"Lo mau pesan apa?"
Aku sedikit tak menghiraukan Adam, cukup sibuk memperhatikan orang-orang di sekitar rumah makan tempat Adam membawaku kini. Aku harus benar-benar memastikan tidak ada yang mengenal kami berdua. Dengan begitu, aku akan tenang dan selamat sampai rumah nanti. Dan bisa dipastikan aku bisa sekolah dengan aman juga tanpa ada gangguan kebencian dari siswi-siswi yang lainnya.
"Mahal-mahal enggak harganya?" Tanyaku.
Sejujurnya, aku sangat mengkhawatirkan itu. Bagaimana kalau harganya sangat mahal? Aku kan tidak punya uang untuk mengganti rugi apapun yang sudah dikeluarkan Adam untukku. Meski hanya seharga nasi, tetap saja aku akan berhutang. Terlebih, aku tidak pernah makan di tempat yang seperti ini. Aku buka akan harganya. Bertanya saja tidak salah, kan?
Sayangnya Adam malah menatapku dengan sorot aneh, seolah aku adalah makhluk paling aneh dan berbeda yang ia temui selama ini. "Lo enggak pernah makan di warteg?" Tanyanya dan aku tidak berani menjawab, lebih tepatnya kebisuanku kali ini sebagai pertanda aku mengiyakan pertanyaannya. Aku pikir dia adalah orang yang sangat pintar untuk bisa mengetahui maksud bahasa tubuhku ini.
"Seriusan?"
Lebih kaget dari sebelumnya. Suaranya yang agak sedikit nyaring membuat rasa malu itu seketika melekat dalam diriku, yang mendorongku untuk melihat ke sekitar. Adam berlebihan. Padahal dia tahu aku tidak punya apa-apa. Aku miskin, sangat miskin. Dengan dia tahu itu, kenapa tidak merasa cukup? Dasar orang kaya yang suka merendahkan orang rendahan di bawahnya.
"Memangnya kenapa?" Tantangku. "Kan aku sudah bilang sebelumnya kalau satu rupiah pun tidak aku punya, bahkan aku mengakui kalau tas lusuh itu adalah barang berhargaku. Aku miskin, dan kamu sadar itu. Aku mohon jangan bahas itu di depan umum kayak gini. Aku malu." Aku sangat jujur dengan apa yang aku katakan di akhirnya. Sampai aku menundukkan kepalaku. Ini rasanya sangat hina.
Sayup-sayup terdengar helaan napas Adam, dan sungguh aku tidak peduli kalau dia merasa bersalah. Setidaknya kalau memang dia berasal dari keluarga yang berada, kaya raya dan penuh dengan pengajaran tata krama, dia seharusnya tahu bagaimana besar salahnya saat ini. Meski aku bukan menjadi bagian salah satu dari mereka, setidaknya aku tahu dari apa yang biasa Mama tekankan pada Erina. Catat, hanya pada Erina, bukan padaku meski aku juga salah satu anaknya.
"Gue benar-benar minta maaf kalau menyinggung perasaan lo."
Kemudian tangannya menyentuh pundakku. Aku pikir dia mau melakukan hal yang tidak-tidak, maksudku sesuatu yang sedikit menjijikkan untuk dipikirkan seperti cowok yang mau merayu cewek. Dan aku menepis tangannya sama seperti yang aku lakukan sebelumnya. Namun ya, sepertinya aku harus meminta maaf padanya setelah ini. Dia bermaksud menolongku, bukan menggodaku.
"Ada apa dengan lo seharian ini? Lo enggak percaya sama gue. Tiba-tiba lo tepis tangan gue. Tiba-tiba lo ketus sama gue. Gue enggak sejahat yang lo pikir. Gue cuman mau tolong lo aja tadi. Hampir aja orang mau nabrak lo," ujar Adam.
"Gue minta maaf," kataku.
Dan canggung. Aku lah yang menciptakan momen aneh dan super duper menjengkelkan ini. Terkutuk lah aku si penghancur suasana dan tidak tahu diri akan kebaikan orang lain. Dan lebih menyedihkannya lagi Adam tidak merespon ucapanku, sedikitpun. Aku jadi kepikiran, dia begitu sakit hati denganku atau tidak peduli sama sekali dengan apapun yang aku lakukan. Seketika apa yang dia lakukan dan apa yang dia pikirkan menjadi bahan pemikiranku juga. Huft… dasar nasib.
"Yaudah, lupain aja," ujar Adam akhirnya, yang aku tunggu-tunggu. Dan itu membuatku seketika menaikkan daguku, namun tetap masih tidak berani melihatnya. Tapi ya, aku senang, agak tenang.
"Sekarang lo pencet aja touchscreen nya, pilih mau lauk yang mana."
Agak bingung. Otakku tidak bekerja kala Adam menyuruhku melakukan itu. Touchscreen? Temuan apa itu? Kenapa dia malah menyuruhku memencetnya hanya untuk mendapatkan lauk? Kenapa tidak langsung bilang saja ke pegawainya? Atau mungkin karena zaman sudah semakin canggih maka semuanya harus serba teknologi.
Dengan bodohnya aku mengikuti panduan Adam, mengarahkan telunjukku ke kaca yang memperlihatkan berbagai lauk di depanku kini. Aku menunjuk balado telur, terlihat menggugah selera. Sudah lama juga aku tidak memakan lauk yang satu ini meski aku hampir tiap hari memasaknya untuk orang rumah.
"Sudah. Cukup balado telur aja. Sekarang giliran lo," kataku girang sembari menoleh ke arah Adam yang sudah bersiap menyemburkan tawanya.
"Hahaha! Kok lo lucu banget sih?"
Adam tertawa, sangat kencang seolah dia baru saja menonton acara komedi yang mengocok perut hingga kram. Permasalahannya, apa yang dia tertawakan? Kebodohanku?
Ah, tentu saja. Aku kan orangnya kudet, kurang update. Masalah beginian aku tidak mengerti apapun. Jangankan warung untuk hal-hal yang sederhana, HP pun aku tidak pernah punya. Aku hanya bisa melihat orang dengan penuh harap kalau suatu hari nanti aku akan mendapatkan nasib yang serupa.
Masih menatap Adam dengan pandangan b**o, aku kembali bertanya. "Cara gue mencet layarnya salah ya? Makanya balado telurnya enggak keluar."
Dan anehnya, Adam semakin mengencangkan tawanya, bahkan sampai memegang perutnya sendiri. Begitu gelak, aku hanya bisa menyaksikannya tanpa berniat bertanya lagi. Takutnya semakin aku bertanya akan kebodohanku, semakin dia tertawa dan ditakutkan perutnya akan sakit. Aku lebih takut membayar hutang karena sakitnya daripada karena dia yang sudah mentraktirku makan seperti ini. Itu jelas dua kondisi yang berbeda. Sangat berbeda.
"Kalau sudah banget, gue gak jadi makan deh. Gue tunggu lo di luar aja."
"Sebentar," Adam menarik tanganku. "Jangan keluar dulu sebelum lo makan," katanya masih dengan tawa, tapi tidak seheboh sebelumnya. Tawa kecil ditambah dengan ketampanannya yang tidak bisa diragukan lagi, aku pun juga mengakuinya. Mungkin ini lah yang diinginkan oleh banyak siswi-siswi di sekolah, menyaksikan momen dimana cowok impian mereka tersenyum dan tertawa tepat di depan mereka. Maka kalau begitu, aku dengan bangga mengakui kalau Erina telah kalah dariku. Ya, meski hanya sesaat.
"Lo enggak salah kok. Lo bener cara mencetnya, bentar lagi balado telur lo keluar, so tunggu bentar aja," ujarnya lagi.
Aku mengangguk. "Kalau gitu, sekarang giliran lo. Pencet touchscreen nya, lo mau lauk yang mana. Mungkin balado telur gue masih dibuat, sekalian nanti sama pasanan lo. Biar enggak lama juga kita nunggunya," kataku.
Sedikit memancing kejengkelan lain, Adam tersedak oleh tawanya sendiri. Hanya dirinya yang tiba-tiba jadi aneh dan tidak terkontrol seperti ini, sedangkan orang lain sibuk memencet touchscreen menu dan ada beberapa yang makan juga. Entah virus apa yang menyerangnya sampai bisa segila ini. Ya, aku anggap dia gila. Hanya dia yang mau dekat denganku di saat semua orang bahkan membenciku dan terang-terangan menghardik ku.
"Lo percaya menu-menu di sini bisa dipencet terus menunya keluar sendiri gitu aja?" Tanya Adam. Ia terdengar tidak yakin dengan jawabannya, tapi dari dia lah aku tahu cara itu. Sedangkan dirinya malah kembali menertawakan perihal itu. "Jawab gue," pintanya.
Mau gimana lagi, itu yang Adam katakan dan aku hanya bisa mempercayainya saja. Karena itu lah aku kembali menganggukkan kepalaku. "Iya, percaya. Bukannya sekarang udah canggih ya? Apapun bisa dipencet, kayak hp yang lo pakai itu," ucapku.
Adam terlihat kaget dengan jawabanku. Pasti dalam benaknya sudah terdeteksi kalau aku ini adalah cewek yang aneh, bodoh, dan tidak banget menjadi temannya. Jangankan teman, sekedar bertemu pun kayaknya dia enggan.
"Baiklah. Kayaknya emang banyak yang belum lo tahu," dia hanya mengatakan itu, seolah pasrah saja dengan kekurangan yang aku miliki. Cukup kagum, tidak banyak orang yang bisa sepertinya.
"Kalau gitu, aku pilih opor ayam," katanya sembari menunjuk menu opor ayam.
Aku sepertinya lupa memperhatikan menu itu, padahal aku sangat menyukainya. Tapi, aku sudah terlanjur memilih balado ayam. Kalau nambah lauk, nambah juga utang budiku pada cowok ini. Aku tidak mau, syukur-syukur bisa makan. Ya sudahlah, tahan saja.
"Sate ayam goreng."
Astaga Tuhan, itu juga tidak kalah menggiurkan. Ayam, menu paling favorit. Dibuat jadi apapun tetap saja rasanya sangat mewah bagiku. Mau digoreng, direbus biasa, apalagi sampai dibuat jadi menu berat. Itu rasanya semakin mewah dan tidak terlupakan.
"Rendang."
Daging. Kelezatan yang tidak terhingga. Selain lezat, mahal pula. Selama ini Mama jarang menyuruhku memasak daging. Kalaupun aku disuruh memasaknya, aku tidak akan mungkin diberikan kesempatan mencicipinya. Itu sangat mahal untuk aku yang bagi Mama sangat murahan. Astaga, andai aku punya uang saat ini, ingin sekali rasanya memborong semua menu yang ada di sini dan merasakan kelezatannya. Mungkin aku juga akan belajar resepnya untuk aku gunakan nanti di rumah. Sayangnya, aku miskin.
"Sama rawonnya satu porsi ya, Bu."
Ya Tuhan, Adam sangat kaya. Dia memesan menu yang modal bahannya mahal-mahal. Memesan satu bahkan sepuluh porsi untuk setiap menu yang ada di warteg ini pun kayaknya bukan masalah besar baginya. Ia tidak akan kesusahan, tidak akan memikirkan berapa harga barang yang harus ia bayar, berapa uang yang harus ia keluarkan. Itu lah enaknya jadi orang kaya, tinggal tunjuk, nikmati sepuasnya. Kiranya kapan aku bisa mencicipi nasib baik seperti itu? Ingin sekali rasanya. Suatu hari nanti, pasti.
"Itu aja, dek?"
"Nasi dua porsi sama es teh dua dua ya, Bu. Kerupuk udangnya jangan sampai lupa."
"Siap, dek. Cari meja aja dek, nanti Ibu bawakan ke mejanya."
"Oke, ibu. Terima kasih."
Interaksi Adam dengan ibu warteg ini sedikit berbeda. Mungkin aku bukan orang yang mengenal betul siapa Adam, bukan orang yang dekat juga dengannya. Entah kenapa aku merasakan kalau dia berusaha dekat dan hangat. Apakah Adam memang sering makan di sini hingga membuat interaksinya dengan ibu tadi terasa cukup dekat? Atau ada hal lain yang tidak aku ketahui?
Ah, lupakan. Bukan masalahku.
Aku mengikuti Adam dari belakang, mencari meja yang akan kami pakai makan kali ini. Tempat ini sepertinya lumayan terkenal, banyak pengunjungnya. Tempatnya juga luas. Ada begitu banyak kehangatan keluarga yang aku rasakan hanya dengan melewati meja demi meja yang sudah terisi di sini. Senang mendengar tawa, bahagia melihat senyuman dari mereka. Ini lah yang seharusnya aku rasakan, bukan malah paksaan dan percobaan p********n yang tidak ada hentinya.
Pilihan Adam jatuh pada meja kosong dekat lorong menuju toilet. Sebuah meja dengan dua kursi yang saling berhadapan, cocok untukku dan Adam. Seperti sudah disetting dengan rapi sebelumnya. Tapi ini bagus, tidak perlu menunggu lama apalagi sampai bingung mau duduk di mana.
"Duduk saja. Sebentar lagi pesanan kita dibawain sama mereka," ujar Adam dan aku hanya mengangguk.
Duduk di kursi dan berhadapan langsung dengan Adam. Cowok itu sedang sibuk dengan HP canggihnya, dan seperti biasa aku tidak melakukan apapun. Memandang ke sekitar membuatku malah merasa cemburu. Aku takut rasa itu membuatku membangkang. Kemudian aku menjatuhkan pilihan melihat ke luar, kondisi jalanan yang masih dihiasi berbagai macam sepeda motor yang senantiasa lalu lalang. Dan satu hal yang tidak terduga, ternyata hujan. Semilir angin berhasil menerpa kulitku. Untung ada jaket Adam, aku tidak terlalu kedinginan.
Jaket?
Sontak aku meraba jaket Adam, dan spontan pula menoleh ke depanku. Tak sengaja aku melihat Adam yang mengarahkan HPnya ke arahku, tidak seperti biasanya. Dan anehnya lagi setelah dia menyadari aku melihatnya, dia terkesiap dan mencoba mengalihkan perhatian ke hal lain. Apakah ada yang salah?
"Di luar hujan, dingin juga. Lo mau ambil jaket lo?" Tanyaku padanya.
"Enggak usah. Pakai aja," jawabnya masih sok sibuk dengan HPnya. Yang berbeda hanyalah senyumnya sembari menatap layar HPnya. Mungkin ada sesuatu hal yang sangat menarik.
"Oh, gitu. Terima kasih banyak, ya. Gue bakal balikin jaket lo nanti, tapi kalau lo mau pakai sekarang juga enggak apa-apa. Gue sangat enggak keberatan buka jaket ini. Toh juga milik lo," ucapku yang sebenarnya masih bersikukuh mengembalikan jaketnya. Aku hanya tidak enak memakai jaketnya di saat ia juga sepertinya membutuhkan jaket ini.
"Pakai aja. Lo lebih butuh dari gue."
Baiklah, tidak ada gunanya bersikeras melawan Adam. Lebih baik diam dan menerima pemberiannya. Masalah menolak atau komplain, sebenarnya aku tidak pernah seperti itu. Aku menerima apapun yang diberikan. Tapi aku akan merasa sangat tidak berguna kala orang yang sudah berbaik hati sama aku malah menerima yang lebih buruk dariku. Ada rasa yang tidak terelakan.
Tidak lama setelahnya makanan kami datang, tentu saja sesuai pesanan dan pencetan di touchscreen tadi. Bahkan kini aromanya lebih terasa dekat, semakin membuatku ingin cepat-cepat melahapnya. Sayangnya, bagianku hanyalah nasi dengan lauk balado telur. Tidak lupa minumnya es teh. Dan sangat jujur pula, seketika aku ingin mengambil lauk milik Adam yang lebih menggiurkan.
Tahan, Abi. Syukuri apa yang ada di depanmu. Syukuri apa yang sudah diberikan kepadamu. Jangan ambil sesuatu yang bukan milikmu.
"Selamat makan…"
"Selamat makan juga."
Suapan pertama masuk, dan kalian tahu apa yang aku rasakan? Luar biasa. Rasanya luar biasa, dan aku rasa aku harus meminta resep masakan ini. Mama, Papa, dan Erina harus mencoba rasa ini. Tapi sepertinya, mereka sangat mudah bisa merasakannya. Hanya tinggal mengeluarkan selembar uang dengan nilai yang paling tinggi, mereka bisa menikmatinya. Semudah Adam memencet semua makanan mahal dan mewah itu tadi.
"Enak?" Tanya Adam.
"Iya. Sangat enak. Terima kasih sudah mentraktir," jawabku.
"Kalau gitu," Adam memajukan beberapa piring dan mangkuk ke depanku. "Lo harus cobain semua menu ini. Gue yakin lo bakal suka dan lo bakal tambah nasi lo," katanya.
Sebegitu mudahnya dia memberikanku semua lauk mahalnya? Dia tidak bercanda, kan?
"Ini beneran?" Tanyaku mencoba menahan, padahal tangan sudah mau menyomot satu per satu menu itu.
"Memangnya ada yang salah?" Adam bertanya balik. "Kalau lo mau, makan saja. Toh gue juga tidak akan mungkin menghabiskan semuanya sendiri. Daripada mubazir, mending dihabisin, kan?"
"Tapi gue gak diminta ganti harganya, kan?"
"Enggak. Makan aja. Gue enggak sepelit itu, kok. Apalagi sama lo."
Entah Adam keceplosan atau tidak, respon yang kuberikan hanya satu, tanda tanya besar. "Hah? Maksud lo?"
Adam menarik senyumnya. "Makan yang banyak, biar makin pintar. Biar lo enggak mudah di b**o in sama orang, apalagi orangnya yang lo enggak kenal dekat."
"Termasuk lo?" Sumpah demi apapun, aku hanya spontan menanyakan itu. Seakan-akan ada begitu saja.
"Mungkin."
***
"Lo yakin kita bakal baik-baik aja terobos hujan kayak gini?"
Aku menanyakan itu berulang kali pada Adam yang masih bersikeras tidak mau mempertimbangkan hal lain. Dia tidak mau menunggu hujan reda baru meninggalkan rumah makan itu, tapi dia memilih menerobos hujan. Membiarkan dirinya basah kuyup, pun juga diriku. Tidak, aku tidak sepenuhnya basah. Aku masih dilindungi jaket tebal milik cowok yang satu ini.
"Iya, gue yakin."
"Tapi gue takut," kataku, dengan nada yang cukup meninggi. Maklum, suaraku sekarang beradu dengan suara rintikkan hujan. Mau tidak mau agar suaraku terdengar jelas, aku harus berseru agak kencang. "Gue takut kita tabrakan. Gue banyak dengar pengendara motor yang tabrakan ketika hujan deras kayak gini."
"Kalau lo takut, pegangan lo di pinggang gue lebih kencang lagi. Gue udah biasa terobos hujan kayak gini, jadi enggak ada yang perlu diragukan. Lo harus percaya gue kalau lo mau selamat. Oke?"
Kalau dirinya saja yang mengendarai motornya begitu percaya, apakah mungkin aku meragukan dirinya? Benar katanya, aku harus percaya. Apapun akan terasa menghalangi kala ketidakpercayaan itu hadir.
"Iya, gue percaya sama lo."
Dan setelahnya, tidak ada yang bisa aku lakukan selain memeluk pinggangnya erat. Tidak peduli badan mau basah sekuyup apa, akan menggigil seperti apa, bahkan mungkin akan mengundang rasa pusing yang begitu hebat tidak terkira. Bahkan dia mau mengendarai motornya sekencang apapun, aku tidak memprotes lagi. Segalanya terasa aman-aman saja kala aku mulai mempercayainya.
"Gue lupa bilang sesuatu sama lo!" Teriak Adam.
"Tentang apa?" Tanyaku.
"Gue cuman mau bilang kalau lo itu orang baik. Lo pantes dapat keadilan. Gue yakin kalau lo itu bisa melakukan apapun kalau lo mau keluar dari zona nyaman lo. Gue yakin kalau lo itu orang yang hebat. Lo dengar kan suara gue atau suara gue kurang kencang?"
Aku mendengar suaranya, tapi aku memilih diam. Aku hebat kalau keluar dari zona nyaman. Zona yang seperti apa yang dimaksud Adam? Zona berdiam diri diperbudak keluarga sendiri atau zona pura-pura tidak tahu akan semua ketidakadilan dan berusaha ikhlas mendapatkan semua perlakuan? Bukankah semuanya sama saja? Ujungnya pun akan sama.
Selamanya, seorang Abila Sanda tidak bisa menjadi orang yang hebat. Itu adalah mindset yang sudah tertanam semenjak semua mimpi direbut paksa.
"Itu mustahil," balasku singkat.
"Akan terasa mustahil kalau lo belum mencintai diri lo sendiri dan tahu mana yang diri lo inginkan."
Mungkin ini adalah kalimat terbaik yang aku terima dari seseorang yang sepantaran umurnya denganku namun pikirannya sudah dewasa. Aku tidak tahu apa saja yang pernah dilalui Adam sampai pikirannya bisa sematang ini. Bahkan aku pikir kalau pikirannya lebih baik dibanding yang dimiliki oleh keluargaku. Maaf sekali lagi kalau aku membandingkan mereka dengan orang lain.
Kemudian setelahnya hanya diam. Adam fokus mengendarai motornya sebaik mungkin meski dalam kondisi hujan turun tiada henti, dan aku masih senantiasa memeluk pinggangnya dengan penuh rasa percaya tanpa curiga. Sampai akhirnya kami sampai di sebuah gedung menjulang tinggi dengan tulisan MALL. Mengingat namanya, sekerika aku teringat dengan kelakuan girang Mama dan Erina setiap awal bulan dimana mereka pasti akan pergi berbelanja dan selalu menyebutkan nama yang sama. Mall.
Turun dari motor, pandanganku masih tertuju pada gedung mewah itu. Kami sekarang di depannya, dalam keadaan yang basah kuyup. Mungkin kami agak kurang ajar kalau masuk dalam keadaan yang seperti ini.
"Kita boleh masuk, kan?" Tanyaku. "Kita basah kuyup. Kemungkinan kita enggak bakal dikasih masuk."
"Benar. Lo dan gue boleh masuk kalau dalam keadaan kering," ujar Adam.
"Terus?" Tanyaku.
Adam melambaikan tangannya pada seorang satpam yang berjaga di depan pintu masuk. Jujur saja, aku sedikit menciut, aku takut dengan satpam yang dipanggil oleh Adam tadi. Badannya besar, wajahnya agak beringas, dia seperti seseorang yang setiap detiknya selalu marah tanpa alasan. Tapi ya, tidak boleh menilai dari apa yang dilihat. Bisa jadi itu salah.
"Iya, ada apa Tu—"
Adam menghentikan suara seorang satpam itu tadi, padahal belum selesai terucap. Kali ini aku menilai sikap Adam agak kurang ajar, berbanding terbalik dengan apa yang dia lakukan ketika di rumah makan itu tadi. Seharusnya dia memberikan sedikit waktu kepada satpam itu tadi untuk menyelesaikan ucapannya.
"Farel ada di atas?" Tanya Adam.
"Ada."
Baru saja satpam itu menjawabnya, Adam langsung menyerahkan kunci motornya pada satpam itu. "Parkir motor ini di tempat biasa. Jangan kasih tahu Farel kalau gue ke sini sama seseorang. Gue ke sini cuman untuk urusan kecil. Gue gak mau ada drama main lapor. Ngerti?"
"Baik."
Aku hanya diam, sedikit berusaha tidak peduli meski banyak tanda tanya yang mengumpul di kepalaku. Siapa Farel? Siapa Adam bagi satpam mengerikan yang satu ini, kenapa dia bisa jadi begitu nurut? Siapa sebenarnya Adam? Kenapa dia jadi begitu berkuasa dalam banyak hal yang tidak terduga.
Saking banyaknya tanda tanya di kepalaku, aku sampai tidak menyadari Adam sudah menarik tanganku masuk ke dalam tapi dari pintu yang berbeda.
"Kenapa kita masuk lewat sini? Bukannya pintu masuk ada di depan?" Tanyaku.
"Memang. Tapi kita harus ganti baju dulu," jawabnya.
"Memangnya lo punya baju ganti yang bisa gue pinjem? Kalau enggak ada, enggak masalah basah-basahan kayak gini. Tapi kalau emang enggak boleh banget basah-basahan, mending antar gue pulang aja," kataku dan menurutku itu sudah terbaik. Toh ini juga sudah terlalu sore. Aku takut Erina sudah menyusun terlalu banyak rencana jahat untukku.
"Gue ada baju ganti. Banyak. Lo tinggal pilih aja."
Baiklah, sampai sejauh ini aku terus menuruti perintah Adam meski sesekali memberontak, sesekali menolak, sesekali merasa tidak sejalan dengannya. Kecuali saat di tengah jalan dan di tengah turunnya hujan tadi, di saat itu aku benar-benar merasa yakin dengannya.
Sampai akhirnya kami berhenti di depan ruangan. Aku tidak tahu ini ruangan apa, namun setelah kami masuk, ternyata hanya sebuah ruangan kecil yang di dalamnya ada satu ranjang dan satu lemari. Aku sudah lebih dulu berpikir yang tidak-tidak. Hampir saja aku memukul Adam kalau dia berani melakukan hal yang tidak-tidak.
"Di lemari sana ada banyak baju gue. Cari aja, pilih mana yang lo suka. Ganti baju lo. Gue tunggu di luar," katanya.
"Lo kerja di sini?" Tanyaku.
Adam mengangguk. "Iya," jawabnya kemudian menutup pintu ruangan ini.
"Apakah mungkin setiap orang yang bekerja di sini punya ruangan khusus seperti ini?" Tanyaku bingung. "Kalau memang benar, sepertinya aku juga harus bekerja di sini biar aku juga mendapatkan satu ruangan kayak gini. Lumayan, aku bisa kabur dari rumah."