DUA SATU

1194 Kata
-21- Abim ke luar dari kamarnya setelah berganti dengan pakaian santai. Tangan kanannya tak henti mengelus gumpalan daging berbulu hitam di gendongannya. Bibirnya bersiul pelan, menyenandungkan lagu favorit sembari mengiringi langkah kakinya. Ia tadi sempat mendengar Tika memanggil, tapi ia hiraukan lantaran masih sibuk. Abim memelankan langkahnya saat menyadari lampu ruang tengah sudah menyala. Lalu, ia benar-benar menghentikan langkahnya, mulutnya menganga dan kedua alisnya terangkat tinggi-tinggi. "Dari mana aja elo?!" Abim masih bergeming. "Lo apain Tika sampai nangis gini, hah?" Abim bingung harus bicara apa, ia tak tahu apapun, sungguh! "Su-sumpah, gue gak apa-apain," sahut Abim agak panik, ia segera mendekat. Tika masih sesenggukan di sofa, tangisnya sudah agak reda dibanding yang tadi. "Teteh kali yang apa-apain." Abim duduk di lantai, tepat di samping kaki Tika yang masih meneteskan air mata sambil memeluk erat Rika. "Heh, Bim! kalau bukan karena gue, Tika mungkin udah pingsan!" omel Rika sambil mengusap lembut punggung Tika. Abim terhenyak, darahnya sedikit mendidih. Suara Rika yang sedikit meninggi jelas tak disukai oleh Abim. Menuduhnya tanpa tahu apa-apa? Abim bangkit, menjatuhkan kucing yang tadinya ada di pangkuannya. Matanya menatap Rika sengit. "Teteh kalau nggak tahu apa-apa mending diem!" Tika tercekat saat mendengar intonasi suara Abim yang sudah tak bersahabat. "Biarin Tika cerita," sambung Abim ketus. "U-udah Bim, lo enggak usah emosi," cicit Tika, ia tak ingin ada keributan yang tak perlu. Abim masih mematung, tangannya mengepal kuat. "Bim, please, udah!" Tika mencoba menenangkan dengan suaranya yang masih parau. "Ck, iya, iya!" decak Abim sebal, ia kembali duduk di lantai. Tika bisa sedikit bernapas lega. "Kenapa bisa nangis?" tanya Abim memecah keheningan. Tika menggigit bibir bawah, ia malau untuk mengakuinya. "Gu-gue ... takut," lirih Tika. Abim mendongak, antara tak percaya dan takjub. "Takut?" tanya Rika hati-hati. Tika mengangguk ragu. "Lo juga sih! dari tadi gue panggil gak nyahut. Rumah elo tuh serem, tahu nggak sih!" omel Tika sambil menarik telinga kanan Abim. Abim hanya meringis menahan sakit. "Ya sorry aja, gue kan lagi ganti, gak sampai lima menit lho, Tik." Meong! Tika membelalak, Abim juga dan Rika ... gadis itu sedikit menjauh dari Tika yang segera mengangkat kucing itu. "Pus, kok di sini sih?" tanya Tika pada kucing hitam yang kini digendongnya. "Kucing elo?" tanya Abim, ia sempat lupa dengan keberadaan kucing itu. Tika mengangguk. "Datang dari mana sih?" heran Abim. "Bi-bisa jauhin dikit enggak?" Rika semakin menjauh dari Tika yang menimang-nimang kucing itu seperti bayi. "Teteh takut kucing?" "Alergi," jawab Abim sambil merebut kucing itu dan membawanya menjauh. Tika sempat terkejut saat menyadari kucing itu tak mencakar seperti biasa. Rika menghembuskan napas lega. "Nggak pulang? udah malem lho." Pengalih perhatian, Rika tahu ekspresi tak biasa Tika saat Abim menjauh. Tika menggeleng lemah. "Nggak, Teh. Lagian aku udah ijin kok sama mama kalau mau nginep di rumah temen. Besok, kan, Minggu," jawab Tika. Tak mungkin, kan, kalau ia bilang kabur dari rumah karena ulah kakek dan ayahnya yang -menurut Tika- keterlaluan. Tika sudah besar, ia tak perlu dijaga, apalagi oleh orang yang sering membuatnya menangis, walau tak sengaja. "Mau nginep di mana?" tanya Rika lagi, kali ini dengan gestur anggun yang membuat beberapa lelaki memuja. "Belum tahu sih, tadinya mau nginep di rumah Dewi." Abim jengah dengan dialog kedua mahkluk yang ada di rumahnya. Sangat kalem jika didengar, namun kalau Abim ikut nimbrung, ia yakin kalau telinganya akan berdengung. "Cewek jadi-jadian," kekeh Abim. "Oh iya, Teteh bawa makanan, nih." Rika mengeluarkan sekotak kue dari plastik hitam yang ada di meja. Tika menerima dengan mata berbinar. "Titipan dari bunda, tadinya buat Abim, tapi nggak jadi. Buat Tika aja," sambung Rika. Abim menoleh seketika, matanya membulat sempurna. Aslinya ia tak terima diperlakukan seperti anak tiri begini, tapi kalau ia meminta, ia yakin Tika akan kembali menangis seperti tadi. "Tika belum tahu rumah Teteh, ya?" Tika menggeleng. "Rumah Teteh ada di sebelah lho." Abim menoleh sesaat, telinganya terasa geli saat kedua gadis itu ngobrol. Aneh saja. "Gimana kalau Tika nginep di rumah Teteh aja?" Tika terlihat sedikit ragu untuk meng-iyakan. "Nggak ngerepotin, Teh?" "Enggak, Teteh malah seneng kalau ada temennya." °°° Tok! Tok! Tok! Abim segera bangkit dari rebahannya, melangkah malas menuju pintu. "Iya, bentar!" Dengan ogah-ogahan Abim beranjak. Ceklek! "Om Angga? bang Mega?" ucapnya tak percaya. Untuk apa ayah Tika datang menemuinya malam-malam begini? terlebih, membawa serta bang Mega yang baru-baru ini Abim ketahui sebagai tukang pukul. "Tika mana?" tanya om Angga to the point, tanpa prolog sedikitpun. "Tuh, di sebelah," tunjuk Abim dengan dagunya. Om Angga menoleh pada bangunan megah berlantai dua di sebelah rumah Abim yang terlihat lebih kecil. "Kok di sana?" Abim mengerutkan kening, ia heran. Untuk apa om Angga bertanya demikian. Hal yang seharusnya diketahui. "Emang om ngebolehin Tika nginep di sini?" Om Angga segera menoleh ke arah Abim dengan tatapan horor. "Bisa nggak, ngobrolnya di dalem aja?" timpal bang Mega yang baru mendapat empat ekor nyamuk di tangannya. "Banyak nyamuk," sambungnya lagi. Abim dan om Angga saling pandang. °°° Setelah kedua tamunya duduk di sofa ruang tengah , Abim kembali duduk di lantai seperti tadi. "Om sama bang Mega-" "Nggak usah repot-repot," potong om Angga cepat. "Emang niat saya nggak repot!" sungut Abim. "Justru kedatangan om ke sini adalah berkah!" "Sableng nih bocah," batin bang Mega sambil mengelus perutnya yang agak buncit. "Tadi sore di kafe, saya diporotin Tika sama temen-temennya. Barusan, jatah cemilan saya juga di ambil!" Abim menatap om Angga dengan penuh arti. "Makanya ..." Abim mendekatkan wajahnya. "Om harus ganti rugi." Om Angga memebelalakkan mata. "Tapi-" "Eits!" potong Abim cepat. "Saya udah pesan makanan sama minuman, bentar lagi dateng. Dan om Angga yang harus bayar," terang Abim. Om Angga mengeraskan rahang. Abim lalu berdiri dan menatap om Angga dengan angkuh. Om Angga menelan ludah. "Kalau om nggak mau, apapun bisa terjadi sama Tika." Bang Mega yang dari tadi diam mulai mengepalkan tangan. Om Angga mengangguk lemah, menyetujui. Abim menyeringai senang, lalu kembali duduk di lantai "Edan! Padahal cuma pura-pura." Bang Mega tersenyum tipis, ia tak mengira kalau ancaman Abim akan berpengaruh. "Terus, tujuan om sama bang Mega ke sini buat apa?" Om Angga menautkan jari-jarinya, ia mulai serius. "Gini, sebenarnya aku sendiri nggak mau ke sini. Tapi karena ayah yang maksa, aku nggak bisa nolak." Bang Mega beranjak dari sofa saat terdengar suara pintu diketuk dan sebuah notif yang mengabarkan kalau pesanan Abim sudah datang. "Ayah bilang, Tika nggak bisa dibiarin sendirian, makanya aku nyuruh kamu." Bang Mega menutup pintu dengan kakinya, setelah membayar dengan uang majikannya. Ia takjub dengan pesanan Abim yang begitu banyak hingga kedua tangannya penuh. "Aku juga kurang paham dengan kerisauan ayah yang mendadak." Bang Mega meletakkan seluruh makanan di meja dengan kasar, membuat om Angga dan Abim sedikit terlonjak. "Ayah selalu bilang kalau sebentar lagi akan hujan." "Hujan? Ini kan udah keluar dari bulannya." Abim menopang dagu. "Aku tahu, aku juga nggak mau percaya sama yang begituan." Bang Mega menyuapkan beberapa potong ayam ke mulutnya, tak menghiraukan diskusi yang tengah berlangsung. "Tapi, beberapa malam ini aku dapat mimpi." Abim menelan ludah gugup. "Mimpi yang selalu sama. Hujan lebat!" Om Angga meremas kedua tangannya. "Seperti yang dikatana oleh ayah, sebebtar lagi akan turun hujan ...." "Darah," sahut Abim lirih, bersamaan dengan om Angga yang menggunakan kalimat yang sama.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN