku sekarang.” Christian menatap keluar jendela. “Apa kamu tau kalau kedua orang tua kita ingin menjodohkan kita?” Christian kembali menatap Nadia sambil mengernyitkan dahinya, “apa maksud kamu?” Christian menyentuh dadanya yang terasa nyeri, dan itu membuat Nadia begitu terkejut. Aishh! Sial! Aku lupa kalau Christian mempunyai penyakit jantung. Dia gak bisa dibuat terkejut seperti tadi. Nadia lalu membantu Christian untuk duduk di tepi ranjang. Christian mengambil obat yang ada di atas meja, lalu meminumnya. “Maafkan aku,” ucap Nadia merasa bersalah. Christian mengambil nafas, lalu mengeluarkannya secara perlahan. Ia lalu menatap Nadia yang masih berdiri di depannya. “Apa kamu tau kalau aku...” “Hem... penyakit jantung bawaan 'kan?” Christian menundukkan wajahnya, “keluar dari kamar aku.” “Chris... apa kamu gak mau berteman denganku karena penyakitmu?” “Keluar dari kamar aku.” Nadia bukannya keluar dari kamar Christian, tapi malah duduk di samping Christian. “Aku gak peduli dengan penyakit kamu. Aku mau berteman denganmu, Chris, karena aku gak punya teman disini.” “Mana mungkin kamu gak punya teman. Kamu sehat, cantik, pasti banyak yang ingin berteman denganmu.” Nadia tersenyum saat Christian memujinya cantik, “jadi aku cantik nih,” godanya. “Kamu seorang wanita. Tentu saja cantik, gak mungkinkan kamu tampan!” ketus Christian. “Aku memang gak punya teman disini, karena setelah lulus kuliah aku kerja di Bandung dan tinggal disana.” Nadia lalu mengulurkan tangannya, “jadi, apa kamu mau menjadi teman pertamaku disini, Chris?” tanyanya dengan senyuman di wajahnya. Christian menatap kedua mata Nadia, “apa kamu yakin mau berteman dengan orang penyakitan seperti aku ini?” “Hem... kenapa tidak? Penyakit kamu gak menularkan?” Nadia masih menampakkan senyuman di wajahnya. Menatap wajah tampan pria yang saat ini berada di depannya. Christian menjabat tangan Nadia, “jangan sampai kamu menyesal ya!” ketusnya lalu menarik tangannya lagi. “Aku gak akan pernah menyesal,” ucap Nadia dengan menepiskan senyumannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN