Bab 1. Si Anak Pungut
"Dasar si anak pungut!"
Hatiku hancur tiap kali mendengar kalimat itu. Aku hanyalah manusia biasa, tidak bisa menentukan mau lahir dari rahim Ibu mana. Lantas, kenapa semua orang begitu senang menyebutku dengan panggilan demikian seolah hidup tidak lagi pantas untukku jalankan? Tapi, hidup terus berjalan, sekuat apapun takdir berusaha menjatuhkan. Dan, inilah aku dan kisahku.
Aku Abila Sanda.
Umurku 17 tahun dan baru menginjak bangku ketiga Sekolah Menengah Atas swasta di Jakarta. Aku tinggal dalam keluarga yang sangat berada, berkecukupan, dan punya segalanya, namun kehadiranku tidak dianggap ada di dalam keluarga hangat yang mereka ciptakan itu.
Aku ingin sedikit mencicipi rasanya menjadi seorang anak yang diperhatikan dan disayang oleh kedua orang tuanya, namun sepertinya hal itu hanyalah ada dalam mimpiku saja. Kata mereka, aku adalah anak pungut dan tak pantas mendapatkan kasih sayang serta perhatian dalam bentuk apapun. Semuanya hanya tersemat indah dalam lamunanku saja. Sampai kapanpun.
Kata tak pantas itu sudah lama tertanam dalam memoriku. Sejak kecil, aku tumbuh dalam tanda perintah yang tidak bisa aku ubah menjadi tanda tanya meski satu kali pun. Masa kecil yang seharusnya dirangkai indah, bermain dengan teman sebaya, memiliki mainan yang terkadang diperebutkan hingga pulang menangis kemudian mengadu pada orang tua, atau bahkan saling tukar makanan yang konon katanya bisa saling menyayangi satu sama lain hingga tumbuh menjadi orang yang dewasa bahkan hingga tua bersama. Nyatanya, memori-memori indah sewaktu kecil itu tidak bisa aku rasakan sebagaimana mestinya. Aku malah dipaksa dewasa sebelum waktunya. Nyaris membuatku gila. Tidak, mungkin mati, lebih tepatnya.
Aku tumbuh dalam perintah, tangis, bentakan, hingga pukulan yang melahirkan sosok baru dalam diriku. Aku ditegarkan dan dikuatkan oleh keadaan yang memaksaku selalu sedia setiap saat. Bahkan saat larut malam pun, ketika mata ingin sekali terpejam erat, nyatanya aku harus berusaha tuk membuka mataku hingga perintah demi perintah mulai menghilang sejenak dan siap menyambut esok hari yang bisa dipastikan lebih banyak lagi kalimat perintah lainnya untuk kukerjakan saat itu juga tanpa cela.
Banyak orang yang berkata kalau sudah seharusnya aku bersyukur bisa tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga yang punya segalanya tanpa kekurangan sedikitpun, namun bagiku tidak. Andai mereka tahu segalanya, akan kukatakan pada dunia kalau aku bukan seberuntung yang terucap. Aku tidak diperlakukan sebagai seorang anak sebagaimana mestinya, melainkan sebagai seorang b***k yang sengaja mereka ambil dari sebuah panti asuhan karena kehilangan orang tua kandungnya, kemudian mereka besarkan hanya untuk menjadi seorang boneka yang harus balas budi seumur hidupnya pada kebaikan mereka di masa lalu. Sekali lagi, andai aku bisa tahu masa depanku seperti apa dan bisa bicara di saat aku masih dalam kandungan, mungkin akan kukatakan kalau aku tidak mau tinggal dengan pembunuh segala rasa.
Iya, mereka adalah pembunuh rasaku, tapi aku telah diperdaya dan tidak bisa membalasnya dengan impas.
Kedua orangtua yang aku anggap Mama dan Papa sampai sekarang membuatku kebingungan bukan main. Mereka jelas-jelas menyakiti tepat di depan mata dan bisa kurasakan sendiri, tapi kenapa aku malah tidak bisa membenci mereka? Bahkan apapun yang mereka katakan dan lakukan, aku terima meski nantinya aku menyalahkan diri sendiri. Tak jarang aku dibuat menangis akibat perlakuan mereka yang begitu kejam.
"Seharusnya kamu kayak kakak kamu tuh! Udah cantik, pintar, berprestasi, gak bandel kayak kamu!"
"Tapi kan kak Erina punya banyak waktu belajar, Ma. Sedangkan aku, tidak. Dari pagi sampai malam, aku kerja terus di rumah ini. Kapan aku punya waktu belajar?"
"Alah! Banyak alasan!"
Aku punya seorang kakak yang umurnya sama denganku, namanya Erina Tahsina. Dia anak kandung dari orang tua yang kini aku panggil Mama dan Papa. Kami bersekolah di tempat yang sama sejak TK hingga saat ini, mungkin tidak lagi setelah lulus SMA. Entahlah, apakah mereka membiarkanku menikmati masa-masa belajar lagi atau malah memaksaku berjibaku dengan semua pekerjaan rumah hingga masa tua menanti.
Bukan tanpa alasan kenapa aku bisa dibiarkan sekolah di tempat yang sama dengan Erina. Alasannya sama, dijadikan boneka kakakku sendiri. Aku harus mengerjakan semua tugasnya dengan benar atau setidaknya harus mendapatkan nilai tinggi di kelas. Jika hal itu tidak terjadi, maka siap-siap saja besoknya akan ada bekas kemerahan di punggung akibat cambukan ikat pinggangnya. Apapun yang aku punya, harus diambil Erina menjadi miliknya. Seutuhnya.
Erina begitu kejam. Kekejamannya ia sembunyikan dalam balutan topengnya yang terkadang membuatku muak. Ia memiliki paras yang cantik, senyumnya yang manis, pura-pura bicara santun, pura-pura lugu, pura-pura memiliki kepribadian yang positif, dan menempatkan tata krama serta kesopanan di titik teratas. Itu semua ia lakukan ketika ada di sekolah dan di tempat umum. Namun ketika sudah ada di dalam rumah, semua itu berubah drastis, berbanding terbalik begitu hebatnya. Ia lebih kejam dari yang tak terlihat, apapun yang ada di sekitarnya bisa hancur olehnya.
Dan kalian tahu siapa yang disalahkan dan siapa yang patut menjadi samsak kemarahannya?
Tentu saja aku.
Padahal aku tidak melakukan satupun kesalahan padanya.
Apakah Mama dan Papa melarangnya melakukan semua kejahatan itu padaku? Tidak sama sekali. Mereka diam seakan mereka buta dan tuli, sengaja tidak tahu menahu dengan apa yang terjadi. Mereka akan tetap memuji dan menyayangi Erina, sedangkan akulah yang dibenci dan tak dianggap oleh mereka. Terkadang, jika ada sesuatu hal yang buruk terjadi dengan Erina, aku pulalah yang menjadi korban utama Mama dan Papa. Tak jarang aku mendapatkan pukulan di tubuhku dengan batang sapu hingga membuat tubuhku memar. Tentu saja aku membela diriku sendiri, tapi itu tidak cukup. Ucapanku tidak akan didengar kecuali Erinalah yang mengatakannya dan itupun terjadi ketika Erina sudah mendapatkan apa yang dia inginkan dariku.
Miris.
Pertanyaan terbesarku sampai saat ini adalah kenapa harus aku?
Kenapa harus aku yang mereka ambil saat kecil dulu padahal mereka memiliki anak kandung yang umurnya sama denganku? Kenapa harus aku yang menanggung semua beban kesakitan ini? Dan kapan ini semua berakhir? Aku lelah terus memaksa tubuhku mengikuti keinginan mereka sedangkan pikiranku menolak telak perintah mereka.
Ah, sudahlah. Takdirku memang tak seindah kisah Cinderella. Seketika aku ingin menjadi sosok Rapunzel yang dibiarkan sendiri dalam sebuah kastil yang dibuatkan khusus untuknya dan sesekali waktu akan didatangi, tapi setidaknya aku bisa terjun dalam ketenangan meski hanya sementara waktu. Atau setidaknya aku bisa seperti kisah Putri Salju yang diberi buah apel beracun dan—
Seketika lamunanku buyar kala menabrak meja yang entah kapan ada di depanku. Tidak mungkin aku tidak mengenal meja itu. Ada ukiran namaku yang tertulis di sana. Siapa yang membawanya ke depan kelas? Bukankah seharusnya ada di barisan terakhir di dalam kelas?
Melihat Erina dan geng-gengnya keluar dari kelas XII MIPA 3 dengan senyum miring mereka seketika membuatku langsung tersadar. Tidak mungkin ada orang lain yang akan melakukan ini untukku kecuali Erina dan gengnya. Selama ini aku selalu menciptakan rekam jejak baik pada semua orang termasuk keluargaku meski aku tidak menyangka akan mendapatkan balasan yang pahit dari keluargaku.
"Ada apa in— Akhh!"
Bianca menendang meja itu dalam satu kali dorongan hingga kayunya menabrak tulang betisku. Jelas sakit, sangat sakit. Aku sampai refleks meringis kesakitan dibuatnya. Di saat aku menahan sakit , mereka malah tertawa dan berlalu pergi begitu saja. Begitu mudahnya mereka seperti itu tuk kesekian kalinya. Ketika sudah berbuat, kemudian akan kabur dengan sikap pengecut yang sudah melekat dalam diri mereka.
Tidak ada gunanya aku marah sekarang. Aku lebih memilih mendorong mejaku masuk ke dalam kelas daripada membalas mereka yang pada akhirnya nanti akan semakin gencar melakukan kejahatan lain untukku. Sakit ini bisa aku tahan meski harus tertatih-tatih berjalan menuju bagian belakang dalam kelas.
"Abi, lo udah jadi tugas matematika?"
Baru saja aku hendak duduk tuk menenangkan sakit kakiku, aku dipanggil Anisa untuk urusan tugas. Apakah seumur hidupku akan terus dikejar oleh tugas dan tugas hingga napasku ditarik paksa dari ragaku? Aku lelah. Tidakkah seseorang bisa melihatnya saat ini?
Anisa teman yang baik. Dia selalu menolongku meski dengan cara diam-diam. Terkadang Anisa lah yang memberikan pinjaman padaku untuk membeli barang-barang keperluan sekolah yang tidak mau dibelikan Mama dan Papa. Aku akan membayar pinjama itu dengan jawaban tugas-tugas. Aku tidak punya kerjaan yang bisa menghasilkan uang selain daripada menjual hasil otakku.
"Iya, Anisa. Sebentar ya, gue ambil buku dulu."
Cukup lama aku mencari-cari buku matematika yang seharusnya ada di dalam tasku. Aku ingat sekali kalau semalam telah memasukkannya, tapi kenapa sekarang malah tidak ada. Tidak tertinggal jejak sedikitpun. Padahal buku itu sangat penting bagiku, juga Anisa. Aku jadi tidak enak dengan Anisa. Dia sudah meminjamkan banyak yang untukku, tapi aku malah tidak bisa membalasnya.
"Erina lagi ya?" Tanyanya. Ia seperti paham betul apa yang terjadi.
Terpaksa aku mengangguk. "Siapa lagi kalau bukan dia." Aku murung, menghela napas panjang.
Selalu saja seperti ini. Ini tidak sekali atau dua kali Erina bertingkah. Ia selalu mencuri bukuku dan akan memberikannya pada teeman-temannya. Dia akan mengatasnamakan bukuku sebagai bukunya. Jahat? Sangat. Tapi aku malah terbiasa dengan kejahatannya itu. Terkadang aku berpikir sampai kapan Erina bertingkah demikian selayaknya seorang pencuri? Apakah Tuhan tidak mau membalikkan hatinya menjadi sosok yang baik, setidaknya satu hari saja.
Tidak enak dengan Anisa, meski bukuku sudah diambil Erina, aku harus tetap bertanggungjawab. Aku meminta buku Anisa dan dengan sisa waktu yang tersisa, aku harus menyelesaikan tugasnya. Persetan dengan tugasku, ujung-ujungnya nanti aku akan masuk ruang guru untuk disidang. Yang penting Anisa tidak dihukum.
"Lo tunggu bentar, ya. Gue kerjain tugas lo dulu," kataku pada Anisa.
***
"Sudah berulang kali kamu melakukan hal yang sama terus, Abila. Ibu sudah berikan batas toleransi untukmu sebanyak tiga kali, tapi kenapa kamu malah hobi menyia-nyiakan kesempatan yang Ibu berikan?"
Telingaku sudah bisa dipastikan memerah saat ini. Aku dihukum karena tidak mengumpulkan tugas yang sama persis dengan yang aku kerjakan di buku Anisa. Buku yang diambil Erina ternyata ia kumpulkan atas nama dirinya. Aku ingin membantah, namun tidak bisa. Aku tidak punya bukti yang cukup kuat. Kalaupun aku menjadikan gaya tulisan sebagai sebuah alasan, maka sama saja dengan menjatuhkan diri sendiri ke jurang yang sangat dalam. Pasalnya, semua halaman buku milik Erina adalah tulisan tanganku sendiri. Tangan Erina tidak boleh terkena noda tinta sedikitpun sehingga menjadikan tanganku sebagai korbannya. Sama saja. Pada akhirnya, aku tetap menjadi korban.
"Ini sudah yang kelima kalinya, Abila. Ingat, lima kali!"
Ibu guru Janet terus menarik telingaku mengelilingi lingkungan sekolah. Aku terus menundukkan kepalaku. Bukan hanya malu tapi lebih ke arah menyembunyikan air mata. Seharusnya bukan aku yang ada di posisi ini, melainkan Erina sendiri. Seharusnya bukan aku yang merasakan sakitnya, akan tetapi Erina. Tidak hanya kali ini, sebelum-sebelumnya pun akulah yang menanggung kesalahan Erina.
"Kamu tidak hanya melakukan ini di pelajaran Ibu saja, tapi di semua pelajaran kamu malas mengumpulkan tugas. Sampai sekarang Ibu tidak bisa berpikir kenapa kamu bisa naik kelas sedangkan kamu tidak pernah mengerjakan tugas satupun!"
Aku sampai tertawa kecil. Ibu guru Janet hanya tidak tahu yang terjadi sebenarnya. Andai dia tahu, mungkin dia dan Erina akan bersujud meminta maaf padaku karena sudah memperlakukanku dengan tidak layak di depan semua orang yang ada di sekolah ini. Aku bukan orang yang bodoh, tapi aku diperbodoh. Ada perbedaan yang sangat mendasar dari dua hal tersebut.
Tapi, ya sudahlah. Sudah terlanjur basah, akulah yang disalahkan. Kalaupun nanti Erina yang terbukti bersalah, Mama dan Papa akan mati-matian membersihkan nama baiknya lagi, sedangkan namaku dibiarkan terus kotor hingga tak satupun orang yang berani maju mendekat.
"Sekali lagi kamu melakukan hal yang sama, Ibu akan meminta kepada kepala sekolah agar mengeluarkan surat skorsing untukmu. Selama itu kamu bisa merenungkan kesalahanmu ada di mana."
Entah kenapa mendengar kata skorsing membuatku tertawa. "Kok diskors, Bu? Kan saya tidak memukul siapapun ataupun ngerugiin siapapun. Orang tua saya tidak pernah telat bayar uang sekolah ataupun melanggar tata tertib sekolah, tapi kenapa saya malah mau diskorsing? Lucu sekali."
Berani sekali aku mengatakannya setelah cukup lama diam selama ini. Mungkin aku sudah mulai ada di tahap lelah, sampai aku berani melawan saat ini. Sedikit lancang, tapi cukup memuaskan hatiku. Iya, terkadang kita butuh pelepasan dari semua semua rasa sakit dan kecewa.
Ibu guru Janet berhenti menarikku. Perlahan, aku berani mengangkat wajahku dan melihat ekspresinya yang menahan amarah. Lehernya mengetat, matanya melotot sampai-sampai kacamatanya ingin bergetar, bahkan mulutnya seperti bergetar menahan amarah yang sangat besar. Ah, ini tidak seberapa dengan kemarahan dari Mama dan Papa yang terkadang hanya dengan melihatnya saja sudah membuat semua bulu kudukku berdiri.
"Berani sekali kamu ketawa saat aku memberi nasihat untukmu. Kurang ajar sekali kamu!" Bentaknya.
Ah, kupingku sedikit memanas mendengarnya. Tidak hanya dari bentakan ibu guru Janet yang semakin menggelegar, namun telingaku juga sayup-sayup mendengar gosip miring tentangku. Tidak mengherankan lagi, aku sudah terbiasa. Sangat terbiasa hingga hatiku seperti batu keras buah hasil tempaan mereka. Satu hal yang menguatkanku, mereka tidak tahu yang sebenarnya.
"Berani sekali kamu gak jawab aku!"
Suaranya yang semakin menggelegar dan tangannya sudah terangkat, ingin menamparku. Hanya karena aku tidak membalasnya dan lebih memilih menatapnya, dia malah ingin menamparku setelah tadi membentak-bentak mulai dari dalam kelas sampai selesai berkeliling area sekolah. Dimana etikanya sebagai seorang guru? Katanya guru adalah panutan, apakah sikap membentak dan ringan tangan ingin memukul adalah sikap yang harus dicontoh? Bisa gempar dunia persekolahan kalau sampai itu terjadi.
Aku spontan ingin menghindar ketika tangan ibu guru Janet terangkat ke arahku. Aku ingin menghindarinya, namun sepertinya tidak perlu lagi setelah sebuah tangan menahan tangan Ibu guru Janet. Tangan dari seorang cowok yang cukup berpengaruh di sekolah ini.
Dia cowok incaran semua siswi-siswi di sekolah ini yang membuat cowok-cowok iri hati padanya. Dia laki-laki tampan, selalu juara umum satu, ketua OSIS, ketua basket, pintar main futsal, cakap berpidato bahasa Inggris, beberapa kali memenangkan lomba-lomba bergengsi di bidang akademik, dan banyak sekali kelebihan yang dimilikinya.
Dia Adam Adhinatha.
Selain bisa dalam segala hal, ada hal yang membuatnya menjadi sosok yang punya banyak pengaruh. Papanya adalah pemilik yayasan tempatku sekolah sekarang. Ia adalah gambaran paket komplit, maka tidak mengherankan banyak perempuan yang mengincarnya, termasuk Erina. Itu sudah pasti.
Aku? Maaf, tidak ada waktu bagiku menaruh perasaan pada seseorang. Hari-hariku sudah penuh dengan perintah dan perintah sehingga tidak ada waktu memikirkan hati. Dapat aman sehari saja aku sudah sangat bersyukur. Ketenangan adalah hal yang aku inginkan saat ini, juga kedepannya.
"Apakah ini patut dilihat di hadapan semua siswa-siswi, Bu?" Tanya Adam yang mewakili perasaanku.
"Lebih baik Ibu guru jangan buat keributan. Sebaiknya Ibu pergi." Adam menoleh ke arahku, jantungku seperti ditembak oleh tatapannya. Aku terkejut bukan main sampai susah bernapas. "Nanti aku yang mengurus dia. Aku sendiri yang akan melaporkannya ke Papaku," ujar Adam melanjutkannya.
"Baiklah. Kamu urus manusia yang satu ini, dan jangan membuat Papa kamu marah atau kita semua mendapatkan akibatnya."
Ketika Adam sudah turun tangan tidak ada yang berani melawan. Ibu guru Janet langsung menyetujui ucapan Adam kemudian pergi. Cowok itu kini berjalan mendekatiku, sontak aku langsung menunduk. Aku berusaha menetralkan rasa yang menurutku baru. Aku tidak pernah terpengaruh oleh tatapan siapapun selama ini, kecuali tatapan Mama dan Papa. Tapi, cowok ini bisa melakukannya.
"Gak ngerjain tugas lagi ya?" Tanya Adam tiba-tiba.
Aku mengangguk. Sepertinya dia sering memperhatikan apa yang terjadi di sekolah ini, termasuk siswa-siswi yang dihukum. Ah iya, aku lupa, dia kan ketua OSIS. Dia pasti tahu semuanya. Bahkan tanpa melihat dengan mata kepalanya sendiri, akan ada banyak orang yang siap menjadi matanya, menceritakan apa yang sedang terjadi.
"Mau ikut gue, gak?" Tanyanya.
Entah mengapa suaranya terdengar mengalun merdu di telingaku. Ini adalah percakapan pertamaku dengannya, membuat jantungku berdegup kencang. Tapi, rasa ini tidak benar. Aku tidak pantas. Sekadar berharap pun aku tidak pantas melakukannya.
"Untuk apa?" Tanyaku cukup canggung.
"Gak ada. Cari angin biar tenang," jawabnya.
Iya, aku butuh ketenangan dan dia menawarkan itu padaku. Apakah aku bisa menolak dan menyia-nyiakan kesempatan?
Tentu saja tidak.
"Boleh."
***
Aku tidak menyangka bisa mengobrol bahkan diajak berduaan dengan pria yang banyak diincar oleh semua siswi di sekolah ini. Pasti banyak yang ingin ada di posisiku, sedangkan aku mendapatkannya melalui jalur hukuman guru. Mungkin kalau mereka tahu seperti itu, banyak yang akan sengaja melakukan kesalahan supaya bisa berduaan dengan cowok ini — seperti yang aku lakukan sekarang dengannya.
Dia mengajakku ke atap sekolah. Ini pertama kalinya bagiku menginjakkan kaki di atas sekolah setelah dua tahun lamanya bersekolah di sini dan kesan pertama kali ini cukup membuatku lega. Bukan karena udaranya yang sejuk, tapi karena aku bisa menemukan rasa kebebasan meski hanya sementara. Rasa kebebasan ini ingin aku bawa pulang bahkan kalau bisa ingin aku kantongi dan kubawa kemanapun aku pergi. Aku ingin tetap merasakannya setiap saat.
Kurentangkan tanganku, kupejamkan mataku, dan kubayangkan bagaimana indahnya rasa bebas dan ketenangan ini. Bahkan aku ingin mengumpulkan semua rasa ini dalam benakku dan akan kuingat sampai kapanpun.
"Enak banget, ya?"
Suara yang terdengar sangat dekat denganku itu seketika membuat mataku terbuka. Dia ada tepat di depanku dengan senyumannya yang entah mengartikan apa, dan lagi-lagi aku dibius olehnya. Hatiku kembali berdetak cukup kencang setelah sebelumnya sudah lebih mereda. Matanya yang tajam mengunci mataku, aku tidak bisa mengalihkan pandanganku ke arah lain kecuali dirinya.
Iya, tidak salah lagi. Cowok ini memang sangatlah tampan, memiliki aura yang tidak bisa ditolak, dan satu hal yang ingin aku tanyakan padanya adalah kenapa dia menolongku alih-alih membawaku ke ruang guru dan melaporkan kesalahanku yang sampai membuat ibu guru Janet naik pitam. Dia seharusnya ikut menghukumku, bukan malah membawaku ke tempat tenang seperti ini.
"Hahaha... Kok diam sih?" Tanyanya.
Untuk pertama kalinya aku candu mendengar tawa seseorang, atau mungkin karena selama ini aku hanya mendengar tawa licik saja? Ah, sudahlah. Kalau membahas tentang kejahatan mereka memang tidak ada habisnya.
"Tadi lo tanya apa?" Tanyaku.
Cowok ini malah menggelengkan kepalanya. Dia beralih ke sudut lain dan duduk di salah satu bangku yang hampir saja rusak. Aku menghampirinya dan mengambil tempat di sampingnya. Bangku yang aku pakai hampir rusak bahkan goyang ketika aku duduki. Semoga saja benda mati ini tidak berkhianat dan membuatku terluka.
"Lo duduk di sini saja."
Dia bangun dan mempersilakanku duduk di bangku yang tadi didudukinya. Apakah pria ini memang baik atau pura-pura baik? Aku cukup muak dengan kepura-puraan.
"Tidak perlu." Aku menggelengkan kepalaku, lebih memilih duduk di bawah saja dan bersandar pada tembok pembatas atap daripada mengambil tempat cowok itu. "Gue di sini saja," kataku.
Anehnya cowok itu malah mengikutiku. Dia melakukan hal yang sama persis denganku, duduk di sampingku dan memeluk lututnya. Persis seperti yang aku lakukan sekarang. Berselang beberapa detik, ia meraih sebuah kain yang ada di bangku itu dan menggunakannya untuk menutupi pahaku.
"Terlalu terbuka, nanti masuk angin.," katanya.
Satu kata untuknya, perhatian.
"Terima kasih."
Sungguh aku tidak tahu mau mengatakan apa pada cowok ini. Aku tidak punya stok pertanyaan apapun untuknya. Aku bukanlah orang yang pandai bergaul dan bukan orang yang pandai mencairkan suasana. Pantas kalau suasana kembali sepi, membiarkan angin sepoi-sepoi yang mengisi keheningan ini.
Tidak lama setelahnya, suara bel sekolah berbunyi, pertanda harus masuk kelas untuk memulai pembelajaran lagi. Aku spontan bangun, membersihkan debu-debu yang ada di rokku. "Bel masuk udah bunyi, sudah waktunya kita masuk kelas. Terima kasih sudah bersedia ajak gue ke sini dan gue tunggu surat skorsing dari Papa lo," kataku.
Baru saja aku hendak melangkah pergi lebih dulu, ucapannya membuatku terhenti.
"Aku tahu lo tidak salah," katanya.
Aku menoleh ke belakang, melihatnya yang ternyata sedang menatapku juga.
"Tulisan salah seorang siswi sama persis dengan tulisan tangan lo," ujarnya.
.
Tidak. Dia tidak mungkin tahu yang sebenarnya terjadi. Kalau sampai dia membongkarnya, aku bisa dimarah habis-habisan atau bahkan kemungkinan terburuknya adalah dibunuh oleh Erina. Dunia harus tetap percaya kalau Erina adalah malaikat, sedangkan aku iblisnya.
Dia bangun, berdiri tepat di depanku. "Gue bicara bukan tanpa alasan. Gue tidak lupa dengan tulisan seorang perempuan yang mengutarakan perasaannya pada sebuah kertas dan dimasukkan ke kotak aspirasi bulan lalu. Gue melihatnya dengan mata kepala gue sendiri—"
"Kalau memang lo tahu segalanya, maka sekarang gue memohon sama lo untuk tutup mulut. Biarkan gue yang bersalah sampai lulus dari sekolah ini. Seharusnya itu tidak berat untuk lo karena tidak ada hubungannya sama sekali dengan kehidupan lo. Dihukum atau tidaknya, gue sudah cukup terbiasa," ujarku menyela ucapannya.
Aku berlalu pergi meninggalkannya sendirian di atap. Ini tidak aman lagi. Dia sudah tahu yang sebenarnya terjadi. Mungkin sekarang aku bisa melarangnya buka suara, tapi besok? Siapa yang bisa menjamin.
"Baru saja aku merasa ketenangan, sekarang aku gelisah lagi. Entah sampai kapan." Gumamku.
***
"Dasar tak tahu untung!" bentak Erina.
"Lo mau rebut Adam dari gue?" Tanyanya dengan suaranya tidak menurun sedikitpun, bahkan semakin tinggi setiap saatnya.
Aku hanya diam menahan semuanya.
"Lo itu tidak pantas dengannya. Lo itu anak pungut!"