Setelah selesai makan malam, Bastian menepati janjinya untuk mengantar Christian ke rumah Jenny. Nadia yang sejak tadi merengek ingin ikut, mau tak mau dirinya ajak ke rumah Jenny, meskipun Christian tak setuju dengan keputusannya itu.
Bastian menghentikan mobilnya tepat di depan pagar rumah Jenny. Rumah itu tampak sepi saat malam hari, bukan hanya malam hari saja sih, karena rumah itu memang selalu tampak sepi karena Jenny jarang keluar rumah kalau ibunya sedang pergi bekerja.
“Apa kita sudah sampai? Kok kalian gak turun?” tanya Nadia sambil mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap Bastian dan Christian secara bergantian. Pasalnya kedua pria itu tetap diam dengan kedua mata menatap ke arah rumah Jenny.
“Kamu ini ya, dari tadi cerewet banget sih! Kamu disini aja, gak usah ikut turun!” kesal Christian kepada Nadia yang sejak dari rumah tadi terus saja berisik.
“Gak, aku mau turun pokoknya, kalau kamu gak mau turun, biar aku saja yang turun dan menemui kekasihmu itu.”
Christian membulatkan kedua matanya saat melihat Nadia yang sudah membuka pintu mobil dan melangkah keluar dari mobil.
“Dasar keras kepala! Bisa-bisanya Mama mau jodohin aku sama cewek bar-bar kayak dia!” kesal Christian dengan wajah memberengut kesal.
Bastian hanya geleng kepala, sejak tadi Christian sama Nadia sudah seperti Om dan Jerry, sama sekali tak bisa akur.
“Chris, kamu gak turun? Sampai kapan kita akan tetap disini?”
Christian menatap pintu rumah Jenny yang mulai terbuka dengan perlahan. Jenny melangkah keluar dari rumahnya menggunakan tongkat penunjuk jalannya.
“Jenny mau kemana ya?” Christian lalu membuka pintu, melangkah keluar dari mobil.
“Chris, kekasihmu mau pergi kemana tuh?” Nadia menatap ke arah Jenny yang melangkah menuju pagar rumahnya.
“Kamu disini saja, awas saja kalau sampai kamu bikin ulah!” ancam Christian lalu membuka pintu pagar rumah Jenny yang memang tidak digembok.
“Jen,” sapa Christian yang kini sudah berada di depan Jenny.
“Christian! Kamu Christian kan?” Jenny meraba wajah Christian.
“Hem. Kamu mau kemana malam-malam begini?” Christian menurunkan kedua telapak tangan Jenny yang meraba-raba wajahnya.
“Kamu sudah sembuh? Bukannya tadi kamu bilang kalau kamu lagi flu?” dahi Jenny mengernyit bingung.
“Ah ... i-iya, a-aku masih flu kok,” ucap Christian sambil menoleh ke belakang menatap ke arah Bastian yang saat ini tengah bersandar di badan mobil dengan melipat kedua tangannya di depan dadanya.
Nadia menoleh ke arah Bastian yang saat ini berdiri di sampingnya. “Hebat juga ya kamu, bisa menyamar sebagai Christian tanpa ketahuan sama si Jenny.”
“Apa kamu gak nyadar, kalau suara aku sama Christian itu hampir mirip? Jadi itu soal mudah buat aku.”
“Iya sih, aku baru nyadar. Wajah kalian juga mirip, padahal kalian bukan saudara kandung.”
“Apa kamu lupa kalau ....” kedua mata Bastian membulat dengan sempurna, saat melihat Nadia yang saat ini tengah melangkah mendekati Christian dan Jenny.
“Dasar itu cewek! Awas saja kalau dia sampai bikin ulah dan membongkar penyamaran aku tadi!” Bastian bergegas menyusul Nadia untuk menemui Christian dan Jenny.
“Hai, Jen. Kenalin aku Nadia,” ucap Nadia sambil mengulurkan tangannya ke arah Jenny.
“Apa yang kamu lakukan, hah!” seru Christian terkejut dan langsung menarik tangan Nadia.
“Chris, kamu kesini gak sendirian?”
Nadia menepuk keningnya sendiri. “Astaga! aku lupa Chris, kalau cewek kamu ini bu ... ta,” ucapnya dengan menyunggingkan senyumannya.
Bastian menarik tangan Nadia dan membawanya pergi dari tempat itu. “Apa yang kamu lakukan, hah! Jadi ini alasan kamu ikut kita kemari, hah!” teriaknya keras sambil menghempaskan tangan Nadia.
“Memangnya aku salah bicara? Bukannya aku hanya bicara kenyataan, kalau Jenny itu memang buta! Kamu ini bodoh atau gimana sih, Bas? Yakin kamu akan mendukung hubungan mereka? Kamu gak lupakan kalau Christian itu mempunyai penyakit jantung?”
Nadia lalu menatap ke arah Christian yang tengah bicara dengan Jenny, ia tau, kalau kata-katanya tadi sudah menyakiti hati Jenny. Mungkin gadis itu saat ini tengah bersedih, sehingga Christian mencoba untuk menghiburnya.
“Apa jadinya kalau mereka benar-benar bersama nanti? Christian tak bisa mengurus dirinya sendiri, begitu juga dengan Jenny. Lalu bagaimana mereka akan menjalani hidup mereka nanti? apa kamu berpikir sampai ke arah situ, Bas?” kini Nadia kembali menatap ke arah Bastian.
Bastian menatap ke arah Christian yang saat ini tengah mengajak Jenny duduk di kursi yang ada di teras. Ia senang melihat sepupunya itu bahagia.
Tapi, apa yang Nadia katakan memang benar, karena mereka tak akan bisa bergantung satu sama lain, karena kondisi mereka yang memang tak memungkinkan untuk itu.
Mereka bahkan masih membutuhkan bantuan orang lain untuk melakukan sesuatu. Mereka tak bisa mengerjakan sesuatu sendiri, terlebih lagi Christian, karena ia tak boleh terlalu lelah.
“Aku ingin melihat Christian bahagia, jadi aku akan selalu ada disampingnya. Aku akan lakukan apapun untuk membantunya agar bisa selalu bersama dengan Jenny.”
“Ck, itu sama saja kamu membuat mereka menderita. Terlebih lagi Jenny gak tau kalau Christian itu punya penyakit jantung.”
“Kamu gak usah ikut campur urusan mereka, kalau sampai kamu mengganggu mereka lagi kayak tadi, kamu akan berurusan denganmu. Christian juga sudah menolak perjodohan itu, tapi kenapa kamu masih mendekatinya?”
“Kamu tenang saja, aku juga gak setuju dengan perjodohan itu, karena sebenarnya aku juga sudah punya kekasih. Tapi, entah mengapa aku ingin lebih mengenal Christian, setelah aku tau kalau dia punya penyakit jantung?”
Bastian menoleh ke arah Nadia. “Kamu mengasihani Christian?” tanyanya sambil mengernyitkan dahinya.
“Bisa dibilang begitu.” Nadia lalu menatap ke arah Bastian.
“Bukannya kamu juga begitu? Bukannya kamu berada di samping Christian karena kamu mengasihaninya?” tanyanya kemudian.
“Jangan asal nuduh kamu! aku melakukan semua itu bukan karena kasihan, tapi karena aku peduli, aku sayang sama Christian.”
“Ck, sama aja.”
Nadia lalu membuka pintu mobil. “Lebih baik aku tiduran di dalam, daripada harus memantau orang lagi pacaran!” kesalnya lalu masuk ke dalam mobil.
Sementara itu, saat ini Christian masih terus membujuk Jenny untuk memaafkan Nadia. Dirinya juga tak menyangka, Nadia akan berkata seperti itu kepada Jenny. Di depannya lagi.
“Chris, lebih baik kamu pergi deh. Aku gak ingin kamu menyesal nanti, karena sudah berteman dengan orang buta sepertiku.”
“Jen, please, maafin aku. Aku benar-benar gak tau, kenapa Nadia bisa berkata seperti itu. Aku akan marahi dia nanti, tapi tolong, jangan usir aku.”
Jenny menghela nafas panjang. “Kenapa kamu mau berteman dengan orang buta sepertiku, Chris? Aku hanya akan membuat kamu malu.”
“Sudah aku bilang waktu itu, aku mau berteman sama kamu itu, aku gak mandang fisik kamu. Aku berpikir kamu itu wanita baik dan pantas untuk menjadi temanku.”
Jenny terkejut, saat dirinya merasakan kalau tangannya digenggam oleh Christian.
“Chris ....”
“Aku mohon, Jen. Tetaplah jadi temanku, karena aku gak punya teman selain kamu dan Bastian.”
“Hah! Kok bisa!”
“Em ... karena aku ... aku tipe orang yang sulit untuk dekat dengan orang lain.” Christian sekali lagi harus berbohong kepada Jenny, karena ia tak ingin gadis itu menjauh darinya, saat dia tau tentang penyakitnya.
Terdengar suara dari dalam rumah. Ternyata ibunya Jenny yang tengah memanggil-manggil nama Jenny.
“Iya, Bu. Aku ada di luar,” sahut Jenny masih dengan posisinya duduk di kursi yang ada di depan terasnya.
Susan melangkah keluar rumah, melihat Jenny yang tengah duduk di kursi teras bersama dengan Christian.
“Loh, ada Nak Christian juga? Kok gak bilang sama Ibu, Jen? Kan Ibu bisa buatkan minum.”
Susan lalu menatap ke arah mobil yang terparkir di depan pagar rumahnya. “Loh, kok teman kamu gak kamu aja kesini, Nak Christian?”
“Siapa, Bu? Apa dia wanita?” tanya Jenny dengan jantung berdebar. Ia tak ingin sampai bertemu dengan Nadia lagi, karena sampai detik ini ucapan Nadia tadi masih bisa dirinya ingat dengan sangat jelas.
“Bukan, dia itu seperti ....” Susan mencoba untuk mengingat siapa pemilik wajah yang tak asing menurutnya.
“Bastian, Tante. Dia Bastian, sepupu saya,” ucap Geo dengan menepiskan senyumannya.
“Loh, Chris, kamu sama Bastian juga? Kok gak kamu ajak kesini? kasihan dia, sendirian disana.”
“Gak kok, Jen. Dia sama Nadia. Wanita yang tadi. Mungkin sekarang Nadia ada di dalam mobil.”
“Gak boleh gitu, Nak Christian. Biar Tante ajak mereka kesini.” Susan lalu melangkah menuju mobil Bastian.
Bastian yang melihat ibunya Jenny melangkah mendekat, langsung menegakkan tubuhnya.
“Selamat malam, Tante,” sapanya dengan senyuman di wajahnya.
“Selamat malam, Nak Bastian. Kok malah menunggu disini, ayo masuk ke rumah Tante, disini dingin loh Nak Bastian.”
“Baik, Tante. Maaf, karena sudah bertamu malam-malam. Christian ingin bertemu dengan Jenny. Oya, Tan. Soal pagi tadi, saya harap, Tante gak akan menceritakannya kepada Jenny. Saya hanya ingin membantu sepupu saya, dan gak ada niat jahat kepada Jenny.”
Susan mengulum senyum. “Tante tau, Nak Bastian. Saat Nak Bastian pergi tadi, Jenny terlihat sangat bahagia. Berkat Nak Bastian dan Nak Christian, kini Tante bisa melihat kembali senyuman Jenny.”
“Maafkan saya, Tante. Saya gak bermaksud untuk membuat Tante sedih,” ucap Bastian tak enak hati.
“Enggak kok, Nak Bastian. Lebih baik kita ke rumah, Tante akan buatkan minuman hangat untuk kalian. Mari.” Susan melangkah lebih dulu menuju rumahnya.
Sedangkan Bastian membuka pintu penumpang belakang, berniat untuk mengajak Nadia gabung bersamanya di rumah Jenny. Tapi ternyata gadis itu sudah tertidur lelap.
“Dasar! Malah molor! Ya sudah deh, aku tinggal saja. Disini dingin juga.”
Bastian lalu melangkah menuju rumah Jenny, ia melihat Christian dan Jenny yang sudah beranjak dari duduknya dan bersiap untuk masuk ke dalam rumah atas permintaan ibunya Jenny.
Bastian mendudukkan tubuhnya di samping Christian. Ia tak akan banyak bicara, karena dirinya takut, Jenny akan mengenali suaranya. Ia memilih untuk menjadi pendengar saja antara Christian dan Jenny.
“Silahkan diminum ya Nak Bastian dan Nak Christian. Maaf, hanya ada ini di rumah ini. Maklum, tanggal tua, Tante belum gajian,” ucap Susan dengan nada bercanda sambil meletakkan tiga cangkir teh hangat di atas meja.
“Maaf sudah merepotkan Tante. Saya jadi gak enak hati,” ucap Christian merasa tak enak hati karena sudah merepotkan ibunya Jenny.
“Tante gak merasa direpotkan kok, Nak Christian, lagian cuma teh aja. Silahkan diminum, mumpung masih panas. Kalau begitu Tante tinggal ke dalam dulu ya, Nak Christian dan Nak Bastian.”
“Iya, Tante. Terima kasih untuk minumannya,” ucap Christian dengan senyuman di wajahnya.
“Sama-sama, Nak Chris. Kalau begitu Tante tinggal dulu,” ucap Susan lalu melangkah pergi dari ruangan itu.
Bastian dan Christian mengambil secangkir teh panas itu dari atas meja. Meniupnya secara perlahan, lalu menyesapnya sedikit demi sedikit, karena teh itu masih sangat panas.
Sementara Jenny, hanya diam dengan tatapan mengarah ke depan. Tatapannya terlihat kosong, karena ia memang tak bisa melihat apa-apa selain kegelapan.
“Jen, teh buatan ibu kamu ternyata enak banget ya. Iya gak, Bas?” Christian menoleh ke arah Bastian yang masih menyesap teh buatan ibunya Jenny itu.
“Hem. Rasanya pas,” ucap Bastian sambil mengacungkan ibu jarinya.
“Chris, tadi yang bicara siapa? Apa itu Bastian?”
“Hem, memangnya kenapa, Jen?”
“Kenapa suaranya seperti familiar ya? suaranya seperti suara kamu?”
Kedua mata Bastian dan Christian sama-sama membulat dengan sempurna.
“Sial!” umpat Bastian dalam hati.
Sementara itu di dalam mobil, Nadia sudah bangun dari tidurnya. Tapi, saat dirinya keluar dari mobil, dirinya terkejut saat tak melihat ada siapapun disana.
“Astaga! aku ditinggal sendirian nih disini! Mereka pasti ada di dalam!”
Nadia bergegas berjalan menuju rumah Jenny. Untung pintu rumah itu terbuka, jadi dirinya tak perlu mengetuk pintu itu. Tapi, saat melangkah masuk ke dalam rumah itu, dirinya terkejut saat melihat situasi di dalam ruangan itu.
“Ada apa ya ini? kok pada diam?”
Suara Nadia membuat Bastian dan Christian mengalihkan tatapan mereka ke arah Nadia yang tengah berdiri di depan pintu.
“Chris, kenapa kamu diam? ada apa ini?” tanya Jenny lagi.
“A-apa maksud kamu, Jen? Aku benar-benar gak mengerti. Suara siapa yang sama seperti suaraku? Bastian maksud kamu? gak kok, suara aku sama Bastian itu beda. Iya kan, Bas.”
“Hem. Kamu salah mendengar kali, Jen. Ya kali suara aku sama Christian sama, yang ada kamu gak akan bisa membedakan kami dong nanti.” Bastian terpaksa harus mengubah volume nada bicaranya. Kali ini nada bicaranya tak seperti tadi. Kali ini lebih terdengar ngebass.
“Tapi tadi suara kamu gak kayak gitu, Bas. Masa aku yang salah dengar sih? Aku memang buta, tapi aku gak tuli.”
Nadia melihat ada masalah besar yang saat ini tengah menimpa Bastian. Ia tak ingin ada perdebatan antara Bastian dan Jenny yang tentunya akan mempengaruhi kondisi Christian.
“Bas, temani aku yuk, aku lapar nih.”
“Ah ... ok. Sorry ya, Chris, aku pergi dulu.” Bastian lalu beranjak dari duduknya, lalu melangkah keluar dari rumah Jenny.
“Chris, aku yakin kok, tadi suara Bastian gak kayak gitu.” Jenny masih yakin, kalau suara Bastian itu sangat familiar di telinganya.
“Sudahlah, Jen. Lagian kamu kan jarang ngobrol sama Bastian. Jadi aku pikir kamu memang salah orang. Dari dulu suara Bastian memang seperti itu, rada ngebass gitu. Kamu kira aku bohong sama kamu?”
“Bu-bukan begitu, Chris. Hanya saja ... aku yakin banget, kalau suara tadi itu sangat familiar di telinga aku.”
Christian tak ingin semakin memperpanjang masalah ini. Malam juga semakin larut, dirinya harus segera pulang dan beristirahat untuk menjaga kondisinya agar tetap fit.
“Jen, sudah malam, aku pulang dulu ya, besok aku kesini lagi.”
Jenny menganggukkan kepalanya. “Chris, kamu gak marah sama aku kan?”
“Gak, Jen. Kenapa aku harus marah? Aku tau, kamu pasti juga lelah, jadi kamu salah dengar tadi.”
“Tapi aku ....”
“Sudahlah, Jen. Aku gak ingin memperpanjang masalah ini. Lagian gak penting juga. Oya, aku mau pamit sama ibu kamu, bisa kamu panggilkan?”
Jenny menghela nafas panjang. “Kamu tunggu disini, aku panggilkan dulu,” ucapnya lalu beranjak dari duduknya.
Jenny melangkah pergi dari tempat itu dengan bantuan tongkat yang ada di tangannya untuk melangkah menuju tempat ibunya berada disini.
Sementara itu, di dalam mobil, Bastian terus mengumpat, merutuki kebodohannya. Karena ulah dirinya, mungkin saat ini sepupunya itu sedang dalam masalah.
Bastian melihat Christian yang tengah membuka pintu penumpang depan. “Gimana, Chris? Apa Jenny percaya dengan kata-kataku tadi?”