Part 6 Takut

1863 Kata
Bahagia itu.... sederhana Saat kamu ada di sini, di sisiku Karena..., kamulah bahagiaku ~|~ "Kamu tahu kalau papa kena stroke?" Tanya Kanu pada Kalista, saat sedang berbicara dari hati ke hati, sambil menunggu makanan yang dipesan via on line. Kanu ingin agar Kalista makan yang banyak, setidaknya itu bisa mengurangi rasa bersalahnya. Kalista terkejut, sungguh sama sekali tak tahu kabar tentang keluarganya. Selama enam tahun ini, dia sama sekali menghindari diri dari dunia selain Kei dan dirinya. Dia bukanlah lagi seorang Diningrat. Itu yang diucapkan papanya sesaat sebelum ia memutuskan pergi. "Keesokan pagi, setelah kejadian itu, enam tahun lalu..." Kanu menarik nafas panjang, seperti tak sanggup untuk melanjutkan kalimatnya, "Mama menelponku sambil histeris. Memintaku segera datang ke sini, ke rumah ini. Saat aku sampai, kulihat mama sedang histeris, menjerit sambil marah-marah ke papa. Saat itu ada seorang perempuan. Aku lupa namanya, tapi dia seorang dokter sepertinya. Dan dia mengenalmu." Jeda sejenak, Kalista sabar menunggu apa yang hendak Kanu katakan selanjutnya. Kanu meremas lembut tangan Kalista, menatap matanya penuh frustasi. Penuh penyesalan. Penuh keinginan untuk mendapatkan maaf. "Dari dokter itu, yang ternyata dia sudah datang di malam kami menghakimimu, kami akhirnya tahu apa yang menimpamu saat kamu kuliah di luar, Lista. Kami sungguh shock. Tak percaya, kenapa kamu sampai bisa merahasiakan hal seperti ini dari kami. Pantas saja waktu itu kamu berubah. Dari gadis ceria, jadi sangat pendiam dan tertutup. Kupikir karena kamu sedang mempersiapkan diri untuk jadi seorang istri sepenuhnya. Kenapa kamu tak mau cerita, Lista?" "Karena aku takut kehilangan kamu, Mas! Aku tak sanggup jika harus kehilangan lagi. Maaf..., maaf..." Pertahanan Kalista jebol juga. Dia mengikuti Kanu yang juga menangis. Sungguh, dia tak mau lagi mengingat kejadian naas itu. "Seharusnya aku yang meminta maaf, Lista. Seharusnya aku berada di sana waktu itu, melindungimu. Tapi..." Kanu mendunga, tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Diusapnya air mata di pipi kurus itu. "Yang paling menyakitkan, saat aku baru melihat test pack di kamar mandi yang ada di dalam amplop. Aku baru tahu kalau kamu ingin memberi kejutan kabar bahagia itu padaku. Tapi malah aku yang menyakitimu. Menuduhmu yang bukan-bukan." "Kami kebingungan mencarimu, Lista. Kamu pergi tanpa membawa uang sepeser pun, tanpa membawa apa pun dari rumah ini. Kamu pergi, hanya membawa anakku." "Papa yang paling menyesal. Mama terus menyalahkan papa. Padahal akulah yang paling bersalah. Papa shock, dan kena serangan jantung. Setelah itu, papa tidak bisa melakukan aktivitas yang terlalu berat. Bahkan untuk pergi yang agak jauh pun, papa harus memakai kursi roda. Sampai sekarang, papa masih menyesali perbuatannya padamu. Karena telah mengusirmu, karena telah membuangmu. Dan aku...?" "Kamu tahu apa yang terjadi padaku? Aku sama sekali tak bisa tidur, Lista. Tiap malam, aku selalu menunggumu duduk di sini, di sofa ini. Takut kalau kamu pulang tapi gak bisa masuk karena tidak membawa kunci rumah. Setahun, Lista! Setahun seperti itu. Sampai akhirnya mama membawaku ke psikiater. Aah, aku selalu berharap ponselku akhirnya akan berdering. Menunggu kabar darimu, bahwa anak kita sudah lahir dengan selamat. Tapi... tapi... ponselku tak kunjung berdering, Lista." Kanu menangis tergugu, diraihnya tangan Kalista. Diciuminya kedua tangan itu, dan diletakkan di kedua pipinya. "Aku tahu, maaf saja tak cukup untukku. Kalian..., kalian pasti menderita selama enam tahun ini. Kalian pasti susah selama enam tahun ini. Kami sudah mencarimu ke mana-mana, sampai mama nekat membeli rumah mbok di kampung, biar bisa tahu kalau kalian ke sana. Tapi ternyata, kalian bahkan sama sekali gak ke sana." Kanu mengusap air mata di pipinya dengan kasar. Dia harus menumpahkan semua yang dipendamnya selama enam tahun ini. Kalista harus tahu betapa dia menyesal. "Enam tahun, Lista, enam tahun. Sampai mama takut kalau kamu nekat bunuh diri. Tapi aku tahu kamu tidak mungkin melakukannya, karena kamu orang yang taat agama. Apalagi ada tanggung jawab satu lagi, ada Kei. Enam tahun, tak putus asa kami mencarimu. Bahkan sampai semua medsosmu aku bajak, tapi sama sekali tak ada aktivitasmu di medsos. Teman-teman, sahabatmu pun juga tak tahu." Suara Kanu semakin lirih. "Aku seperti orang gila, Lista. Tiap kamu ulang tahun, tiap aku ulang tahun, tiap anniversary pernikahan kita, aku selalu merayakannya, seorang diri. Menunggu di sini, dengan sepotong cake coklat kesukaanmu. Berharap akan ada kejutan darimu. Tiba-tiba kamu datang, atau setidaknya menelponku memberi kabar. Mama dan papaku sampai takut aku benar-benar gila karena kehilangan kamu." "Bukankah sudah ada penggantiku?" "Pengganti?? Maksudmu?" "Perempuan hamil yang tadi di Dufan, bukankah dia penggantiku?" Tanya Kalista lirih. Perih, saat mengucap kata pengganti. "Oooh dia? Kamu cemburu?" Kanu berubah ceria. Didengarnya tadi ada nada cemburu di suara Kalista. Kalista menggeleng. Semakin memperkuat dugaan Kanu karena perempuan biasanya bersikap sebaliknya. Antara bibir dan hati dan gesture tubuh. "Aku senang kamu masih punya rasa cemburu untukku, Lista. Karena itu artinya kamu masih mencintaiku. Benar kan?" Kembali Kalista menggeleng. Membuat Kanu semakin gemas. "Dia Ina. Sepupuku, dari Malang. Putrinya tante Rosa. Dia datang pas akad nikah kita saja tapi pas resepsi gak bisa hadir karena harus mengikuti suaminya yang ada tugas negara. Enam tahun aku puasa, Lista. Terserah kamu mau percaya atau tidak. Tapi, kamu yang halal untukku. Hanya kamu!" Pipi Kalista bersemu pink. Kalista menunduk malu. Ketahuan cemburu. Kanu mengangkat dagu itu. Nekat, kembali mencoba melumat bibir Kalista. Dia tahu kelemahan istrinya. Dibelainya rambut hitam panjang Kalista. Tangannya merengkuh leher belakang Kalista, agar ciuman mereka tak terlepas. Agar dia bisa mencium istrinya semakin dalam. Saat dia merasa Kalista memberi akses, karena juga membalas ciumannya, saat itulah dia semakin berani. Tangannya sudah gerilya, menjelajahi tubuh Kalista yang sekarang kurus. Aah, ingatkan dia untuk memberi banyak makanan bergizi pada Kalista. Direbahkannya tubuh Kalista ke sofa tanpa mau melepas ciumannya. Dia sungguh menginginkan Kalista malam ini. Demi Tuhan, enam tahun dia puasa! Mata Kalista semakin sayu, pasrah pada cumbuan Kanu. Hilang sudah akalnya. Dia juga sungguh rindu pada Kanu. Dia juga ingin melampiaskan rindunya, pada suaminya. Kalista benar-benar sudah pasrah. Menyerah pada Kanu. Kaos yang dikenakannya sudah terlepas. Bra-nya pun sudah entah di mana. Kanu benar-benar memanjakannya. Dia merasa seperti ratu. Diperlakukan sungguh istimewa. Berdua mereka bergumul, terengah. Dan saat Kanu benar-benar akan melakukan penyatuan itu, tiba-tiba... "Ibu.... ibu.... di mana? Ayah...! Ayah jangan tinggalin Kei lagi. Ini di mana sih? Ibu...!" Terdengar suara tangisan Kei yang menjerit. Reflek, Kalista mendorong tubuh polos Kanu hingga ia terjatuh, dan duduk di lantai dengan wajah memerah. Demi Tuhan, Ya Allah... padahal mah tinggal... aagrh... "Maaf... Mas, maaf... itu Kei nyariin kita." Kata Kalista sibuk memakai kaosnya, bahkan tanpa bra. Dan segera melemparkan kaos Kanu untuk segera dipakai. Kanu yang masih terengah, belum sadar akan apa yang terjadi, tampak linglung. "Mas... pakai bajumu. Itu Kei ke sini!" Panik, Kalista akhirnya ikut membantu Kanu memakai kaosnya. Akhirnya Kanu dengan sigap segera memakai celana pendeknya saat mendengar suara Kei. "Ibu... ayah... lagi ngapain? Kenapa ayah duduk di lantai?" Tanya Kei dengan mata masih mengantuk. "Eeh ini... eumm... ayah lagi pijitin tangan ibu. Kan kasihan tadi ibu gendong Kei sekarang badannya pegal." Jawab Kanu asal. Kalista nyengir saja. "Katanya pijitin tangan ibu, tapi kok yang dipegang ayah malah kakinya ibu, sih? Tangan tuh di atas yah!" Protes Kei sambil menunjuk ke arah tangan Kanu, yang memegang kaki Kalista. "Eeh iyaaa... ayah salah ya, Kei?" "Kei kenapa bangun nak? Sini duduk dekat ibu!" Kei duduk di sebelah Kalista, yang tampak kikuk karena kaget. Sementara Kanu meringis, merasakan juniornya yang terpaksa harus turun lagi. Padahal naiknya gampang, tapi suruh turun lagi kan susaaaah! Duuh... "Bu... ibu demam ya?" Tanya Kei dengan nada cemas. Tangannya reflek memyentuh kening ibunya. "Enggak kok, Kei. Kenapa?" "Demam itu sakit menular bu? Ayah juga demam?" Kanu dan Kalista berpandangan, bingung. Keduanya kompak menggeleng. "Kalau enggak, kok muka ibu dan ayah sama-sama merah? Kata ibu pas Kei panas waktu sakit, Kei kena demam muka Kei merah. Ini muka ibu merah, tapi gak panas." "Ooh itu... euummm... Hehehe...." Kompak lagi, keduanya hanya bisa saling berpandangan. "Kei kenapa bangun nak?" Kalista segera mengubah topik pembicaraan sebelum Kei makin penasaran. "Kei takut sendirian bu. Lagian Kei lapar lagi. Mau makan lagi boleh kan yah?" "Tentu boleh sayang, ayah sudah pesan banyak makanan buat kita bertiga. Kei dan ibu harus makan yang banyak ya. Biar badan ibu jadi berisi lagi. Gak kurus banget gitu." Jawab Kanu sambil melirik Kalista, yang tampak melotot ke arahnya. Aah inilah bahagia yang sebenarnya Tuhan. Dan semoga kebahagiaan ini akan berlangsung selamanya. Aku tak mau kehilangan lagi. Tidak setelah enam tahun kami berpisah. Bertiga mereka makan banyak makanan yang dipesan Kanu. Kei terutama yang paling senang. Semua makanan yang mahal baginya. "Mas, aku mau tidur dulu. Ngantuk banget. Kei main sama ayah dulu ya. Jangan lupa nanti gosok gigi lagi. Dan sholat Isya! Bareng ayah ya, berjamaah." Pinta Kalista lembut. Dijawab anggukan oleh Kei dan Kanu. "Kei... habis makan kita telpon Eyang yuk!" "Eyang Sastro ya yah? Tapi Eyang Sastro kalau malam gini sudah tidur loh yah." "Bukan Eyang Sastro, tapi Eyang Uti. Nenek Kei dari ibu, dan Oma, nenek Kei dari ayah. Mereka pasti bahagia melihatmu nak." "Waah Kei juga yah. Eyangnya Kei ada banyak banget ya kalau gitu?" Kanu segera menelpon mamanya. Oma, Kei memanggilnya. Sang Oma tampak sangat terharu dan bahagia melihat cucunya yang hilang, akhirnya ketemu juga dengan ayahnya. Untunglah Kei mudah akrab, jadi tak ada rasa canggung walau baru pertama kali video call dengan Oma. "Nu..., besok mama dan papa pagi-pagi ke rumahmu ya. Jaga Kei. Jaga Kalista baik-baik. Jangan sampai dia pergi lagi. Kamu sudah minta maaf? Minta ampun pada Kalista? Kesalahanmu begitu besar, Nu. Pastikan maaf Kalista untukmu dan segera atur lagi pernikahan kalian. Kita bertemu besok. Kamu segera kabari keluarganya Kalista ya!" Kalista ikut mendengar percakapan itu dari kamar. Hatinya terenyuh. Dia tahu suaminya menyesali perbuatannya. Tapi bagaimana dengan papanya? Kembali berkelebat, kemarahan papanya. Tak terima karena Kalista telah mempermalukan nama keluarga Diningrat. Kalista menunggu Kanu menelpon mama papanya. Dia sungguh kangen pada mereka. Orang tuanya. Dia ingin sekali mendengar suara mama tercinta. Dan dia mendengar mamanya menangis tersedu saat melihat Kei yang sudah besar. Tak terdengar suara papanya. Mungkin papa sudah tidur. Dia coba mengintip, melihat Kei yang tampak bingung karena semua eyang yang ditelponnya malah menangis. "Ayaaah... Kenapa eyang uti malah nangis? Tadi Oma juga nangis pas lihat Kei. Memangnya Kei bikin sedih semuanya ya ayah?" Tanyanya dengan wajah bingung ke Kanu, yang matanya juga tampak berkaca-kaca. "Ayah kenapa juga nangis? Kei jadi pingin nangis juga... huwaaaa... Ayah jangan nangis, eyang uti juga jangan nangis!" "Cup... cup... jangan nangis Kei sayang, eyang dan oma menangis bukan karena sedih melihat Kei. Tapi karena mereka bahagia, gembira karena akhirnya bisa melihat Kei. Eyang dan Oma sudah lama banget pingin ketemu Kei. Sama seperti ayah, nak. Kami menyayangimu, ayah sungguh sayang sama Kei. Nah, besok, kita semua akan berkumpul. Bertemu. Ibu, ayah dan Kei akan bertemu eyang uti dan kakung, dan oma opa. Mereka akan bawa banyak hadiah buat Kei." Mendengar kata hadiah, mata Kei kembali bersinar. Aah dasar anak-anak. "Nu..., mama dan papa lagi di Bandung. Tapi besok pagi-pagi sehabis subuhan, Insya Allah kami akan langsung ke Jakarta. Sampaikan salam kami ke Lista. Sampaikan maaf kami padanya. Mama dan papa sungguh kangen pada Lista, dan Kei. Tolong, jaga mereka berdua." Kalista menangis. Dia juga ingin ketemu mamanya, memohon maafnya. Tapi dia takut pada papanya. Takut diusir lagi, takut dimarah lagi. | | | Jakarta, 6 Mei 2019
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN