Bab 11. Seharian Bersama Adam 3

3657 Kata
Sangat serius dengan apa yang aku katakan sebelumnya. Kalau memang dengan bekerja di gedung mewah ini bisa mendapatkan satu ruangan tempat tinggal, maka aku akan berusaha keras untuk menjadi salah satunya. Akan aku keluarkan semua potensi diri yang aku punya, berjuang semampu diriku. Meski ini kecil, sangat cukup untukku. Aku bisa tidur dengan nyenyak, bisa hidup dengan tenang, tanpa ada gangguan ataupun tekanan dari Mama dan Erina. Palingan aku akan butuh beberapa hal seperti baju, selama ini aku tidak pernah mendapatkan yang layak. Kuperhatikan ruangan ini kembali, full dengan warna putih. Benar-benar dibuat cukup untuk satu orang. Ada ranjang dan satu lemari. Bahkan ini pun terlihat lebih layak dibanding yang aku terima di rumah. "Empuk," spontan aku mengatakan demikian kala merasakan empuknya ranjang Adam pertama kali. Sangat empuk, sepertinya dibuat dari bahan yang sangat premium. Di rumah, aku hanya tidur di lantai. Alasnya pun tipis. Kalau hujan turun rasanya aku seperti tidur di lapisan es sepanjang malam. Mengerikan. Tapi, kalau dipikir-pikir, ada yang aneh. Ada cacat logika yang tidak bisa aku cerna dengan baik dari pengakuan Adam beberapa menit yang lalu. Dia mengaku menjadi karyawan di sini, lalu apakah selama ini dia yang membiayai hidupnya sendiri? Orang tuanya kan orang kaya, masa dia bekerja? Semua siswa-siswi di sekolah begitu itu dengan tampangnya, finansialnya, dan segala hal yang dia miliki. Tapi kini? Agak membingungkan. Ah, sudahlah, bukan urusanku. Terserah Adam mau berbohong atau tidak, dia lah yang harus menanggungnya. Aku tidak mau tiba-tiba disidak dan disalahkan atas apa yang tidak pernah aku lakukan. Adam lah yang membawaku ke sini, bukan aku yang berinisiatif apalagi sampai berani memasuki ke ruangan yang bukan menjadi milikku. Kini aku harus cepat-cepat menyelesaikan ini atau nanti Adam akan curiga padaku karena tak kunjung mengganti baju. Menyudahi kekaguman duduk di ranjang empuk Adam dan beralih membuka lemari cowok itu. Sayangnya, aku harus mempertebal sabarku kali ini. Adam menyuruhku mengambil baju di dalam lemarinya, tapi benda ini terkunci sendiri. Bagaimana cara membukanya? Aku bukan sulap yang bisa menyihir dengan begitu mudahnya. Aku hanya orang biasa yang mudah ditaklukan keluarga. Terpaksa aku keluar, membuka pintu bermaksud meminta Adam membuka kuncinya. Jika tidak, aku tidak bisa ganti baju. "Sorry gue lama banget, tapi lemari lo enggak bisa dibuka. Kayaknya lo lupa buka kuncinya," kataku. Adam masuk ke dalam. Kulihat dia mengambil sesuatu di atas lemarinya, ternyata itu sebuah kunci. "Gue lupa bilang sama lo kalau kuncinya ada di atas." Dan setelahnya, hanya dalam satu kali putar, lemari berhasil terbuka. "Coba cari baju mana yang mau cocok di badan lo. Gue punya beberapa baju yang ukurannya agak kecil, kayaknya cocok sama ukuran lo," ucapnya mempersilakanku mengeksplor isi lemarinya. Rasa tahu diri itu tentu saja masih melekat dalam diriku. Mana mungkin aku jadi pemilih di saat yang seperti ini. Kalau memang dia punya saran baju yang cocok denganku, aku lebih nyaman dengan itu daripada mencari sendiri. Aku mendekatinya dan berkata, "kalau gitu, lo aja yang cariin gue baju yang sesuai sama ukuran gue. Tangan gue kotor, takutnya nanti ngotorin baju lo semua." Kebetulan juga aku melihat banyak baju kaos berwarna putih, bisa aku jadikan sebagai alibi penguat agar si cowok ini percaya dengan apa yang aku katakan. "Baju lo putih semua, nanti kotor sama gue." "Lo yakin?" Tanya Adam. Aku mengangguk. "Oke." Tanpa pikir panjang, Adam menarik satu baju kaosnya berwarna hitam kau menyerahkannya padaku. "Ini baju kaos gue setahun yang lalu, ukurannya mungkin agak sedikit besaran dari lo. Tapi, dari semua baju gue di lemari ini, baju ini yang paling kecil," katanya. "Tidak masalah, yang penting sama-sama baju," kataku. Dan tidak lama juga Adam memberikanku sebuah celana berwarna hitam. "ini celana panjang gue. Lo bisa pake, enggak perlu dibalikin. Pake aja. Kebanyakan memang baju-baju gue warnanya hitam sama putih, maklumi aja kalau lo liat dua warna itu aja di lemari gue." Tugasku hanya menerima di saat orang lain sedang memberi. Entah kapan aku bisa bertukar tempat menjadi orang yang memberi. Mungkin kala aku merasakan itu nanti, aku akan jadi orang yang bahagia, merasa cukup dan tidak membutuhkan hal lain lagi. Karena aku tahu, memberi itu jauh lebih baik daripada menerima. "Pasti gue balikin nanti," kataku menunduk mengusap baju dan celana yang diserahkan Adam padaku tanpa meminta balasan. "Tidak perlu, pakai aja. Punya gue udah banyak, sayang kalau enggak dipake." Lalu ia beranjak keluar. Saat ia hendak menutup pintu, ia sempat berkata ini padaku, sedikit membuatku kaget. "Tapi sorry, gue enggak punya baju dalaman yang bisa dipake sama cewek kayak lo. Gue cowok tulen," katanya. Apakah ada alasan lain untukku tidak tertawa? Jelas aku tergelak akibat ucapannya yang sangat random. Bagaimana bisa dia mengatakan itu di saat yang seperti ini. Ia cukup memberikan baju dan celana saja, tidak perlu sampai bertanggung-jawab memberikan dalaman pula. Dasar Adam, kadang baik, kadang ngeselin, kadang jahat, kadang tidak bisa digambarkan. Sebenarnya, sosok seperti apa dirinya ini? "Ini aja gue udah berhutang banyak sama lo. Pasti gue ganti nanti, meski dengan hal lain. Tapi…" ajaibnya, aku teringat dengan pertanyaan yang tadi begitu besar di benakku. Membuatku ingin menanyakan itu dan mendapatkan jawaban sejelas-jelasnya. Memang mungkin akan terdengar kurang ajar, tapi kalau memang dia tidak mau menjawab, aku tidak memaksa. "Tapi gue mau tanya satu hal lagi sama lo, boleh?" Tanyaku meminta izin padanya. "Memangnya lo mau tanya apa?" Adam sampai tidak jadi menutup pintu. Beberapa orang lalu lalang dan terlihat memperhatikan kami berdua. Itu mendorong Adam masuk ke ruangan ini dan menutup pintu. Kini, kamu berdua saja di ruangan ini dengan posisi Adam di depan pintu dan aku di dekat ranjangnya. "Gue mau tanya, gimana caranya jadi karyawan di sini?" Adam menatapku aneh, menaikkan alisnya sebelah. "Apa? Coba ulang pertanyaan lo sekali lagi. Kayaknya gue agak budeg dikit," sambil ia mengorek kupingnya. Pikirnya ada masalah pada telinganya, tapi ia tidak sadar kalau pertanyaanku lah yang menjadi masalah besar. Bagaimana bisa aku bertanya demikian padanya. "Gue pengen jadi karyawan di gedung ini biar bisa dapat satu ruangan gini kayak lo. Gimana caranya?" Tanyaku lagi. Meski demikian, aku masih bertekad mendapatkan jawabannya. "Lo lagi bercanda, kan?" Sudah aku duga, Adam tidak akan percaya dengan apa yang aku katakan. Mau aku bicara seribu kali pun pasti akan terdengar lelucon baginya. Sebab dunianya dan duniaku seribu persen berbeda. Mau bagaimana pun aku mencoba sama sepertinya, tetap saja terdengar dan terlihat aneh. Sebegitu tidak adilnya dunia ini pada pengisinya, kan? "Enggak, gue serius. Gue pengen kerja di sini. Kalau lo bersedia, ajarin gue cara kerja di sini. Gue mau ngelakuin apapun yang lo mau asalkan lo mau ajarin gue. Simbiosis mutualisme." Adam mengabaikanku. Dia melengos, membuka pintu itu kembali dan aku tahu kalau tidak ada hal lain selain dia meninggalkan aku dengan rasa penasaran dan rasa tertantang yang semakin besar. Dengan Adam memperlakukanku seperti ini secara tidak sadar dia telah menyuntikkan semangatku untuk bisa bekerja di sini. Selain mendapatkan uang, mendapatkan tempat, juga mendapatkan kedamaian. Definisi keinginan terbesarku untuk bisa keluar dari siksaan Erina dan Mama saat ini. Dan mungkin juga dari hinaan orang lain. Pintu sudah tertutup lama dan aku masih senantiasa memandang daun pintu itu. Harapanku cuman satu, Adam berubah pikiran dan bersedia mengabulkan apa yang aku inginkan seperti yang aku katakan padanya terakhir kali. Sayangnya, harapanku pupus. Adam tidak membuka pintu itu kembali. "Baiklah. Itu artinya nasib memintaku agar tetap bekerja tanpa rasa penghargaan sedikitpun." Aku sudah tidak memikirkan Adam lagi. Pertama-tama, aku membuka jaket Adam dan menaruhnya di tiang samping ranjangnya. Selanjutnya, aku hendak membuka bajuku, namun kala tepi kain bajuku sudah aku angkat, aku dikagetkan dengan perihal pintu yang tiba-tiba dibuka. Spontan aku menurunkan bajuku kembali. "Kenapa lo gak ketuk pintu dulu? Enggak sopan," cecarku, melengos enggan melihatnya. Dia pun juga menunduk, lalu untuk apa membuat kontak mata dengan orang yang enggan melakukannya lebih dulu? Buang-buang waktu dan pikiran saja. "Sorry," ujarnya lebih dulu. Entah sudah berapa kali dia mengucapkan kata maaf padaku hari ini. Pun juga denganku, sudah berapa kali aku merasa bersalah padanya, tapi beberapa kali pula ia mencoba untuk membuatku jengkel akan tingkahnya. "Pertama yang harus lo tahu, gue bohong perihal gue kerja di sini. Dan kayaknya gue gak perlu jelasin panjang lebar tentang itu, gue rasa lo lebih tahu kalau mau berpikir sedikit keras." Otakku mencoba mencerna apa yang mau dia sampaikan. Dia mengakui kebohongannya kalau tidak kerja di sini, dan itu juga menjadi sebuah pembenaran akan kecacatan logika yang aku rasa beberapa menit yang lalu. Dia anak ketua yayasan, bukan seorang karyawan. Orang tuanya kaya, tidak akan mungkin membiarkan anaknya kesusahan. Akan tetapi, pertanyaan terbesar lainnya yang mulai muncul sekarang adalah, siapa Adam dan apa posisinya di mall ini sampai-sampai dia punya satu ruangan khusus? Dia bukan karyawan, lalu apa posisinya yang sekiranya bisa diterima dengan pikiran logika yang ringan. "Kedua, kalau lo butuh tempat tinggal, lo bisa pakai ruangan ini tapi lo harus kasih tahu gue dulu alasan terbesar lo apa karena setahu gue lo itu anak orang kaya, sama kayak saudari lo," ujarnya. Aku mendengus mendengarnya untuk alasan yang kedua ini. Dia mungkin berbaik hati mempersilakanku memakai ruangannya ini, dan aku sangat berterima kasih untuk itu. Tapi dengan alasan harus memberitahunya apa masalahku, sepertinya tidak perlu. Aku lebih baik memilih tinggal di rumah itu daripada harus menyebarluaskan masalah yang dihadapi oleh keluargaku sendiri. Ya, keluarga, aku menganggap mereka keluarga, terserah mereka mau menganggapku apa. Itu urusan mereka. Dan tentang menjadi anak orang kaya, Adam hanya tidak tahu kalau hanya Erina lah yang diakui sebagai anak. Aku? Bahasa kasarnya pembantu mereka. Sampai sini semoga mengerti betapa beratnya beban yang aku tanggung dan harus kuterima meski hati terasa sangat sakit. "Dan yang ketiga, cepat ganti baju lo. Gue kedinginan." *** Seorang perempuan muda berpenampilan serba hitam tampak kewalahan berjalan di area mall terkenal yang ada di Jakarta. Perempuan muda itu terlihat sedang bersama dengan seorang cowok yang juga memakai baju senada dengannya. Perbedaannya hanya satu, si perempuan kewalahan dengan baju dan celana super besar yang membungkus badan kecilnya, sedangkan si cowok tetap tenang dengan penampilannya yang rapi dan gagah dengan warna hitam yang misterius dan berani. Tidak hanya itu saja, si perempuan juga tidak memakai alas kaki. Entah dia baru mendarat dari planet mana sampai tidak memperhatikan penampilannya di sebuah mall itu. Banyak orang yang akan melihat dan dia tidak berpikir sama sekali. Sepertinya dirinya harus diajarkan bagaimana caranya berpenampilan baik dan layak oleh rekannya di sampingnya itu. Eits, itu rekannya atau pacarnya? Agak-agaknya, menjadi pacar sangat tidak pantas, apalagi sampai berteman. Mungkin si cowok juga sedang menahan rasa malunya berdampingan dengan si perempuan tidak tahu diri itu. Iya, sebut saja si perempuan itu adalah aku dan si cowok penuh wibawa itu adalah Adam. Apa yang aku gambarkan tadi memang benar apa adanya. Aku pakai serba hitam dan Adam pun juga tidak mau memakai yang berbeda. Sebenarnya Adam punya sepatu yang bisa aku pinjam, tapi ukurannya sangat besar di kakiku. Lagipula, aku juga tidak enak hati meminjam banyak barang darinya. Sudah meminjam, si pemilik juga tidak mau barangnya dikembalikan. Aku sebagai orang yang meminjam itu seharusnya sadar diri. Dan karena itu lah, sepanjang menyusuri mall ini, aku akan bertelanjang kaki. Tidak apa, sudah biasa. Mengenai mall ini, jujur aku kagum. Anggap saja aku norak, aku mengakui itu. Maklum saja, aku tidak pernah ke sini. Bagiku, bisa keluar dari rumah tanpa adanya tenggat waktu pekerjaan rumah, itu adalah nikmat yang paling luar biasa yang aku rasakan. Apalagi sampai bisa melihat mewahnya bangunan besar ini. Sudah besar, banyak barang mewah yang bahkan tidak pernah aku lihat sebelumnya. Eh, tidak, beberapa barang aku kenali karena Erina dan Mama memakainya. Tapi jauh dari itu semua, aku benar-benar norak saat ini. Beberapa kali aku ketahuan Adam karena berhenti sejenak merasa kagum. Aku sampai malu dibuatnya. "Kita mau ke mana? Perasaan dari tadi lo ngajak gue muter-muter terus deh," kataku sedikit memprotes. Memang aku berniat melakukan itu, Adam tidak kunjung bersuara mau membawaku ke mana. Alhasil aku lah yang lebih dulu bertanya daripada sesat di jalan. "Pertama, gue mau beliin lo baju sekolah. Baju sekolah lo itu udah enggak layak pakai," katanya. Dia tahu aku akan membantah, dengan cepat ia menghalangiku dengan tangannya. "Jangan bantah gue dulu. Gue paling enggak suka sama orang yang suka ngebantah. Setidaknya lo dengarin gue dulu sampe akhir, baru lo boleh bersuara." "Tapi lo udah kasih gue banyak banget. Gue bingung, gue pusing mau balasnya kayak gimana. Sudah seribu kali gue ingetin lo kalau gue itu enggak punya uang." Aku lebih baik jujur tentang diriku yang tidak punya apapun, daripada berbohong aku punya segalanya tapi segalanya itu hanya ada di imajinasi ku sendiri. "Gue gak butuh balasan lo. Gue mau ngelakuin ini karena gue enggak mau ada yang diperlakukan tidak adil lagi di sekolah gue. Apalagi sekarang gue yang jadi ketua OSIS. Gue merasa kalau semua siswa-siswi harus mendapatkan keadilan, termasuk lo. Dan mungkin salah satu caranya adalah dengan ini. Beliin lo baju sekolah yang layak, tas yang layak pakai, dan segala kebutuhan asal itu masih bisa dipikirkan. Jadi, selama gue masih punya niatan yang baik, gue mohon jangan mencoba membantah." Begitu panjang lebar Adam menjelaskan, tapi aku hanya bisa menangkap satu hal kalau Adam melakukan ini atas nama dirinya yang sebagai ketua OSIS, yang mencoba mewujudkan kesejahteraan siswa-siswi di bawah pimpinannya. Dan apakah aku boleh tertawa setelah ini? Aku sempat menyombongkan diri mendapatkan perhatian Adam lebih dulu daripada Erina, padahal kemungkinan besar tidak hanya aku saja yang mendapatkan perlakuan yang sama. Baiklah, karena dia ingin aku diam atas nama niat baiknya, maka akan aku lakukan. Aku mengangguk, mengiyakan semua yang mau dia lakukan padaku. "Pasti banyak yang merasa terbantu dengan niat baik lo sebagai ketua OSIS tahun ini. Pasti lo enggak bakal dilupain sama semua siswa-siswi di sekolah," gumamku. Adam mengangkat bahunya acuh tak acuh. "Selain gue, siapa lagi yang lo bantu kayak gini?" Tanyaku. "Kalau lo enggak mau jawab, jangan dipaksa. Gue cuman bertanya, bukan memaksa." Namun Adam menarik tanganku. "Sejauh ini cuman lo," jawabnya. Kalian tahu? Aku sedikit kecewa. Aku penasaran, apakah mungkin aku sudah menaruh harapan semu pada Adam? Karena dia banyak membantuku dan kini aku kecewa mendengar dia berbuat baik pada semua orang, tidak hanya padaku saja. "Lo pernah naik eskalator gak sebelumnya?" Tanya Adam. Aku menggeleng lemah. Itu jujur. Jangankan eskalator, sudah aku bilang sebelumnya bahkan ke mall saja aku tidak pernah. Ini saja aku sangat bersyukur meski sedikit merasa kecewa. Karena pikiranku sedikit berkelana entah kemana dan tidak fokus pada eskalator yang tadi disebutkan Adam, pas kakiku menginjak tangga pertama eskalator, keseimbangan ku sedikit terguncang. Aku hampir terhuyung ke belakang. Untungnya Adam menangkapku dengan sigap. Tanganku juga spontan menarik baju kaosnya, membuat kami jadi semakin dekat seakan tanpa ada jarak yang memisah kami berdua. Damn, sangat jujur, Adam memang tampan. Untuk kesekian kalinya aku mengakui itu dan untuk kesekian kalinya pula aku tersadar kalau dirinya semakin jauh dibandingkan aku. Dia jauh di atasku, sedangkan aku tetap berada di antara orang-orang tidak berdaya. "Fokus," ujarnya dalam jarak kami yang kini cukup dekat. Tidak, sangat dekat. Sampai-sampai aku kaget dengan kedekatan kami saat ini. "jangan berpikir yang tidak-tidak. Jangan bebani pikiran lo dengan hal yang tidak perlu, itu merugikan diri lo sendiri. Lo dengar enggak gue ngomong apa?" Dan bodohnya aku yang hanya bisa mengangguk. Perlahan menguraikan pegangan di baju kaos Adam, namun aku belum terbiasa dengan pergerakan eskalator itu. Aku tidak bisa berdiri dengan benar tanpa bantuan Adam, dan akhirnya aku bergantung pada cowok ini lagi daripada aku terjatuh bergelinding di eskalator ini atau lebih buruknya lagi terseret dan terluka. Atau mati karenanya. Aku tidak mau mati hanya karena itu. Setidaknya sebelum aku benar-benar meninggalkan dunia kejam ini, aku harus mengabulkan setidaknya satu keinginanku. Dengan begitu akan tenang. Kebanyakan aku hanya diam, mengikuti kemanapun Adam melangkah selayaknya aku seperti anak ayam yang mengikuti induknya. Kali ini induknya cowok tulen, tidak masalah, bukan? Toh ayam dan manusia sangat berbeda, hanya perumpamaan nya saja yang sama. Kemudian Adam masuk ke salah satu toko baju yang menjual khusus baju-baju dan keperluan sekolah. Di dalam toko itu tersedia baju sekolah umum dari SD hingga SMA. Selain itu, ada tas, sepatu, serta alat tulis lengkap. Sepertinya fokus penjualan toko ini untuk hal-hal yang berbau sekolah. "Pilih ukuran baju sekolah lo," suruh Adam kemudian menunjuk salah satu sisi yang menunjukkan koleksi baju sekolah. Dari kejauhan aku melihat ada koleksi untuk anak sekolah menengah atas. Dia melangkah ke sana, aku pun juga mengikutinya. Seperti ayam, persis. "Enggak usah sungkan, pilih aja mana yang cocok buat lo. Setelahnya nanti lo bisa cobain bajunya di sana," seperti seorang pegawai di toko ini, Adam menunjuk ke arah lain, tepatnya itu seperti sebuah lorong yang sudah disediakan khusus untuk para pelanggan yang mau mencoba baju yang hendak dibelinya. Bukan, aku lah yang bodoh dan Adam terlalu cerdas. Bahkan ada tulisan intruksi di sana kalau siapapun yang mau mencoba bisa melakukanya di sana. "Kalau lo udah merasa cocok, temui gue di bagian tas sama sepatu. Gue mau pilihin beberapa yang cocok dipakai sama lo biar enggak terlalu lama milihnya. Gue juga malas nunggu kayak orang b**o," ujarnya lagi padaku. "Oke," selain itu, aku bisa mengatakan apa? Adam lah yang tahu lebih banyak dibandingkan aku. Menjadi pendengar yang baik adalah hal yay bagus untuk aku lakukan saat ini, daripada semuanya berakhir menjadi hal yang tidak diinginkan. "Lupain semua yang udah gue bilang sama lo kalau sekiranya itu yang bikin lo kepikiran dan enggak fokus kayak tadi. Setelah ini jangan sungkan sama gue. Anggap aja kalau gue lakuin ini sebagai bentuk ganti rugi sama tas lo yang gue buang itu. Oke?" Dia membuatku teringat lagi, padahal aku sudah hampir melupakan perihal itu. Aku sudah tidak mau membahasnya. "iya, lo tenang aja. Enggak ada yang minta ganti juga kok ke lo. Lo nya aja yang mau lakuin ini, plus sebagai bentuk pertanggungjawaban lo karena menjadi ketua OSIS, kan? Jadinya gue enggak terlalu memikirkan itu. Gue tadi gak fokus karena gue kepikiran sama orang rumah. Mereka pasti menunggu gue pulang." "Oh, okey," sepertinya Adam percaya dengan apa yang aku katakan. Ia mengangguk pasti. "Gue pikir karena omongan gue. Kalau gitu lo cepat-cepat pilih baju lo, habis itu temui gue. Semoga urusan ini secepatnya kelar biar gue bisa cepat antar lo pulang." "Oke." Bertepatan dengan Adam berbalik badan, aku gerak cepat mencari ukuran baju yang cocok di badanku. Sebenarnya, agak sedikit takut dan beresiko jika mendapatkan baju baru seperti ini selain daripada pemberian Erina. Yang aku takutkan Erina akan tahu dan dia akan melapor pada Mama dan Papa, lalu setelahnya aku dihukum untuk alasan yang sedikitpun tidak masuk akal. Tapi di sisi lain, aku juga tidak bisa memakai baju bekas Erina yang sudah tidak layak pakai itu. Jujur saja, aku terkadang sedih melihat diriku sendiri. Seperti aku tidak pantas saja di dunia ini. Menjadi begitu kejam tanpa dikira. Terlalu mendalam yang aku rasakan sampai aku tidak menyadari air mataku menetes. Cemen sekali aku. Baper hatiku. Untuk hal-hal seperti ini seharusnya aku tidak menangis. Perihal itu memang sudah lama aku rasakan walau rasanya tetap saja sama. Sama-sama menyesakkan. Segera kuhapus air mata sialan itu dan terburu-buru mengambil salah satu baju sekolah putih yang ada di atas deretan di depanku kini. Aku tidak melihat ukurannya, tapi dilihat dari lipatannya sepertinya ukurannya kecil. Tidak lupa aku mengambil satu rok dan membawa dua benda itu ke ruang ganti. Syukurnya sepi dan hanya diriku yang ada di sana saat mau mencobanya. Setelah mencobanya, ternyata pas di badanku. Tidak kebesaran, juga tidak kekecilan. Seperti memang dibuat seukuran dengan badanku. Sedikit merasa bangga dengan diriku sendiri yang tanpa banyak mikir panjang tapi langsung pas. Itu seperti sebuah hal yang langka bagiku. "Mungkin aku cocok di bidang fashion," celetukku. Itu bercanda. Seribu persen memang sebuah candaan yang aku lontarkan untuk diriku sendiri. Logikanya, bagaimana mungkin aku bisa fokus di bidang fashion itu. Selain karena modalnya yang bisa dipastikan tidak sedikit, kemungkinan masa depanku juga tidak akan jauh-jauh dari urusan rumah tangga. Kasarnya sebagai pembantu. Jadi, cukup kubur saja mimpi itu dan bangkit menerima kenyataan pahit yang ada. Aku melepas baju sekolah itu dan kembali memakai baju kaos Adam. Seperti yang dibilang cowok itu, aku harus menemuinya di bagian sepatu dan tas. Aku mencarinya ke sana. Sedikit terharu melihat dia yang amat tampak serius membandingkan satu ukuran sepatu dengan ukuran yang lainnya. Sepertinya dia sedang membayangkan seberapa besar kakiku. Saking seriusnya ia tidak menyadariku. Entah mengapa itu terlihat lucu bagiku. "Ukuran sepatu gue 35." Dia langsung menoleh ke arahku dan tertawa kecil seperti orang yang baru saja ketahuan. Menggaruk kepala bagian belakangnya yang aku yakini tidak gatal sama sekali. Lagi, dia lucu, tapi juga nyebelin. Jangan lupakan yang terakhir itu. "Oh, okey. Gue lupa tanya ukuran sepatu lo. Sekarang gue tahu mau ambil yang mana," ujarnya. Lalu ia kelihatan sibuk, mencar ke sana ke mari dan aku masih berdiam di tempat semula. Ia menunjukkan ku beberapa barang, tepat di depanku. "Gue udah ambilin lo tas, alat tulis, buku, dan beberapa buku yang gue rasa lo harus baca. Menurut lo, ada yang kurang?" Kurang? Ini bahkan sangat berlebihan menurut aku. Dia memikirkan penuh apa-apa saja yang aku inginkan dan mencoba memenuhinya. Tidak ada orang sebaik dirinya. Kembali terpikirkan, apa yang bisa aku lakukan untuk membalas kebaikannya? "Itu sudah sangat lengkap bagi gue. Terima kasih banyak," ujarku terharu. Kalau aku nangis setelah ini, anggap saja hal yang wajar. Aku tidak pernah merasakan hal seperti ini, seperti seseorang dengan penuh perhatian. "Oke. Gue bawa ini ke kasir dulu biar kita cepat-cepat pulang," ujarnya. "Adam," panggilku. Aku lupa, mungkin ini pertama kalinya aku memanggil namanya, atau mungkin pernah. Intinya, aku lupa dan rasanya sangat beda. Adam berbalik, "iya?" "Sekarang giliran gue yang nanya, ukuran sepatu lo berapa?" Tanyaku. "Emangnya lo mau apa?" Tanyanya balik. "Beliin gue?" Duganya bahkan sebelum aku menjawab, dan kalaupun menjawab, aku akan mengiyakan. Memang itulah tujuanku bertanya. "Kalau nanti gue punya uang," jawabku menunduk sedih. Hanya saja aku merasa itu tidak akan pernah terealisasikan. Selamanya aku tidak akan punya uang. "Kalau lo enggak mau kasih tahu juga enggak apa-apa. Gue usahain bisa bayar semua ini dengan cara lain," imbuhku masih dengan nada yang sedih, agak lemah. "40," ucapnya. "Ukuran sepatu gue 40. Gue tunggu traktiran sepatu dari lo," katanya lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN