Hati-hatilah dalam berlisan!
Apalagi jika engkau seorang suami, yang sangat dihormati kedudukannya di agama.
~~~
"Sudahlah mas, aku sudah memaafkanmu. Lagipula itu sudah lama terjadi. Dan aku sungguh ingin melupakan itu semua. Jangan diungkit lagi ya? Kumohon?" Tak tahan, Kalista akhirnya mengelus rambut Kanu penuh kelembutan. Tak mau munafik, dia juga rindu pada Kanu. Suaminya, cinta pertamanya dan sungguh berharap akan jadi cinta terakhirnya.
Bagaimanapun juga dia turut bersalah karena tidak dari semula bercerita tentang keadaan dirinya. Karena tak jujur sedari awal. Dia tak mau kehilangan Kanu. Karena dia sungguh ingin melupakan peristiwa itu. Dia masih trauma. Sampai sekarang pun masih! Masih takut gelap, masih takut sendirian. Dia tak mau orang lain tahu, bahkan mama papanya dan calon suaminya. Cukup hanya terapis dan orang yang menolongnya saat itu.
Kanu mendunga. Bibirnya tersenyum. Yaa dia tahu, karena kemuliaan hati, Kalista yang mau memaafkannya, tapi mungkin belum melupakannya, melupakan kesalahannya.
Mata mereka beradu. Kanu mendekat. Diciumnya bibir Kalista perlahan. Dia hanya sungguh rindu pada Kalista. Tak ada penolakan, tapi juga tak ada balasan. Mungkin Kalista juga bingung harus bagaimana.
"Aku kangen kamu! Kita masih suami istri kan?! Aku tak pernah menggugatmu, Lista. Aku tak pernah mendapatkan akta itu! Aku bahkan tak pernah datang ke pengadilan. Aku masih suamimu!" Bisik Kanu putus asa. Dia bahkan tak mau mengucapkan kata cerai! Kalista yang dihadapannya sekarang, bukanlah Kalista yang dulu. Bukanlah Kalista istrinya. Akhirnya dia tahu kesalahannya sungguh besar.
"Tapi kamu mengembalikan aku ke mama papa, mas! Lupakah? Secara hukum negara kita memang masih resmi suami istri karena tidak ada gugatan. Lihatlah, bahkan cincin kawin kita pun masih aku pakai." Jawab Kalista tersenyum sembari menunjukkan jari manis kanannya yang terpasang cincin kawin.
"Tapi, secara hukum agama, kita sudah pisah. Mas mengembalikan aku."
"Tapi aku tidak memberi talak, Lista! Aku... aku... aah... kumohon Lista..., stay, please stay! Jangan pergi lagi. Jika kita harus menikah lagi di depan penghulu dan saksi, besok kita bisa menikah lagi. Demi kita, demi Kei. Demi kamu, demi aku... Di akherat nanti aku tak mau dihisab karena menelantarkan anak istri."
"Aku... aku... Maaf Mas... jangan mendesakku sekarang. Beri aku waktu."
"Akan kuberi, selama yang kamu butuhkan, asalkan kita kembali bersama! Sekarang mandilah. Pakai saja bajuku. Baju-bajumu masih rapih di lemari tapi sudah lama gak dipakai jadi mungkin bau apek. Kusiapkan dulu bajumu ya. Aah ya, tadi aku juga sudah beli daleman buatmu, kamu pasti butuh kan?" Kanu berdiri, sambil memegang kedua tangan Kalista hingga dia juga ikut berdiri.
"Aku mandi di kamar mandi tamu. Kamu di kamar kita saja. Tapi pelan-pelan, takut Kei terbangun."
Kalista masuk ke kamar yang dulu dia gunakan bersama Kanu. Tidak ada yang berubah. Letak barang juga masih sama. Cat kamar juga masih sama. Dibukanya lemari pakaian. Baju-bajunya masih rapih tersimpan di situ. Gaun pestanya pun masih tergantung rapih. Disentuhnya gaun pesta itu. Aah, kebaya putih yang digunakan saat akad juga masih ada di lemari itu. Masih rapih, di dalam plastik, tergantung. Tak mau mengenang masa lalu, Kalista segera masuk kamar mandi. Dilihatnya sekilas, Kei yang tertidur pulas memakai piyama yang baru dibeli. Bahkan tak perlu dicuci dulu. Biarlah dia akan mencucinya nanti saja.
Dulu, tiap kali selesai mandi, dia selalu melakukan perawatan tubuh. Memakai lotion terbaik, lotion mahal, memakai parfum terbaik. Sekarang, cukuplah memakai lotion yang berharga beberapa belas ribu saja. Tak perlu parfum mahal, cukup memakai deodoran yang dibeli di minimarket.
Dilihatnya sekarang, hanya ada perlengkapan mandi pria. Milik Kanu. Kanu bukanlah cowok metrosexual yang mementingkan perawatan tubuh yang kadang mengalahkan perempuan. Hanya cukup memakai after shave dan parfum lumayan mahal. Channel Bleu.
Kalista menepuk keningnya karena lupa membawa lotion ke kamar mandi. Terpaksa hanya dengan tubuh berlilitkan handuk, rambut panjang basah tergerai, dia keluar kamar mandi. Mengubrek tas ransel lusuhnya, mencari lotion. Dia tak menyadari, ada Kanu yang sedang duduk di pinggir ranjang.
Terlambat! Saat Kalista ingin masuk ke kamar mandi, Kanu sudah menyambar tubuh kurusnya. Kanu memepet tubuh Kalista ke dinding. Harum sabun dan shampoo maskulin miliknya, menguar. Kanu tak peduli dengan status mereka. Dia tetap bersiteguh bahwa mereka masih resmi suami istri.
Diciuminya kalap bibir itu, seperti frustasi, ingin menyampaikan rindu yang terpendam selama enam tahun ini. Dia tak mau kehilangan lagi. Saat Kalista juga sudah mulai lupa diri, karena ciuman dan rabaan Kanu di tubuhnya, tiba-tiba, Kei mengigau. Dalam tidurnya Kei memanggil nama ayahnya.
"Ayaaah... Kei mau itu... mmmm..." gumaman tak jelas Kei membuat kesadaran Kalista kembali.
Pipinya yang memerah, matanya yang sayu, membuat Kanu semakin menginginkannya. Tapiii...
"Maaf..., aku tak bisa! Kita bukan suami istri lagi, Mas." Isak Kalista di pelukan Kanu, membuatnya tak tega untuk melanjutkan keinginannya.
Akhirnya dengan berat hati, Kanu menyelimuti tubuh polos Kalista memakai handuk yang tadi terjatuh.
"Pakailah baju. Kutunggu di ruang tivi." Bisik Kanu. Dia tahu, harus sabar menunggu. Kalistanya berubah. Dan dia yang membuat perubahan itu. Semua karena lisannya, lisan sebagai seorang suami yang mengembalikan istri ke keluarganya. Lisan yang terucap dengan emosi. Maka dari itu, berhati-hatilah dalam berucap kata. Jagalah lisanmu! Apalagi jika kamu seorang suami, yang kedudukannya sangat dihormati di agama.
Semua karena Lisan yang Tlah terucap!
|
|
|
Jakarta, 5 Mei 2019