-22-
Tika mengendap-ngendap menuju kamarnya yang ada di lantai atas, ia takut kalau ayah atau ibunya memergokinya. Setelah semalam menginap di rumah Rika, pagi ini Tika memutuskan untuk pulang dengan diantar Rika.
"Baru pulang?" tegur om Angga dari belakang. Tika sempat kaget, tapi ia urung untuk berbalik, ia hanya diam mematung.
Ayahnya menghela napas, lalu menuju puterinya yang bergeming di ujung tangga atas. Perlahan Tika merasa sebuah sentuhan kain yang disampirkan ke bahunya. Tika merunduk dan kemudian tercekat saat mengetahui kain apa itu.
"Lain kali jangan ditinggal di rumah cowok," ujar om Angga sambil berlalu turun.
Tika mengulum senyum, di detik berikutnya ia membelalak kaget, ia baru sadar apa yang terjadi. "Jadi ... Papa ke rumah Abim?!"
°°°
"Dari mana aja, lo?" tanya Dian yang sudah berada di dalam kamar Tika.
"Kak Dian ngapain di sini? kayak nggak punya kamar aja," sindir Tika sambil menutup pintu. Ia duduk di tepi ranjang, lalu merebahkan tubuhnya. "Kayak ada yang kurang, deh."
"Elah Tik ... Gue pinjem laptop lo bentar. Males kalau harus bolak-balik," jawab Dian dengan tangan masih sibuk. "Tik, hp lo bunyi tuh." Dian mengingatkan karena melihat si pemilik hp yang sedang melamun. Tika mendesah dan segera menggeser layar tanpa melihat nama yang tertera.
"Halo?"
"Eh, kaca mata, lo di mana?" sungut orang di seberang sambungan.
Tika tahu benar, orang yang berani memanggilnya begitu hanya Abim. "Gue di rumah lah!"
Abim mendecak. "Terus, kucing elo?"
Tika melebarkan matanya, ia lupa kalau kucingnya ia tinggal di rumah Abim. "Anterin donk," pinta Tika.
"Gue nggak bisa, ini hari Minggu, gue sibuk."
Tika mengerucutkan bibirnya. "Bukanya elo mau tidur? Lo kan udah 'main' semaleman." Tika mendudukkan tubuhnya.
"Lo masih aja percaya sama Teteh."
Tika menoleh ke arah Dian yang diam-diam menguping.
"Gue enggak bisa ke luar semaleman!"
"Tumben."
Abim menghela napas berat. "Gara-gara bokap elo, bertamu nggak kira-kira, sampe jam 4, you know?"
Tika membelalak. "Bo-bokap gue? Ngapain dia nginep di rumah elo?"
"Mana gue tahu, berantem kali, sama nyokap elo. Eh, udah, ya, kalau lo nggak mau ambil, besok-besok deh gue anterin, kalau gue mood tapi." Abim memutuskan sambungan sepihak, membuat Tika mendumel tak jelas, Dian hanya terkikik geli.
~~~
Hari Minggu itu hanya ibarat satu jam, dan Senin itu ibarat satu hari. Baru saja Reza merasakan indahnya hari Minggu bersama gebetan, kini ia sudah disuruh berpanas-panasan di lapangan. "Masih lama nggak sih?" gerutunya.
"Bentar lagi, paling 45 menitan," jawab Edo yang ada di barisan depannya.
"Kenapa sih, upacaranya nggak-"
"SHT!" potong Geo yang ada di sampingnya. "Please ya, Za. Gue udah pusing gara-gara panas, elo nggak usah nambah-nambahin, kesiksa kuping gue!"
Reza mengumpat lirih, sebelum mendengus pelan, indera penciumannya tiba-tiba terganggu sebuah bau menyegat. "Do, lo mandi kembang, ya?" Reza menutup hidung sambil mendorong Edo pelan.
"Ngaco lo! Gue mah mandi biasa kali," lirih Edo yang juga ikut mencium bau tersebut. "Gila! Ini bau kamboja, kan?" sambungnya seraya mengibas-ngibaskan tangan di depan hidung.
Beberapa anak lain juga mencium bau yang sama, bahkan makin menyengat. Sebagian wajah mereka terlihat pucat lantaran tak tahan dengan bau tersebut, bahkan ada yang pingsan. Pembina upacara dan dewan guru sampai kelabakan. Dari kejauhan, seorang satpam hanya melihat dengan heran.
"Tumben upacaranya bisa sampai gitu." Salah seorang satpam yang lain ikut megangguk setuju. "Mereka ngapain, ya?" tanyanya lagi.
"Mas Jono!" teriak seorang guru yang mendekat, guru tersebut juga terlihat pucat, membuat satpam bernama pak Jono dan temannya segera beranjak.
"Eh, i-iya, ada apa pak Amir?" tanya mas Jono sambil mendekat. Ia membenarkan topinya yang tadi miring ke samping.
"Mas Jono sama pak Agus tolong bantuin bawa anak-anak ke UKS," titah pak Amir, mas Jono segera mengangguk mantap, diikuti oleh pak Agus.
"Pak itu pak, temen saya!"
"Pak! Pak Agus tolongin ..."
"Mas Jono!"
"Sini mas, tolongin!!"
Teriakan memanggil dari para murid yang hampir bersamaan, terdengar seperti dengungan lebah. Tak sampai di situ, anak-anak yang tadi kelihatan pucat, lekas memuntahkan isi perut mereka, menambah kekacauan yang entah kapan selesainya.
°°°
Penuh, ramai, sesak dan berisik. Susana UKS yang dipadati oleh para murid SMA Bintang, tentu saja UKS tak akan muat untuk menampung sekitar 211 siswa.
Staff guru menyulap gedung basket indoor yang jaraknya paling dekat dengan lapangan menjadi UKS dadakan. Ada beberapa ambulance di halaman sekolah, terparkir dengan manis. Pak Malik selaku kepala sekolah mengurut pangkal hidung, pusing!
Ia bingung, juga penasaran. Mas Jono melihat pak Malik dengan iba, ia lalu menghampiri pria yang tengah duduk di bangku penonton sendirian. "Minum dulu, pak." Mas Jono menyodorkan sebotol air mineral yang dibawanya. Pak Malik mengangguk, lalu menerima botol tersebut dengan lemah.
"Duduk dulu, mas. Mas Jono pasti capek, dari tadi bantuin ngangkat anak-anak yang pingsan."
Mas Jono terkekeh, lalu ia duduk di samping pria awal 40 an yang tengah menegak air dengan tenangan. "Enggak juga kok, pak. Saya cuma capek badan, kalau bapak kan capek badan sama batin," ungkap mas Jono tanpa malu, pak Malik terkekeh menanggapi satpam mudanya. "Tapi untung nggak sampai pingsan semua ya, pak."
Pak Malik mengangguk. "Saya malah lega kalau banyak anak yang bolos hari ini."
Mas Jono menoleh sesaat. "Yah ... Kadang-kadang bolos bisa jadi berkah," tukas mas Jono menerawang langit-langit. "Tapi saya heran, tadi pak Amir bilang semuanya nyium bau kamboja."
Pak Malik mengangguk membenarkan.
"Tapi pak, saya, pak Agus, buk Rofi yang ada di kantin sama dua petugas gerbang belakang nggak nyium apapun tuh."
Pak Malik membelalak, mulutnya terbuka sedikit. "Pa-pas di lapangan, mas Jono nyium bau kamboja apa enggak?" tanya pak Malik hati-hati, ia harap hanya masalah jarak.
"Enggak, sama sekali nggak tercium."
~~~
Masih ingat Dika? Kalau enggak, saya ingatkan.
Dika adalah salah seorang anggota klub futsal, selain Abim dan Anam. Ia cukup rajin dan bertalenta, digadang-gadang akan jadi go captain yang sayangnya sudah di tempati oleh Reno.
Hari ini Dika sengaja datang telat, karena ia sangat malas untuk melaksanakan kegiatan upacara.
Dika mengendap-endap melalui gedung belakang, berjalan pelan tanpa suara dengan gerakan lincah, ia sudah terlatih untuk itu. Tinggal beberapa puluh meter sampai belokan yang tak jauh dari kelasnya.
Ia berhenti tepat di depan gudang lama yang sudah tak terpakai, telinganya menangkap senandung yang terdengar familier.
"Tembang?!" bantinnya sedikit ragu.
Dika mendekat ke arah pintu masuk, suara tembang yang menghentikan langkahnya semakin lama semakin lirih. Dika mendorong pintu.
"Bangke, pakek dikunci segala, anjir!" gerutunya, ia berjalan ke sisi gudang yang bersebelahan dengan pohon jati yang cukup besar, seingatnya ada jendela di sekitar sana. "Yuhu, halo, Cewek!" panggilnya sambil menempelkan dahinya ke kaca jendela. "Yang nembang tadi siapa woe!" Ia tak henti melirik ke dalam, setelah cukup lama, ia menyerah. "Malu mungkin," pikirnya. Setelah beberapa langkah menjauh, Dika berhenti mendadak.
"Kayaknya suaranya bukan dari dalem deh," Dika bermonolog. Dengan hati bergetar, cowok itu membalik tubuhnya dan mendongak.
Pandangannya terkunci ke atas pohon jati, tepatnya ke arah perempuan yang tengah tersenyum genit padanya. Jarang ada perempuan yang genit pada Dika, tapi kalau harus perempuan yang wajahnya hancur penuh darah, salah satu matanya hilang dan lehernya yang membusuk, Dika tak akan mau.