“Perfect. Hari ini aku akan temui Jenny,” ucap Christian dengan senyuman di wajahnya.
Christian baru saja selesai menyisir rambutnya yang berwarna kecoklatan itu di depan cermin besar yang ada di dalam kamarnya.
Setelah keluar dari rumah sakit, Christian sudah tak sabar untuk bertemu dengan Jenny. Ia kembali mengingat tentang jawaban Bastian di rumah sakit tentang pertanyaannya waktu itu.
Flash back satu minggu yang lalu.
“Aku gak cinta sama Jenny. Kenapa kamu bisa berpikiran seperti itu, Chris? Kamu gak percaya sama aku? kamu yang mencintai Jenny, bukan aku. Aku juga bisa melihat dari sorot mata Jenny, kalau dia juga cinta sama kamu.”
“Tapi Jenny itu buta loh, Bas? Bagaimana bisa kamu melihat dari sorot matanya?”
“Aku tau, Chris. Tapi tatapan Jenny yang memang gelap itu, menunjukkan dengan sangat jelas, kalau dia memiliki perasaan yang sama kayak kamu.”
“Bas, kalau kamu memang gak cinta sama Jenny, aku akan memperjuangkan Jenny. Aku benar-benar sudah jatuh cinta sama dia, Bas.”
“Coba kamu sentuh.” Christian menarik tangan Bastian, lalu diletakkan di atas dadanya, lebih tepatnya dimana saat ini jantungnya tengah berdetak.
“Ini hanya berdetak untuk Jenny, Bas. Aku bisa mendapatkan semangat hidupku lagi karena Jenny,” ucap Christian dengan senyuman di wajahnya.
Christian mengulum senyum saat mengingat semua yang Bastian katakan saat di rumah sakit. Ia lalu menyentuh dadanya.
“Terima kasih, Bas. Kali ini aku gak akan ragu lagi untuk menyatakan cintaku pada Jenny. Terima kasih untuk dukungan kamu.”
Christian lalu mengambil botol obatnya, lalu dimasukkan ke dalam saku celananya, begitu juga dengan ponselnya.
Tak lupa diambilnya paper bag yang sudah dirinya siapkan untuk Jenny. Setelah itu, ia melangkah keluar dari kamarnya.
Bella yang tengah duduk di ruang tengah, melihat Christian yang tengah berjalan menuju ruang depan.
“Sayang, kamu mau kemana? Kamu belum boleh pergi kemana-mana.” Bella sudah beranjak dari duduknya, melangkah mendekati Christian.
“Aku mau ke rumah Jenny, Ma. Aku sudah sehat, Ma.”
“Tapi, Sayang, kamu kan ….”
“Ok, biar Mama gak cemas, aku akan pergi sama Robert dan James. Boleh ya? aku kangen Ma sama Jenny.”
Bella mengernyitkan dahinya. “Kangen?”
Christian mengangguk dengan tersenyum malu.
“Sayang, jangan bilang kamu ….”
“Aku jatuh cinta sama Jenny, Ma. Hari ini aku bermaksud untuk memberitahu Jenny tentang perasaan aku. Aku gak mau menundanya lagi, Ma. Aku mau Jenny tau, kalau aku mencintainya.”
Bella tersenyum, lalu mengusap pipi Christian dengan lembut. “Anak Mama sudah dewasa sekarang. Mama senang, akhirnya kamu mau membuka diri dan bergaul dengan orang lain.”
“Apa Mama merestui aku sama Jenny?”
Bella menganggukkan kepalanya. “Apa perlu Mama melamarnya untuk kamu?”
“Ihh! Mama! masa nembak aja belum, udah mau main lamar aja. Gak, Ma. Aku mau pacaran dulu sama Jenny. Kalau kondisi aku sudah semakin membaik, baru Mama lamarkan Jenny buat aku,” ucap Christian dengan senyuman di wajahnya.
“Baiklah. Kapanpun kamu siap, Mama akan lamarkan Jenny buat kamu, Sayang,” ucap Bella dengan mengulum senyum.
Christian memeluk mamanya. “Terima kasih ya, Ma. Aku sayang Mama,” ucapnya lalu melepaskan pelukannya.
Bella mengusap lengan Christian dengan lembut. “Mama juga sayang sama kamu, Sayang. Kamu tau, kalau kamu adalah segala-galanya untuk Mama. Mama akan lakukan apapun yang kamu inginkan, termasuk menjadikan Jenny istrimu.”
“Kalau begitu aku pergi dulu, Ma. Aku sudah gak sabar ingin bertemu dengan Jenny.” Christian lalu mencium punggung tangan sang mama, lalu bergegas melangkah keluar dari rumahnya.
Christian memanggil kedua pengawalnya. Kali ini dirinya akan pergi dengan kedua pengawalnya itu. Robert dan James. Ia memang merasa kondisinya sudah membaik, tapi ia tak ingin membuat kedua orang tuanya kembali mencemaskannya.
Selain itu, kedua orang tuanya membayar kedua pengawalnya itu untuk menjaganya, bukan untuk berleha-leha dan menikmati gaji buta. Jadi, dirinya tak salah jika memanfaatkan kedua pengawalnya itu untuk menjaganya.
“Kalian antar aku ke rumah Jenny.”
Robert dan James mengangguk. Mereka senang kalau Christian mau meminta mereka untuk mengawalnya lagi, karena saat Christian ingin pergi ke rumah Jenny, anak majikannya itu tidak ingin dikawal oleh mereka.
“Silahkan masuk, Den.” Robert sudah membukakan pintu penumpang belakang untuk Christian.
Christian melangkah masuk ke dalam mobil, mendudukkan tubuhnya di kursi penumpang. Pintu mulai tertutup.
Robert membuka pintu penumpang depan, lalu masuk, mendudukkan tubuhnya disana. Kepalanya menoleh ke kanan, menatap James yang duduk di kursi pengemudi.
“Ayo jalan, Jam.”
“Ok.” James lalu menyalakan mesin mobilnya, lalu melajukan mobil itu keluar dari pintu gerbang rumah Christian.
Dalam perjalanan menuju rumah Jenny, Christian terus saja membayangkan wajah cantik Jenny. Gadis yang sangat dirinya rindukan selama seminggu lebih.
“Rob, kita mampir ke toko kue dulu ya. Aku mau beli kue buat Jenny.”
“Baik, Den.” Robert melirik ke arah James yang sudah menganggukkan kepalanya.
Sesampainya di toko kue, bukan Christian yang keluar dari mobil untuk membeli kue, melainkan Robert. Christian berpesan untuk membeli kue keju dan coklat, karena dia memang tidak tau kue kesukaan Jenny itu apa.
Christian menunggu di dalam mobil bersama dengan James. Mereka saling diam dan tak saling bicara satu sama lain. Mungkin karena selama ini Christian lebih dekat dengan Robert daripada James.
Christian menatap keluar jendela, melihat orang yang keluar masuk ke toko kue itu. Hingga kedua matanya melihat sosok yang sangat dikenalnya. Tapi, ia sama sekali tak berniat untuk menyapa wanita itu.
“Den, bukannya itu Non Nadia?” tanya James sambil menengok ke belakang menatap ke arah Christian.
“Hem, jangan kamu sapa dia. Aku gak mau bicara sama dia.”
James mengangguk mengerti. “Baik, Den.”
Christian melihat Nadia yang sudah masuk ke dalam mobilnya, lalu melajukan mobilnya pergi dari area parkir toko kue itu.
Robert sudah membawa kotak kue pesanan Christian, lalu membuka pintu mobil, masuk ke dalam mobil. Meletakkan kotak kue itu ke atas dashboard. Ia lalu meminta James untuk melanjutkan perjalanan.
“Rob, selama aku di rumah sakit, apa kamu mengawasi gerak gerik Bastian?” Christian memang meminta pengawalnya itu untuk mengawasi semua gerak gerik Bastian.
Bukan karena Christian curiga Bastian akan menusuknya dari belakang, tapi ia hanya ingin tau, apa saya yang Bastian lakukan saat bersama dengan Jenny, karena memang dirinya yang meminta Bastian untuk bersandiwara menjadi dirinya saat dirinya dirawat di rumah sakit.
Bastian hanya tak ingin sampai Jenny merasa kesepian saat dirinya tak bisa datang menemuinya. Untuk itu dirinya meminta Bastian untuk menggantikan tugasnya menjaga wanita yang sangat dicintainya itu.
“Den Bastian setiap siang mendatangi Nona Jenny, Den. Mereka hanya mengobrol di depan teras dan tidak pergi kemana-mana. Itu pun hanya sampai jam makan siang habis, Den Bastian kembali ke kantor.”
Christian mengangguk mengerti mendengar laporan dari pengawal pribadinya itu. “Kamu hentikan mengawasi Bastian, karena aku sudah tak memintanya untuk menemui Jenny lagi.”
“Baik, Den.”
Sesampainya di rumah Jenny, Christian tak melihat Jenny ada di depan teras rumahnya. Ia memutuskan untuk keluar dari mobil, melangkah masuk ke dalam halaman rumah Jenny.
Tak lupa dirinya membawa kotak kue dan paper bag yang memang dirinya siapkan untuk Jenny. Christian mempunyai hadiah kecil untuk gadis yang dicintainya itu.
Rumah sederhana dengan dinding bercat kuning itu, terlihat begitu sepi, seakan menandakan kalau penghuni rumah itu sedang tidak ada di rumah.
“Apa Jenny pergi ya?” Christian menekan bel yang ada di dekat pintu.
Lima menit berlalu, pintu tak kunjung dibuka dari dalam. Christian kembali menekan bel itu, berharap kali ini sang pemilik rumah akan membukakan pintu untuknya, karena ia sudah tak sabar ingin melihat wajah gadis yang begitu sangat dirindukannya.
Christian menatap paper bag dan kotak kue yang ada di tangannya. “Lebih baik aku tunggu disini saja, siapa tau dia cuma keluar sebentar dan akan segera kembali.”
Christian lalu mendudukkan tubuhnya di kursi yang ada di teras depan itu, meletakkan paper bag dan kotak kue yang dibawanya ke atas meja, lalu tatapannya menatap sekeliling halaman rumah Jenny.
Sementara itu, saat ini gadis yang tengah ditunggu oleh Christian tengah duduk di bangku taman sendirian. Jenny merasa jenuh di rumah sendirian, untuk itu ia memutuskan untuk pergi ke taman yang tak jauh dari rumahnya.
“Lebih baik aku pulang, aku sudah terlalu lama disini.” Jenny lalu beranjak dari duduknya, ia pakai tongkatnya sebagai matanya.
Orang-orang yang tinggal di sekitar rumah Jenny, yang dekat dengan area taman itu, semuanya mengenal Jenny. Pasti akan ada satu atau dua orang yang selalu membantu Jenny saat ingin menyeberang jalan.
Sesampainya di rumahnya, tongkat yang Jenny pakai, tak sengaja menyentuh badan mobil Christian. Gadis itu penasaran dengan siapa pemilik mobil yang telah memarkirkan mobilnya di depan rumahnya.
James yang melihat Jenny dari balik kaca spion samping, lalu menyenggol lengan Robert, hingga membuat pria bertubuh kekar itu menoleh kepadanya.
“Bukannya itu Nona Jenny?”
Robert membuka pintu mobil, lalu melangkah keluar dari mobil, berjalan memutari mobil untuk sekedar menyapa Jenny.
“Selamat siang Nona Jenny,” sapa Robert dengan tersenyum ramah, meskipun Jenny tak akan bisa melihat senyumannya.
“Siang. Maaf, anda siapa ya? kenapa anda bisa mengenal saya? Kenapa anda memarkirkan mobil anda di depan rumah saya?”
“Saya Robert, Nona Jenny. Saya pengawal Den Christian.”
Mendengar nama Christian di sebut, membuat kedua sudut bibir Jenny tertarik membentuk sebuah senyuman.
“Apa Christian ada disini sekarang?” tanya Jenny dengan senyuman yang masih melekat di kedua sudut bibirnya.
“Iya, Nona Jenny. Den Christian sudah menunggu Nona sejak tadi. Mari saya bantu untuk ….”
“Tidak perlu, terima kasih untuk tawarannya, tapi saya bisa sendiri,” tolak Jenny secara halus, ia tak ingin dipandang lemah. Ia akan tunjukkan kepada semua orang, meskipun dirinya buta, dirinya masih bisa melakukan apapun seorang diri.
“Baik, Nona Jenny. Maaf, saya tidak bermaksud untuk menyinggung anda. Saya hanya ingin membantu, karena bagaimanapun Nona Jenny adalah orang yang sangat berarti untuk Den Christian.”
“Saya bisa mengerti kok, Pak. Tapi saya benar-benar bisa sendiri. Kalau begitu saya permisi,” pamit Jenny lalu kembali menggerakkan tongkat yang dibawanya ke kanan dan kiri.
Jenny sudah sangat hafal dengan jalanan yang ada di sekitar rumahnya sampai ke taman. Ia tau harus berbelok ke arah mana untuk masuk ke halaman rumahnya.
Christian yang melihat kedatangan Jenny, langsung beranjak dari duduknya, bergegas menghampiri gadis itu.
“Jen, dari mana kamu? aku sudah hampir satu jam loh nungguin kamu disini.”
Jenny mengulum senyum, hanya bisa mendengar suara Christian saja sudah membuatnya bahagia. Pria yang kini sudah menjadi penghuni hatinya sudah jauh-jauh datang ke rumahnya. Tapi justru dirinya membuat pria itu menunggunya lama.
“Aku dari taman, habis suntuk di rumah. Kamu gak kasih tau aku kalau mau kesini.”
“Kita bicara sambil duduk aja, Jen,” ajak Christian dan mendapat anggukan kepala dari Jenny, mereka lalu melangkah menuju teras.
“Hati-hati.” Christian memegangi lengan Jenny, saat Jenny ingin menginjakkan kakinya di lantai teras.
Jenny mengulum senyum, lalu menganggukkan kepalanya, lalu diangkatnya kaki kanannya, lalu ditepakkan di lantai teras, setelah itu ia angkat kaki satunya dan melakukan hal yang sama.
Christian menggeser kursi yang akan Jenny duduki. “Duduklah,” tawarnya sambil membantu Jenny untuk duduk di kursi itu.
Christian lalu duduk di kursi satunya. “Aku sengaja datang kesini, karena ada yang ingin aku kasih ke kamu.”
Christian juga tak mungkin mengatakan kepada Jenny, kalau dirinya sangat merindukan gadis itu, karena hal itu akan membuat Jenny curiga padanya. Bastian sudah menggantikan dirinya beberapa hari ini.
“Apa itu, Chris?” tanya Jenny penasaran.
Christian mengambil paper bag yang ada di atas meja, lalu beranjak berdiri, menggeser meja bundar yang menjadi jarak antara kursi yang didudukinya dengan kursi yang Jenny duduki.
Christian lalu menarik kursinya dan meletakkannya di samping Jenny, lalu mendudukkan tubuhnya di kursi itu. Ia lalu membuka paper bag yang dibawanya, dan mengeluarkan sebuah kotak dari dalam paper bag itu.
“Aku harap kamu suka.” Christian meletakkan paper bag itu ke atas meja, lalu bergantian meletakkan kotak yang ada di tangannya ke kedua telapak tangan Jenny.
Jenny meraba-raba kotak itu. “Ini apa, Chris?”
Christian lupa, kalau Jenny tak akan bisa membuka kotak itu, ia lalu mengambil kotak itu dari tangan Jenny.
“Aku bantu buka ya?” Christian lalu membuka kotak itu, mengeluarkan sebuah ponsel keluaran terbaru.
Christian lalu meletakkan ponsel itu ke telapak tangan kanan Jenny. “Ponsel buat kamu, agar kita bisa saling berhubungan kalau kita gak bisa ketemu seperti ini.”
“Ponsel? Tapi kamu kan tau aku gak bisa ….”
“Ponsel itu beda, Jen. Aku akan kasih kamu tau cara pakainya. Sebentar.” Christian lalu mengambil ponselnya dari dalam saku celananya, lalu menyalakannya dan mencari kontak nomor yang dirinya pasang di ponsel Jenny.
Ponsel yang ada di tangan Jenny mulai berdering saat Christian melakukan panggilan telepon.
“Sekarang coba kamu tekan bagian kiri bawah.”
Jenny mengangguk, lalu meraba-raba layar ponsel itu, lalu menekan pada tempat yang tadi Christian pinta.
“Tempelkan di telinga kamu, Jen.”
Jenny menurut, menempelkan benda pipih itu di telinganya.
“Halo, Jen, ini aku Christian.”
Jenny mengulum senyum, saat mendengar suara Christian yang juga terdengar dari benda pipih itu.
Christian lalu mengakhiri panggilan itu, meletakkan ponselnya ke atas meja, lalu kembali menatap ke arah Jenny.
“Itu tadi nomor aku. Kalau ponsel itu berdering, itu artinya aku yang menghubungimu, karena dalam ponsel itu hanya ada nomorku.”
Juga nomor Bastian, tapi kamu gak akan tau, Jen. Bastian akan menghubungi kalau sedang dalam keadaan darurat untuk menggantikan aku.
Jenny meraba-raba ponsel yang ada di tangannya. “Tapi kamu gak perlu kasih ini ke aku, Chris. Kita kan bisa terus bertemu.”
“Hanya untuk jaga-jaga aja, Jen. Gimana kalau malam aku kangen sama kamu dan ingin mendengar suara kamu? gak mungkin kan aku datang ke rumah kamu?”
Kedua pipi Jenny bersemu merah, dan itu tak luput dari tatapan Christian. Kedua sudut pria itu tertarik membentuk sebuah senyuman. Dia tau kalau gadis yang dicintainya tengah tersipu malu.
Christian memberanikan diri untuk menggenggam tangan Jenny.
Jenny hanya diam, entah mengapa genggaman tangan Christian terasa berbeda dengan biasanya. Tapi ia tetap menunjukkan senyuman di wajahnya. Ia bahagia, Christian datang menemuinya lagi, sesuai dengan janjinya kemarin.
“Jen, ada yang ingin aku katakan sama kamu.”
Christian terkejut, saat melihat Jenny yang justru beranjak dari duduknya, membuat genggaman tangannya terpaksa terlepas.
“Ada apa, Jen?” tanya Christian penasaran dan ikutan beranjak dari duduknya.
Christian takut Jenny akan masuk ke dalam rumahnya dan meninggalkannya sendirian. Tapi, yang ia lihat Jenny justru menghadap ke arahnya, lalu mencoba untuk menyentuh wajahnya dengan kedua tangannya.
“Jen, apa kamu masih curiga sama aku?”
Jenny menggelengkan kepalanya, membuat Christian semakin mengernyitkan dahinya karena rasa penasarannya.
“Terus kenapa kamu meraba-raba wajahku? Bukannya kamu ingin memastikan kalau aku ini benar-benar Christian?”
Jenny kembali menggelengkan kepalanya, karena bukan itu tujuan dirinya meraba-raba wajah Christian.
“Jen, ada apa? jangan buat aku penasaran?” tanya Christian dengan rasa penasaran yang semakin tinggi.