Tentang Jenny

2284 Kata
“Bas, jangan lupa, besok kita ada meeting dengan klien,” ucap Dicky masih dengan berdiri di depan ruangan Bastian. Menatap Bastian yang tengah membereskan meja kerjanya. “Hem, kalau aku lupa lagi, besok kamu hubungi aku pagi-pagi sekali,” ucap Bastian sambil memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya. “Ck, kenapa sekarang kamu kayak gak fokus kerja? Apa semua ini karena Jenny? Kamu gak sedang jatuh cinta dengan sahabat sepupu kamu itu kan?” Bastian hanya diam. Ia lalu melangkah menuju pintu sambil menenteng tas kerjanya. “Mana mungkin aku jatuh cinta sama Jenny, kenal juga gak. Aku tadi hanya bantu Christian saja,” ucapnya lalu melangkah keluar dari ruangannya setelah Dicky menyingkir dari pintu. Mereka berjalan beriringan menuju lift. “Bas, kita nongkrong yuk! Sudah lama kita gak pernah nongkrong bareng.” “Kamu tau kan kenapa aku sekarang jarang keluar? Aku gak enak sama Christian. Disaat dia cuma tinggal di rumah, aku justru malah bersenang-senang diluar.” Pintu lift terbuka, mereka lalu melangkah masuk ke dalam lift. “Tapi kamu juga harus memikirkan diri kamu sendiri. Kamu juga butuh hiburan, kamu juga butuh teman untuk berkeluh kesah.” “Aku sudah ada Christian yang akan selalu mendengar keluh kesahku.” “Ck, maksud aku teman cewek. Kamu masih normalkan? Kamu gak belok kan?” “Sialan! Aku normal lah! Ya kali aku gay, gila apa!” umpat Bastian kesal. “Siapa tau kamu beneran belok. Aku juga gak pernah lihat kamu jalan sama cewek.” Pintu lift terbuka di basement, mereka lalu melangkah keluar dari lift. “Ayolah, Bas. Aku kenalin sama cewek cantik deh,” bujuk Dicky lagi saat mereka melangkah menuju mobil mereka. “Lain kali saja, aku capek. Aku mau langsung istirahat. Selain itu, ada hal yang ingin aku bicarakan sama Christian.” Bastian lalu membuka pintu mobilnya, lalu melangkah masuk ke dalam mobil. “Ck, mau diajak bersenang-senang malah gak mau. Yaudah, aku pergi sendiri aja deh.” Dicky lalu berjalan menuju mobilnya, sedangkan Bastian sudah melajukan mobilnya keluar dari basement kantornya. Sementara ini Nadia sampai sekarang masih berada di rumah Christian, seharian ini dia menemani Christian duduk di taman, sesekali mereka saling menceritakan tentang kehidupan mereka masing-masing. Meski baru kenal, Nadia memang mudah akrab dengan siapa saja. Meski ia akui, sangat sulit untuk bisa mengajak Christian bicara sebanyak itu tadi. “Jadi kamu punya teman lain?” “Hem, aku juga belum lama mengenalnya.” “Apa aku boleh berteman dengannya juga?” “Gak.” Nadia mengernyitkan dahinya. “Kenapa? dia kan cewek. Pasti dia akan senang saat berteman denganku nanti.” “Jangan terlalu percaya diri.” “Ck, kan sudah aku bilang, aku ini mudah akrab dengan siapa saja, aku juga bisa bikin orang ketawa, seperti kamu tadi.” Christian beranjak dari duduknya. “Kamu mau kemana?” tanya Nadia yang ikutan beranjak dari duduknya. “Aku mau masuk, kenapa kamu gak ikut pulang sama mama kamu tadi?” “Aku mau menginap disini,” ucap Nadia dengan senyuman di wajahnya. “Hah! Ngapain kamu menginap di rumah aku?” “Gak apa sih, lagian mama kamu ngizinin kok.” “Ck, Mama aku itu terlalu baik sama orang.” Christian lalu melangkahkan kakinya pergi dari taman itu. Christian melihat mobil Bastian yang tengah memasuki pintu gerbang rumahnya. “Chris, itu mobil siapa?” tanya Nadia penasaran. “Cowok ganteng. Kamu mau gak kenalan sama dia? Dia belum punya pacar loh.” “Ck, aku kan dijodohkan sama kamu, ya kali kamu malah minta aku buat jadi pacar cowok lain,” ucap Nadia pura-pura kesal. “Terlalu percaya diri kamu, siapa juga yang mau dijodohin sama kamu. Meskipun di dunia ini hanya tersisa satu wanita yaitu kamu, aku lebih memilih untuk melajang seumur hidupku.” Christian lalu melangkah menghampiri Bastian yang sudah keluar dari mobil. “Ck, memangnya dia tau masa depan apa? siapa tau di masa depan kamu memang menjadi jodoh aku. Aku akan berusaha untuk membantu kamu sembuh, Chris.” Nadia lalu melangkah menghampiri Christian dan Bastian. Bastian dan Christian melangkah menuju pintu, tapi langkah mereka terhenti saat Nadia memanggil Christian. “Siapa dia, Chris?” tanya Bastian penasaran. “Anak teman Mama, gak usah kamu peduliin.” Christian lalu mengajak Bastian masuk ke dalam rumah. Nadia yang merasa dicuekin memilih untuk melangkah menuju ruang tengah tempat Bella tengah duduk seorang diri. Sementara itu Christian mengikuti Bastian sampai ke kamarnya. “Ada apa?” tanya Bastian yang penasaran sambil membuka kancing jasnya. “Apa nanti kamu bisa mengantarku ke rumah Jenny?” Bastian yang ingin melepas jas yang membalut tubuhnya, seketika berhenti. “Untuk apa kamu mau ke rumah Jenny?” “Aku mau minta maaf sama dia, karena aku tadi sudah ingkar janji. Jenny pasti sedih, dia pasti menungguku tadi.” Bastian memang belum mengatakan kepada Christian, kalau dirinya tadi pagi berpura-pura menjadi dirinya karena tak tega melihat Jenny yang tengah menunggu Christian. “Chris, maafin aku.” “Maaf? Kenapa kamu meminta maaf sama aku?” tanya Christian bingung. “Sebenarnya tadi aku ke rumah Jenny. Aku kesana untuk memberitahu Jenny kalau kamu gak bisa datang. Tapi, saat aku melihat Jenny yang tengah duduk di depan teras rumahnya dan ternyata sedang menunggumu, aku ... aku berpura-pura jadi kamu di depan Jenny.” Dahi Christian mengernyit. “Maksud kamu, kamu mengaku jadi aku di depan Jenny?” Bastian menganggukkan kepalanya. “Kok bisa? memangnya Jenny gak curiga?” “Apa kamu lupa, kalau suara kita sedikit mirip? Jadi aku berpura-pura lagi sakit, agar Jenny tidak curiga sama aku.” Bastian lalu mendudukkan tubuhnya di samping Christian, menepuk bahu sepupunya itu. “Maafkan aku ya, aku sudah menyamar jadi kamu tanpa minta izin dulu sama kamu,” ucapnya merasa bersalah karena telah lancang memakai identitasnya. Christian tersenyum. “Kenapa kamu malah meminta maaf sama aku? justru aku yang seharusnya berterima kasih sama kamu, karena berkat sandiwara kamu, Jenny jadi tak sedih karena aku sudah ingkar janji.” “Aku juga terpaksa melakukan itu. Awalnya aku hanya ingin memastikan kalau Jenny tak menunggumu, tapi ternyata dia malah duduk di depan rumahnya hanya untuk menunggu kedatangan kamu.” “Aku semakin merasa bersalah, seandainya saja aku tak menjanjikan itu sama Jenny. Seharusnya aku sadar dengan kondisiku yang bisa kambuh kapan saja.” Christian lalu meremas dadanya, lebih tepatnya dimana jantungnya berada. “Kenapa aku mempunyai penyakit ini? kenapa aku harus terlahir cacat? Kenapa! apa aku memang gak pantas untuk bahagia!” Bastian menarik Christian ke dalam pelukannya. “Chris, kita akan sama-sama berusaha agar kamu sembuh.” Christian mendorong tubuh Bastian. “Sampai kapan, Bas? Sampai kapan aku harus menunggu? Aku lelah dengan semua ini, aku lelah, Bas.” “Aku pria yang lemah, aku gak bisa diandalkan,” lanjutnya dengan kedua mata yang mulai berkaca-kaca. Bastian memegang kedua bahu Christian. “Apa kamu lupa kalau kamu masih punya aku? aku akan jadi bayangan kamu. Kalau kamu lemah, aku yang akan kuatin kamu. Aku akan selalu ada buat kamu, Chris. Aku janji.” “Sampai kapan? Memangnya kamu gak ingin menikmati hidup kamu? kamu gak ingin pergi sama teman-teman kamu? kamu gak ingin kencan sama kekasih kamu?” “Aku gak mau jadi saudara yang egois, Bas. Aku gak mau itu. Kamu normal, kamu bisa melakukan apapun yang kamu inginkan.” “Aku gak peduli semua itu, Chris. Apa kamu pikir aku akan bahagia saat melihat kamu terpuruk seperti ini? apa kamu pikir aku akan bisa bersenang-senang diatas penderitaan kamu?” Bastian menggelengkan kepalanya. “Aku gak bisa melakukan itu, Chris. Aku gak bisa, karena aku sayang sama kamu. Kamu segalanya buat aku. Kamu adikku yang paling aku sayangi,” ucapnya dengan senyuman di wajahnya. Christian langsung memeluk Bastian. “Maafkan aku, Bas. Maaf, karena telah meragukan kamu. Tapi aku hanya ingin kamu bisa menikmati hidup kamu. Kamu berhak untuk bahagia.” Bastian melepaskan pelukan Christian. “Aku selama ini sudah bahagia. Jadi kamu gak usah mencemaskan aku,” ucapnya dengan menepiskan senyumannya. “Aku tau kamu berbohong, Bas. Aku bukan anak kecil yang bisa kami bohongi. Aku memang penyakitan, tapi aku gak bodoh.” Bastian menghela nafas panjang. “Maaf.” “Sudahlah, setelah makan malam, antar aku ke rumah Jenny. Aku ingin bertemu dengannya.” “Tunggu, Chris.” Christian yang hendak beranjak berdiri mengurungkan niatnya, kembali menoleh ke arah Bastian yang duduk di sebelahnya. “Ada yang ingin aku ceritakan tentang Jenny sama kamu.” “Jenny?” dahi Christian mengernyit. “Hem. Tadi aku membawa Jenny ke taman, seperti janji kamu sama dia. Saat di taman tadi, Jenny menceritakan tentang kisah hidupnya. Aku pikir kamu juga harus tau ini, karena Jenny taunya aku adalah kamu.” “Memangnya apa yang Jenny ceritakan sama kamu?” tanya Christian penasaran. “Bukannya di taman itu kamu pertama kali bertemu dengan Jenny?” “Hem.” “Apa kamu tau kenapa Jenny sering datang ke taman itu?” “Ya gak lah, orang Jenny gak cerita sama aku.” “Di taman itu, dulu Jenny menghabiskan waktunya bersama dengan seseorang. Seseorang yang sangat dia percayai. Seseorang yang sangat dia cintai.” “Maksud kamu kekasihnya? Jadi Jenny sebenarnya sudah punya kekasih?” tanya Christian masih dengan dahi mengernyit. Dirinya semakin penasaran tentang teman barunya itu. “Dulu, sebelum dia kecelakaan. Sebelum kedua matanya buta. Kekasihnya itu sangat perhatian dan baik padanya. Tapi, dia mulai berubah, dia mulai menjauh, saat tau Jenny buta.” Christian mengepalkan kedua telapak tangannya. “Jenny tak pantas mencintai pria seperti itu!” Bastian menepuk bahu Christian. “Apa yang akan kamu lakukan, kalau Jenny mulai percaya sama kamu? apa yang akan kamu lakukan, kalau Jenny mulai bergantung sama kamu?” “Aku berjanji, Bas. Aku akan lindungi Jenny. Aku akan selalu ada buat dia.” “Kamu yakin?” “Hem, aku yakin.” “Tapi bukannya tadi kamu bilang kalau kamu sudah lelah dengan semua ini? bukannya tadi kamu sudah mulai menyerah?” Christian menghela nafas panjang. “Aku akui, aku sempat menyerah tadi. Tapi, setelah mendengar cerita kamu tadi, aku gak mungkin bisa tinggalin Jenny. Dia butuh aku.” Bastian mengulum senyum. “Jadikan Jenny sebagai penyemangat hidup kamu, Chris. Jangan pernah menyerah, bukan hanya kamu yang sedang berusaha saat ini. Tapi kedua orang tua kamu juga, dan aku.” Christian menganggukkan kepalanya. “Terima kasih, Bas. Terima kasih, karena kamu tak pernah lelah untuk menasehatiku dan mendukungku selama ini.” “Hem. Sekarang kamu keluar dari kamar aku, aku mau mandi. Bukannya kamu ingin ke rumah Jenny?” “Apa kamu mau mengantarku?” seperti seorang anak kecil yang mendapatkan permen, seperti itulah raut wajah Christian saat ini, terlihat sangat bahagia. “Hem, aku akan mengantar kamu, karena aku tak mau kamu terus merengek nanti,” canda Bastian lalu beranjak dari duduknya dan melangkah menuju kamar mandi. Sementara Christian melangkah keluar dari kamar Bastian, melangkah menuju tangga, menuruni-nya satu persatu. Ia melihat sang mama dan Nadia yang tengah duduk di ruang tengah sambil melihat acara televisi. “Ck, baru juga ketemu, sudah sok akrab sama Mama.” Nadia yang melihat Christian lewat, sontak langsung memanggilnya. “Chris, sini,” panggilnya sambil melambaikan tangannya. “Ogah. Ma, apa makan malam sudah siap?” tanya Christian sambil menatap sang mama. “Coba Mama cek dulu.” Bella lalu beranjak dari duduknya, melangkah menghampiri Christian. Nadia ikutan berdiri dan mengikuti langkah Bella. “Tumben kamu jam segini sudah tanya soal makan malam? Memangnya kamu sudah sangat lapar?” “Gak sih, Ma. Soalnya setelah makan malam, aku sama Bastian mau ke rumah Jenny.” “Jenny teman kamu itu?” tanya Nadia. “Hem.” “Aku ikut ya? aku juga mau kenalan sama teman kamu itu.” “Gak!” Bella hanya geleng kepala. “Sayang, ajak saja Nadia sekalian. Biar nanti dia temani Bastian saat kamu sama Jenny.” “Ck, ngerepotin aja! Ma, aku gak mau dijodohin sama dia. Mama jodohin saja dia sama Bastian.” “Hah! Apa! perjodohan!” Bastian yang berada tak jauh di belakang Christian terkejut dengan apa yang baru saja Christian ucapkan. Nadia menatap Bastian. “Ogah, cakepan kamu Chris,” guraunya. Nadia sebenarnya juga tak ingin melakukan perjodohan itu, tapi ia ingin bisa dekat dengan Christian hanya sebatas teman. Ia merasa simpati dengan pria yang mempunyai penyakit jantung bawaan itu. “Idih, sok nolak kamu! lagian siapa juga yang mau dijodohin sama kamu. Bastian pasti juga nolak kamu, tipe dia itu gak kayak kamu!” Bastian melangkah mendekat. “Apa yang kamu katakan benar, Chris. Aku juga gak mau dijodohin sama dia. Kayak gak laku aja. Tante gak percaya sama Christian? Christian itu pasti akan bertemu dengan wanita yang benar-benar tulus mencintainya. Jadi Tante gak perlu cemas. Iya kan, Chris?” tanyanya sambil menepuk bahu Christian. “Hem.” Hanya deheman yang keluar dari mulut Christian, karena ia tak bisa membohongi dirinya sendiri. Dimana dirinya sendiri tak yakin akan ada wanita yang mau menerima kekurangannya dan mencintainya dengan tulus. “Sudah-sudah, lebih baik sekarang kita makan malam. Bukannya tadi kamu mau ke rumah Jenny?” Bella tak ingin berdebat tentang hal yang dirinya sendiri belum memutuskan untuk menerima perjodohan itu atau tidak. “Chris, nanti aku ikut ya? aku janji deh, aku gak akan mengganggu kencan kamu sama Jenny,” janji Nadia sambil mengangkat jari telunjuk dan tengahnya hingga seperti membentuk huruf V. “Kencan? Memangnya siapa yang mau kencan? Jangan fitnah kamu. Pokoknya kamu gak boleh ikut, titik!” Christian melangkah menuju ruang makan lebih dulu. Nadia mengerucutkan bibirnya. “Tan,” rengeknya. Bella menghela nafas panjang. “Bas, kamu ajak Nadia ya. Kasihan dia disini gak ada temannya.” Bastian tak punya pilihan lain selain menganggukkan kepalanya, hingga membuat raut wajah Nadia seketika berubah jadi ceria.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN