Part 13 Layani Aku, Sekarang!

1600 Kata
Lamunan Kanu terputus, saat didengarnya suara seorang perempuan menyapanya. "Maaf Mas..., hari ini kami libur. Monggo datang lagi saja besok." Seorang perempuan berusia setengah abad lebih, masih berkebaya dan memakai kain jarik batik khas Solo, menegurnya. Perawakannya mengingatkan Kanu pada mbok yang selalu setia bersama Kalista. "Eeumm... anu... nuwun sewu..." Balas Kanu, berusaha menjawab dengan bahasa Jawa sebisanya yang dia tahu, tapi dengan logat Jakarta yang kental, membuat ibu di depannya tersenyum. "Saya eumm... mencari Kalista dan Kei. Apakah mereka ada bu?" Lanjut Kanu. Ibu di depannya tampak memindai Kanu dari atas sampai bawah. Sedikit curiga sepertinya. Keningnya bahkan sampai berkerut. Seperti pernah melihat wajah lelaki tinggi tampan itu, tapi juga tak begitu yakin. "Nuwun sewu, Mas ini siapanya Mbak Kalista dan Kei?" Tanyanya dengan nada curiga. "Saya.... " berhenti sejenak untuk berpikir apakah sebaiknya dia berterus terang atau tidak. "Saya ayahnya Kei bu." Akhirnya Kanu berkata yang sebenarnya. Pengalaman mengajarkan bahwa dengan jujur hasil akhirnya akan baik. Toh dia memang ayahnya Kei kan? "Oalaaah ayahnya Keisha thooo... Pantesan dari tadi tak (=saya) lihat kok kaya mirip siapa gitu. Pantesan Keisha duwur (=tinggi), bongsor, lah bapake gede duwur, bagus ngene (= tinggi, besar, ganteng begini)." Si ibu itu tampak mengagumi lelaki tampan di depannya ini. Membuat Kanu jadi kikuk sendiri. "Eeumm... Keisha-nya ada bu?" "Eeh laah dalah, kok lali aku (= kok lupa aku), Mbak Kalista dan Keisha pergi sama Mas Dirga tadi pagi. Pulangnya mungkin siang. Kalau simbok sedang belanja ke pasar, sebentar lagi pulang." Jelas ibu itu, bahkan tanpa diminta juga menjelaskan ke mana simbok pergi. "Kalau yang punya galeri ini bu, apakah ada di rumah? Saya mau bertemu sekalian. Oh ya, kira-kira Kalista dan Kei pergi ke mana ya bu?" "Ndoro Sastro sedang tindak (= pergi), mau bertemu pejabat siapa gitu. Katanya sebentar lagi mau ada acara pameran di luar negeri sono. Ini makanya lagi sibuk banget." "Kalau Mbak Kalista dan Mas Dirga mengunjungi teman Mas Dirga yang kemarin baru menikah. Baru bisa datang hari ini karena kan Mas Dirga juga baru sampai kemarin sore. Mau langsung datang katanya ndak enak, mosok mengganggu pengantin baru." "Pengantin baru? Kondangan maksudnya ya bu?" "Ngendikane sih pingin jagongan ngoten (= katanya sih pinginnya kira-kiranya kondangan begitu, kurang lebih gini yaa). Maaf saya masuk dulu ya Mas. Monggo, duduk dulu, saya ambilkan minum. Sakeca'aken mawon nggih (= kira-kira Feels at home gitu deh)." Kanu duduk di kursi jati model dipan yang disediakan di ruang pendopo nan luas itu. Sepertinya pendopo utama. Ada lemari kaca besar yang berisi kain batik dan kebaya milik galeri ini. Ada foto-foto, sepertinya si empunya rumah - Eyang Sastro - bersama pejabat-pejabat. Kanu menelan ludahnya, di foto itu tampak aura Eyang Sastro yang sangat khas. Mendominasi. Khas darah biru. Tak terlalu banyak mengumbar senyum, tapi tetap memikat. Kanu mencari foto seorang pemuda, yang mungkin seumuran dengannya yang dia kira adalah Dirga-dirga itu. Tapi tidak ada. Malah di meja marmer bulat yang terletak di sudut, yang dia tahu berharga sangat mahal, ada foto Kei yang sedang tertawa lebar, dipangku Eyang Sastro. Di foto itu, Eyang Sastro tampak berbeda. Lebih lembut. Sorot matanya penuh kasih sayang ke Kei. Sepertinya Eyang Sastro sangat menyayangi Kei. Syukurlah... Kei dan Kalista diterima baik di sini. Tapi... mama bahkan boro-boro memangku Kei, melihat secara langsung saja belum pernah. Puas melihat beberapa foto dan koleksi galeri itu, akhirnya Kanu memutuskan untuk duduk saja, menunggu. Berharap mereka segera pulang. Dia rindu. Rindu pada Kei, putrinya, dan terutama pada Kalista. "Monggo diunjuk dulu Mas. Teh manis dan pisang goreng hasil kebun sendiri." Suara perempuan paruh baya tadi kembali terdengar. Kanu mengangguk dan mengucapkan terima kasih. "Barusan Mas Dirga telpon, katanya masih agak lama sampai di rumah. Karena belum bertemu pengantin barunya. Tapi saya gak bilang kalau Njenengan (=Anda) datang. Nuwun sewu, saya tinggal dulu ya Mas. Monggo diunjuk riyen (=Silakan diminum dulu)." Kanu kembali melanjutkan lamunannya. Pengantin baru...? Kenapa Kalista dan Kei harus ikut si Dirga-dirga itu sih? Ada hubungan apa di antara mereka? Semoga tidak ada hubungan apa pun. Tapi, apakah aku dan Kalista pernah merasa seperti itu, menjadi sepasang pengantin baru yang seharusnya dalam puncak kebahagiaan karena akhirnya bersatu dalam pernikahan? Sepertinya tidak. Aku malahan menganggap Kalista tak ada, tak pernah ada, walau dia sepenuh hati melayaniku, melaksanakan tugasnya sebagai seorang istri yang baik, sangat baik malah. Hanya saja, hati dan pikiranku sudah tertutup oleh prasangka. Suasana yang senyap membuat Kanu kembali larut dalam lamunannya, pada masa lalunya. Saat masih bersama Kalista. Masa di awal pernikahan mereka. Setelah malam pertama itu, Kanu menunggu Kalista untuk memberi penjelasan sejelas-jelasnya padanya. Kecewa?? Tentu saja dia sungguh kecewa. Perempuan yang dia idam-idamkan selama ini, perempuan yang selalu dibanggakan oleh keluarganya bisa membawa diri sesuai norma, ternyata tak seperti yang dikatakan. Dua hari berlalu, tiga hari, seminggu, dua minggu, sebulan... Kanu tetap menunggu inisiatif Kalista untuk berkata jujur padanya. Sayangnya Kalista tetap diam. Sama sekali tidak mau membicarakan akan hal itu. Kesal tingkat dewa, kecewa, marah, semua bercampur menjadi satu. Dia hanya ingin tahu siapa? Siapa laki-laki sialan itu yang sudah.... aaah... sudahlah... sekarang hanya tinggal menunggu kejujuran Kalista. Yang lebih mengesalkan lagi, sebagai laki-laki normal yang sudah merasakan hubungan suami istri, yang sudah punyai istri yang halal, Kanu hanya mau melakukan itu pada istrinya, Kalista. Tidak sering, hanya saat dia kepingin saja. Sayangnya semua dilakukan tanpa rasa. Plain, datar. Hanya sekedar melampiaskan birahi pada yang halal. Hanya sekedar memenuhi kewajibannya sebagi seorang suami yang sudah berjanji untuk memenuhi kebutuhan istrinya lahir batin. Kanu tahu Kalista juga kecewa padanya. Kanu tahu tiap kali mereka selesai berhubungan suami istri, Kalista diam-diam menangis. Dia tahu kalau Kalista tidak menikmati hubungan yang mereka lakukan. Kalista tampak sedikit terpaksa melayaninya, tak nyaman melayaninya, tapi dia tidak pernah menolak keinginannya. Karena Kanu tahu, Kalista tidak akan pernah menolak keinginannya itu. Kalista tampak sedikit terpaksa melayaninya, dan sepertinya malah ketakutan tiap kali Kanu memintanya. Kanu pikir, itu karena Kalista takut dia akan memaksa untuk mengaku. Tapi ternyata bukan karena itu. Istrinya tetaplah seorang perempuan yang butuh disayangi, dihormati, dikasihi. Dan semuanya terlambat dia sadari. Kalista selalu mengutamakannya. Meskipun bekerja di kantor papanya, Kalista tetap berusaha menomorsatukan dirinya. Selalu pulang kantor lebih dulu darinya. Aah ya, dia tak pernah mau mengantar jemput lagi seperti saat sebelum menikah. Lihatlah, betapa jahat dirinya. Dan sekarang dia menerima balasannya. Jadi wajar saja jika Kalista sakit hati karena tindakannya itu. Setelah Kalista pergi, Kanu baru menyadari betapa Kalista berusaha yang terbaik untuk bisa diterima menjadi seorang istri. Rumah selalu beres - walau ada andil simbok tentu saja -, masakan Kalista juga selalu enak, cocok dengan lidahnya yang memang suka makan berat. Kalista selalu menyiapkan makanan untuknya baik sarapan, atau makan malam. Waktu itu dia selalu pulang malam. Kanu membuka pintu rumah perlahan. Sudah jam sembilan malam. Selalu seperti ini hari-harinya sebagai pengantin baru. Di saat pengantin baru lainnya sedang indah-indahnya menikmati malam, dia malah menghindar dari istrinya. Sengaja berangkat lebih dulu daripada Kalista dan pulang lebih malam. Hingga tak perlu ada interaksi terpaksa di antara mereka. Dia berjalan perlahan, agar tidak berisik, karena lampu di ruang makan dan ruang keluarga yang masih terang, artinya Kalista masih terbangun, tapi dia malas berbasa-basi. Tiba di ruang keluarga, dilihatnya televisi yang masih menyala. Tapi tidak terlihat sosok Kalista. Acuh saja dia berjalan, perutnya kelaparan, tujuannya satu, meja makan! Dia tidak suka beli makanan di luar, karena terbiasa makan masakan mamanya. Tapi ternyata, di sofa depan televisi, dia melihat Kalista yang tertidur dengan posisi meringkuk, seperti bayi. Tanpa sadar, langkah kakinya berbelok menuju Kalista. Dia berjongkok di dekat sofa itu. Diusapnya pelan rambut Kalista, pipinya... dan bibirnya. Demi Tuhan, aku mencintaimu, Lista. Tapi kenapa kamu berkhianat? Kenapa? Padahal kamu sudah janji! Kanu baru sadar pipi Kalista semakin tirus, bahkan setelah lima bulan pernikahan mereka, Kalista malahan semakin kurus. Pastinya dia tertekan akibat sikapnya. Tapi dia butuh penjelasan Kalista. Dia sangat butuh itu. Puas memandangi Kalista yang tertidur, Kanu akhirnya menuju meja makan. Dibukanya tudung saji. Air liurnya menetes, perutnya semakin keras bernyanyi, melihat makanan yang tersaji. Sederhana saja, tapi itu makanan kesukaannya. Pepes peda! Ada tempe tahu goreng, lalapan dan sambal super pedas. Tak sabar, Kanu segera mencuci tangannya. Tak dihiraukannya lagi Kalista. Sepertinya pepes peda jauh lebih menarik untuknya saat ini. Selesai makan, Kanu segera beranjak, mematikan lampu di ruang makan, mematikan televisi, melihat ke arah Kalista sebentar, hanya sekilas saja. Sebelum akhirnya berjalan menuju kamar. Usai mandi, ternyata Kalista belum juga ada di ranjang mereka. Tubuhnya lelah, capek hati dan pikiran. Dia memejamkan mata, berusaha mengistirahatkan tubuh dan pikirannya. Sayangnya sudah lebih dari sepuluh menit tapi matanya masih menolak untuk tidur. Selalu seperti ini. Seringkali saat dia pulang malam, Kalista setia menunggunya, bahkan sampai tertidur di sofa. Atau kalau Kalista masih terbangun, dia akan acuh saja berjalan menuju kamar, walau Kalista heboh menawarkan makan malam. Tapi malam ini dia butuh Kalista. Dia menginginkan Kalista untuk melayaninya. Mendesah keras, Kanu bangkit dari tidurnya dan membuat bunyi berisik di ruang makan. Berharap Kalista bangun dengan sendirinya, jadi dia tak perlu membangunkan Kalista kan? Dan benar saja, Kalista terbangun, kaget. Dengan mata yang masih mengantuk, Kalista segera bangun dan bertanya cemas pada Kanu. "Euum... ada apa, Mas? Mau makan? Aku siapkan dulu ya. Maaf tadi ketiduran." Kalista segera sibuk hendak menyiapkan makan malam untuk Kanu, sampai tidak melihat makanan di meja makan sudah berkurang. "Aku sudah makan barusan." Kalista berbalik agar bisa melihat Kanu. Diliriknya tempat sampah, ada daun pisang pembungkus pepes. Dia tersenyum senang karena Kanu masih mau makan masakannya. "Eeh iyaa... euum... Mas mau apa? Aku buatkan coklat hangat ya, mau?" Kalista meraih mug bertulis "Suami" milik Kanu. Tapi mug itu terlepas dari tangannya saat mendengar kalimat yang keluar dari mulut Kanu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN