DUA TIGA

1195 Kata
-23- Masih di hari Senin yang sama. Asri, gadis berkaca mata dengan tinggi 152 cm, selisih 3 centi dari Tika. Rambutnya hari ini digerai, tak seperti kemarin-kemarin yang dikuncir satu. Asri melirik Abim yang duduk di lantai, tepat di antara kursinya dan kursi Nino. Dari ekspresinya, Abim tampak panik, walau tak terlalu kentara. "Nin, kira-kira masih lama nggak, pak Ma'ruf masuknya?" tanya Abim lirih sambil menarik ujung baju Nino. Nino yang dari tadi hanya diam sambil memainkan pena nya hanya menghela napas lelah. Sudah 7 kali Abim menanyakan hal yang sama padanya. "Bim, Nino udah bilang kalau Nino enggak tahu," jawabnya tanpa menoleh. "Emang kenapa sih? Isteri Abim mau lahiran, ya? Panik kok pakek banget." Nino lalu menoleh untuk sekedar melihat apa yang dilakukan kawannya itu. "Hwaaa!!" jeritnya tertahan sambil berdiri tiba-tiba. Seisi kelas memandangnya dengan tatapan bertanya. "Gila! Perasaan tadi di sini, deh." Nino menoleh pada Asri yang juga menatapnya heran. "Maksud elo Abim?" "Iyalah, siapa lagi coba?" jawabnya ketus seraya membenarkan posisi kursinya dan mendudukinya kembali. "Udah keluar dari tadi, sejak lo bilang 'nggak tahu' Abim langsung keluar sambil ngerangkak." Nino membelalak. "HAH? Kenapa sih itu anak?" heran Nino sambil menghadap Asri. "Enggak tahu, tadi sih habis dapet notice langsung tegang gitu." Nino mengangguk-angguk paham. "Fix, istrinya beneraan mau lahiran!" ~~~ Abim mempercepat langkahnya melewati beberapa ruang kelas, mengabaikan tatapan-tatapan aneh para guru, satpam dan beberapa anak yang tengah bolos di kantin. "Bim!" panggil Dina di ujung lorong. Abim berhenti sejenak, ia mengerutkan kening. "Apa? Gue mau ke UKS, " jawab Abim polos, sedikitnya malas untuk berurusan dengan Dina. Dina mendecak sebal, padahal yang memintanya keluar kelas adalah Dina. "Iya, gue tahu. Yang nge-chat elo tadi gue," jawab Dina angkuh. "Lo tahu kenapa Dika ada di UKS?" tanya Dina dingin, ia memang selalu benci berurusan dengan Abim, tapi pacarnya memaksa untuk mempertemukan mereka, detik ini juga! "Pak Rozak yang bawa Dika ke UKS, Dika tadi pingsan di sebelah gedung belakang," sambung Dina lirih. Abim berjalan begitu saja, tanpa mendengar penjelasan rinci dari Dina. "Lo nggak usah khawatir," ucap Abim pada Dina yang mengekorinya. "Lo mending balik ke kelas-" "ENGGAK!" potong Dina sengit. "Bim, Dika pacar gue. Dan gue berhak tahu, dari tadi dia diemin gue, gak mau jawab gue sebelum ketemu sama elo!" Abim menghentikan langkahnya tiba-tiba, membuat Dina menabrak punggung Abim yang agak basah oleh keringat. "Dan gue nggak suka dibantah," ujar Abim dingin, ia melirik Dina yang tengah berusaha menelan liurnya. "Gue ulangi sekali lagi ..." Abim memutar tubuh, menatap datar Dina yang menahan gugup. "Mending elo balik," ucapnya dengan menekan pada tiap kata. Dina menelan ludah susah, mau tak mau ia harus pergi. Abim memandang punggung mungil Dina yang makin menjauh. "Dari tadi, kek!" gerutu Abim sambil meneruskan langkah. °°° "Lo nggak papa?" tanya Abim pada Dika yang duduk di ranjang, Dika mengangkat dagu, menatap Abim yang berdiri di ambang pintu dengan sayu. "Gue denger elo pingsan," sambungnya seraya menutup pintu, lalu mendekat pada Dika yang tengah mengusap wajahnya kasar. Dika menatap Abim tajam, dengan cepat ia menarik kerah Abim. Wajahnya pucat pasi, bibirnya beregetar dan matanya menyorotkan rasa takut. "b******k! GUE UDAH GAK BETAH DI SEKOLAH INI! GUE UDAH NGGAK BISA TUTUP TELINGA KALAU ADA ANAK YANG BILANG LIHAT INI-ITU! GUE NGGAK BISA PURA-PURA-" Plak! Tampar Abim dengan tangan kiri. "Udah mendingan?" ucap Abim dingin. Dika sadar, untuk yang berikutnya, Abim tak main-main. Dika mengangguk lemah, ia mengusap pipinya yang memerah. Tamparan Abim cukup keras, beruntung pacarnya tak melihat. Ia melepas kerah Abim dengan terpaksa. "Gue mau nanya banyak sih, tapi lo kelihatana capek." Abim duduk di tepi ranjang. Dika menggeleng pelan. "Lo ada di sini karena ada yang gue mau ceritain." Abim mengangkat kedua alisnya. "Apaan? Eh, sebelum itu, emang di gudang ada apaan? Gue denger lo pingsan di samping gudang." Dika menelan ludahnya berat, padahal ia ingin melupakan kejadian itu. Kalau perlu, ia ingin amnesia. "Gu-gue denger suara tembang." "Terus elo liat penampakan?" tebak Abim. Dika mengangguk pelan. "Tapi, bu-bukan cuma itu doang." Dika mencengkram ranjang, membagi rasa ngerinya dengan cengkraman biasa. "Ini soal yang mau gue ceritain sama elo." Dika mengedarkan pandangan gugup, ia merasa diawasi, apalagi semenjak beberapa hari terakhir ini. "Sewaktu gue pingsan, gue mimpiin elo!" Abim menatap Dika penuh, tatapan mereka beradu, ruangan mendadak senyap, seolah jauh dari dunia mereka saat ini. "Di mimpi, gue lihat elo berdiri di tengah hujan. Tapi bukan kayak hujan biasa." Dika menggigil, ia kesulitan menemukan suaranya. "Hujan merah- ENGGAK! Gue rasa bukan cuma merah. Tapi ..." HUJAN DARAH! Sambung Abim dan Dika bersamaan. Dika kembali meneguk susah, ia memang sempat menduga kalau Abim juga mengetahuinya. "Sa-satu lagi." Dika membuka dua kancing atasnya, memperlihatkan d**a bidangnya pada Abim. "Lo mau nodain mata gue?!" gerutu Abim sambil menutup mata dengan kedua tangan. "ANJIR! Lihat dulu b**o!!" Abim menurunkan tangannya ragu, padahal ia berharap untuk melihat punya Tika, malah dikasih lihat sama sesama jenisnya. Tepat dua jari ke bawah dari tulang selangka sebelah kiri Dika. "Lo tahu apa ini?" sambung Dika sembari menunjukan bekas luka kering. Sekali lihat saja Abim tahu, bekas luka dari besi yang dipanaskan hingga merah lalu ditempelkan pada kulit. Seperti cap penanda pada paha sapi. "Keris?" heran Abim, tenggorokannya terasa kering. "Hm, tapi terlalu kecil, dan bentuknya kayak ... keris elo." Deg! Abim membelalakkan matanya. "Lo tahu?!" tanyanya sengit pada Dika. Dika hanya mengangguk lemah. Abim memejamkan mata, mencoba menetralkan degub jantungnya. Yah, setidaknya Dika tak mengejek kalungnya. "O-oke ..." Abim kembali membuka mata setelah agak tenang. "Sejak kapan lo bawa bunga kamboja?" Kini gantian Dika yang membelalak. "Bu-bunga apaan?!" "Kamboja," ulang Abim. "Nih, lo lihat di tas elo." Abim menyerahkan tas yang tergeletak di nakas pada pemiliknya. Dika menerima dengan jantung berdebar. Benar kata Abim, ada bau menyengat yang berasal dari tasnya. Kenapa ia sampai tak menciumnya? Banyak pertanyaan yang berputar di kepala Abim. Seperti, siapa yang memasukkan bunga kamboja dalam tas Dika? Apa arti dari mimpi yang Dika alami? Dan ... Apa yang akan terjadi jika kejadian ini terus berlanjut? ~~~ "Lo dari mana?" tanya Asri yang tak sengaja berpapasan dengan Abim di koridor. "UKS, Dika sakit," jawab Abim lemas. Asri mengangguk paham. Tiba-tiba ponsel Abim berdering nyaring. Abim mendecak dan segera merogoh sakunya malas, membuka sebuah pesan dari Rian. Abim mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi setelah membaca apa isi dari pesan itu. "Lagi? Kenapa harus hari Senin sih?!" gerutu Abim dalam hati. "Kenapa, Bim?" tanya Asri yang penasaran dengan perubahan air muka Abim. "Tika pingsan," tukas Abim sambil jalan, meninggalkan Asri yang mematung. "Hah?" Asri mengerjap-ngerjapkan mata setelah menyadari Abim yang sudah jauh di ujung koridor. Terlihat beberapa anak perempuan langsung menyingkir begitu Abim lewat. "Ngeliatin siapa?" Asri langsung berbalik saat sebuah suara menegurnya dari belakang. "Eh, Hesti? Ngagetin aja sih lo!" Hesti terkikik. "Habisnya, ngelamun aja aih lo. Ngeliatin siapa sih?" tanya Hesti gemas, mencari sosok yang kiranya tadi Asri perhatikan. "Abim." Hesti tercekat. "Yang bener? Segitunya elo suka sama Abim," komentar Hesti. Asri mendecak sebal. "Jangan sembarangan! Itu tadi karena Abim bilang Tika pingsan," terang Asri sedikit jengkel. "Tika ... Yang kayak chinese itu, kan? Yang ngajakin ke cafe ungu buat morotin Abim?" Asri mengangguk. "Enaknya, walau beda sekolah tetep dijagain," ujar Hesti sambil menerawang, membuat sudut bibir Asri berkedut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN