"Layani aku, sekarang!"
Boro-boro berharap ada rayuan manis, bahkan sama sekali tidak ada kelembutan pada suara itu. Dingin, tegas, tidak menerima penolakan. Seperti sebuah perintah saja.
Kalista meletakkan kembali mug itu, untunglah tidak pecah, karena gerak refleknya yang lumayan bagus. Menarik nafas panjang beberapa kali, Kalista kemudian menyusul Kanu yang sudah lebih dulu masuk kamar mereka.
Seperti sebelumnya, tidak ada kelembutan, tidak ada kecupan, tidak ada cumbuan, tidak ada rabaan di sekujur tubuhnya yang semakin kurus, entah Kanu sadar atau tidak akan hal itu.
Kalista meringis kesakitan, nyeri sangat terasa saat Kanu melakukan penyatuan itu. Selalu seperti ini. Tak pernah Kanu membuatnya siap. Nyeri, sungguh sakit Kalista rasakan di organ intimnya. Tapi, yang paling sakit terasa, di d**a kirinya. Kanu hampir tak pernah menganggapnya sebagai seorang istri. Sepertinya, Kanu hanya melampiaskan birahinya saja. Kalista merasa tak ada bedanya dia dengan perempuan-perempuannya di luar sana yang menjajakan tubuhnya. Entah demi rupiah atau hanya untuk bersenang-senang saja.
Memikirkan itu, tanpa terasa air mata menetes, bahkan pada saat Kanu masih ada di atasnya. Kanu bukannya tak tahu kalau Kalista menangis tiap kali dia minta jatahnya. Kanu tahu Kalista tidak menikmati penyatuan mereka. Kanu tahu Kalista tersiksa, terpaksa melayaninya. Yang Kanu tak tahu adalah apa sebabnya hingga seperti itu.
Apakah mungkin Kalista memikirkan laki-laki lain, bahkan pada saat mereka sedang melakukan hubungan suami istri? Membandingkan antara dirinya dan laki-laki lain, laki-laki sialan, siapa pun itu?!
Memikirkan hal itu, membuat emosi Kanu memuncak. Hingga hilang kelembutan saat penyatuan mereka. Kali ini dia sungguh kasar, tapi Kalista diam saja, pasrah pada perlakuannya, hanya tampak kesedihan di mata indah itu. Kanu tak mau melihat mata indah yang sekarang ada kolam air mata. Untuk kesekian kalinya, dia menyakiti Kalista. Dia juga sedih, dia juga kesal, pada Kalista dan dirinya sendiri. Dia menutup matanya dan segera menyelesaikan hasratnya!
Tak lama setelah itu, setelah tenaganya dirasa cukup, Kanu berdiri, memakai pakaian dan beranjak hendak keluar kamar. Tak dipedulikannya Kalista yang sedang terisak perlahan, menahan tangisnya agar tidak menjadi semakin keras. Kalista berusaha menutupi tubuh polosnya memakai selimut. Tangannya bergetar, gemetar karena menahan perih, sakit dan takut. Kalista bahkan tidak peduli Kanu sudah memakai bajunya dan berniat meninggalkannya. Bahkan dia merasa lebih rendah dibanding para perempuan penjaja kenikmatan dan tubuh mereka.
Sebelum membuka pintu, Kanu terdiam sesaat, dan berkata dengan nada sedih, "Aku ingin tahu siapa dia, Lista?! Dan kenapa kamu melanggar janjimu? Tapi sampai sekarang, kamu tak pernah jujur padaku." Bahkan Kanu berkata seperti itu tanpa mau melihat ke arah Kalista. Biarlah malam ini dia kembali tidur di kamar tamu saja.
~~~
Satu minggu berlalu setelah malam itu. Kalista sering merasa tak enak badan. Beberapa kali ingin muntah tapi tidak ada yang dimuntahkan. Kemarin malah sempat ada vlek di underwear-nya. Bahkan hari ini, dia sudah tidak kuat lagi. Sudah beberapa hari dia tidak bisa makan nasi, palingan hanya dua tiga suap, itupun suapan kecil hanya agar maagnya tidak kambuh.
Kepalanya keliyengan, perutnya semakin mual. Dia hanya ingin makan buah-buahan saja untuk sarapan. Karena masih belum berasa enakan, Kalista mencari simbok, untuk minta kerokan. Ini hari Sabtu, jadi dia dan Kanu libur. Tapi sejak pagi, Kanu sudah ke luar rumah untuk olahraga, biasanya pulang agak siang menjelang dhuhur.
Selesai beberes dapur dan masak, Kalista dengan wajah pucat dipapah simbok ke kamar. Hampir lima bulan ini, simbok setia menemaninya. Menjadi pengganti mamanya yang tidak bisa ada di sisinya selama dua puluh empat jam.
"Enggak merah kok Mbak Lista, cuma semburat pink aja. Mbok urut aja ya biar badannya enakan." Kata simbok pada Kalista, momongan kesayangannya. Dia ikut merawat Kalista dari kecil. Dia sungguh menyayangi Kalista, bahkan rela tidak menikah demi bisa merawat Kalista yang waktu kecil sering sakit. Kalista mengangguk lemah, malas bersuara.
"Mbak Lista maaf, bukannya mbok ikut campur rumah tangga Mbak Lista dan Mas Kanu. Tapi sejak kita pindah ke rumah ini, mbok gak pernah melihat Mbak Lista tersenyum, boro-boro ketawa seperti pas kita di rumah besar (= tempat tinggal utama Kel. Diningrat). Lima bulan ini mbok perhatikan, Mbak Lista lebih sering menyendiri, bersedih, lebih sering menangis. Nih badannya malah jadi kurus kering begini. Padahal dulu kan seger, berisi. Mbok gak mau Mbak Lista kenapa-napa, karena ibu berpesan untuk menjaga Mbak Lista." Suara simbok terdengar sendu, ikut sedih melihat momongannya yang tampak tidak bahagia setelah menikah. Padahal seharusnya sebagai pasangan pengantin baru, momongannya sedari kecil itu sedang di puncak kebahagiaan. Kalista masih diam saja, rupanya simbok memperhatikan perubahan sikapnya dan Kanu di rumah ini.
"Semua masalah pasti ada jalan keluarnya. Coba Mbak Lista ngobrol dari hati ke hati sama Mas Kanu. Bukannya mbok gak suka sama Mas Kanu, tapi mbok lihat kok sepertinya Mas Kanu tidak menghormati Mbak Lista sebagai seorang istri. Jangan suka memendam masalah, coba bicarakan."
Kalista segera memakai t shirtnya. Membalik badannya dan memeluk simbok erat, dia tidak akan menangis di depan simbok agar beliau tidak menjadi khawatir.
"Tolong mbok jangan cerita apa pun sama mama ya? Lista takut nantinya mama malah jadi khawatir dan kepikiran yang enggak-enggak." Pintanya. Kalista tenang saat melihat simbok mengangguk.
"Sekarang Mbak Lista istirahat saja, makan siang buat Mas Kanu biar mbok yang siapin. Oiya... kenapa Mbak Lista tidak coba beli test pack? Mungkin Mbak Lista hamil. Kata orang-orang kan suka mual di pagi hari tuh". Kata simbok sambil berjalan ke luar kamar Kalista.
Kalista termenung, coba mengingat kapan terakhir kali tamu bulanannya datang. Terakhir seingatnya sekitar awal bulan lalu. Sekarang tengah bulan. Sudah lewat memang. Mungkin saja saat mereka berhubungan kemarin dia sedang di masa subur.
Berharap akan adanya kehidupan di rahimnya, Kalista menjadi tenang dan nyaman tertidur. Dia tidak tahu persis kondisi badannya. Jadi lebih baik dia akan ke apotek nanti sore dan membeli beberapa merk test pack sebelum ke dokter kandungan. Semoga saja, jika dia memang benar hamil, Kanu akan berubah, menjadi lebih menyayanginya. Setidaknya sayang pada anak mereka, anaknya, darah dagingnya.
Tapi sampai Kalista terbangun dari tidur siangnya, Kanu belum juga pulang. Segera diceknya ponsel, ada beberapa missed call. Tapi bukan dari Kanu. Dari Kelana.
Dibukanya aplikasi w******p. Ternyata Kanu mengirim pesan kalau dia perlu, jadi akan balik ke rumah sore hari. Segera Kalista membalas pesan itu.
Setelah urusan Kanu beres, dia menelpon Kelana. Berdua terjadi kehebohan. Kelana satu-satunya sahabatnya. Dan mumpung lagi ada di Jakarta, Kelana ingin ketemu Kalista. Berdua mereka membuat janji bertemu di sebuah coffee shop mahal tapi agak sepi. Kalista tidak suka sepi sebenarnya tapi kan ada Kelana, hingga dia merasa sedikit nyaman.
"Lista.... kamu kok kurus kering begini? Kamu kan pengantin baru?! Kenapa malah jadi kurus sih?" Kelana heboh, protes tak terima melihat kondisi Kalista yang sangat berbeda. Lima bulan tidak bertemu saat bertemu malah sahabatnya itu tampak tidak bahagia, tertekan.
"Lanaaaa... say salam dulu dong."
"Eeh iyaa... hehe. Maaf. Assalamualaikum Kalistaaaa..."
"Waalaikumusalam... Kelana sayang..."
"Gimana kabarmu, Lista? Kamu sepertinya tidak bahagia dengan pernikahanmu? Apakah Kanu menyakitimu? Karena jika iya, aku gak akan segan untuk bicara dengannya." Kelana bertanya to the point, tak mau basa basi.
"Aku baik-baik saja, Lana. Alhamdulilah. Kata siapa aku gak bahagia?" Kalista coba tersenyum tapi gagal.
"Lista, kita bersahabat dari kita sama-sama pakai seragam merah putih. Sekarang kita udah gak pakai seragam lagi. Kamu malah sudah menikah, jadi kamu gak bisa bohong padaku!" Kelana sedikit membentak.
"Eeh iyaa ya... udah lama banget ya kalau gitu. Dari jaman cinta monyetmu sama temannya Kak Dwi itu kan ya? Sampai sekarang monyetnya udah beranak pinak, cinta beluuum aja kesampaian." Kalista mencoba mengubah topik pembicaraan karena dia tahu sejarah hati sahabatnya itu yang sampai sekarang belum terbalas.
Kalista bahkan sampai tertawa geli melihat pipi Kelana yang menjadi kemerahan. Setiap kali disinggung masalah 'kasih tak sampainya', pasti Kelana akan jadi ngomel deh, tidak sedih atau menangis. Dia salut pada Kelana. Tangguh, kuat dan sangat disayangi oleh lelaki-lelaki di keluarganya. Dia tidak punya kakak lelaki, jadi merasa tidak ada yang melindunginya seperti Kelana dilindungi Kak Dwi, apalagi Mas Bram yang auranya agak menakutkan.
"Duuuh... gak usah ubah topik pembicaraan deh. Aku mah udah terbiasa memendam rasa suka sama Mas Adjie kok he..he.. Back to the topic. Jadi gimana keadaanmu? Yang jujur, Lista!"
Mengalirlah cerita Kalista tapi minus perlakuan Kanu saat di ranjang. Biarlah kalau itu hanya dia saja yang tahu. Banyak yang tidak disampaikan Kalista, secukupnya saja yang perlu Kelana tahu. Bagaimanapun Kanu adalah suaminya. Dia harus menjaga marwah suami dan kehidupan rumah tangganya.
"Tuuuh... kan... kubilang juga apa! Lebih baik kamu jujur sedari awal. Kalaupun Kanu menolakmu, ada Kak Dwi yang dengan senang hati pasti akan menerimamu. Kamu tahu kalau Kak Dwi suka padamu kan? Kalau sudah begini, gimana coba? Kamu kurus kering gini, tertekan, pucat lagi. Duuh pingin kugampar aja tuh laki!" Bentak Kelana, emosi.
"Lana..., aku masih punya Tuhan yang akan selalu melindungiku. Kamu kan yang bilang kalau Allah pasti akan kasih segala sesuatu yang terbaik untuk kita. Eeh... ngomong-ngomong, kamu akan segera punya ponakan!"
"Haa?? Mas Bram kan baru mau lamaran besok pagi. Kak Dwi ya? Jangan-jangan Kak Dwi nanam saham ke cewek ya? Eeh, tapi bakalan disunat habis sama mama tuh. Lah terus aku mau dapat ponakan dari mana?" Tanya Kelana. Tapi saat dia melihat Kalista yang tersenyum, dia baru menyadari arti kalimat dan senyuman itu.
"Aaaah... yang bener, Lista?! Kamu hamil? Senangnyaaa... aku ikut senang." Kelana sontak memeluk Kalista.
"Eumm... belum tahu sih, tapi emang tamu bulanan belum datang. Telat sudah dua minggu. Ini makanya ketemu kamu sekalian mau beli test pack." Jawaban Kalista meredakan kehebohan Kelana.
"Di depan situ ada apotek. Kita langsung beli yuk! Langsung dicoba ya, Lista. Siapa tahu suamimu akan berubah kalau tahu kamu hamil anaknya!" Kelana segera saja menarik tangan Kalista untuk mengikutinya ke apotek. Segera Kalista mencoba test pack itu. Sementara Kelana tampak mondar mandir di depan pintu toilet, menunggu kabar dari sahabatnya. Dan dia menjadi deg-deg-an saat akhirnya Kalista keluar toilet, sedikit sesenggukan.
Segera saja Kelana memeluk sahabatnya itu. "Tenang, Lista. Mungkin belum saatnya. Kan kalian bisa berusaha lagi." Katanya pelan sambil memeluk dan mengelus punggung Kalista. Mencoba ikut memahami kesedihan Kalista.
"Hiks... hiks... du..a garis kok, Lana. A..aku hamil. Di perutku ini ada anaknya Mas Kanu." Jawaban Kalista malah membuat Kelana ikutan menangis, tapi tangis bahagia. Tanpa mereka tahu apa yang akan terjadi, pada malam itu juga.
"Sekarang kamu pulang, sampaikan kabar gembira ini pada suami dan keluargamu, Lista. Aku turut bahagia untukmu."
Tiba di rumah, hari sudah sore menjelang malam. Kalista sengaja tidak mau memberi tahu Kanu akan berita gembira ini. Biar jadi surprise, hadiah ulang tahun Kanu yang sebentar lagi. Disimpannya rapih alat test pack itu. Saat turun dari mobil, Kalista melihat ada mobil papanya. Dia tersenyum lebar. Akhirnya papa dan mamanya akan mendapatkan cucu. Bergegas dia membuka pintu, mengucap salam, hanya ada papanya dan Kanu. Tidak ada mama. Karena hatinya sedang bahagia, Kalista bahkan tidak memyadari suasana tegang melingkupi ruang keluarga itu. Wajah papanya seperti menahan emosi.
"Papa... sendiri saja? Mama gak ikut?" Tanya Kalista, saat mencium punggung tangan papanya. Kalista bahkan tidak menyadari rahang sang papa yang mengeras. Semua karena rasa bahagia yang menyelimuti hatinya.
"Dari mana kamu? Jam segini baru pulang? Suamimu sudah menunggu dari tadi. Bukan seperti ini seorang istri yang baik!"
Kalista terkejut mendengar nada suara papanya. Seumur-umur, baru kali ini papanya bersuara dengan nada memendam emosi seperti itu. Dan Kalista baru menyadari dia dalam masalah. Entah apa.
"Euum... tadi Lista janjian ketemuan sama Kelana Rekso pah. Tadi sudah bilang ke Mas Kanu. Tapi kami ngobrolnya keasyikan, sampai lupa waktu. Maaf pah... " Jawab Kalista pelan, takut-takut.
"Bukan minta maaf ke papa, tapi minta maaf ke suamimu! Papa tidak pernah mendidikmu menjadi seorang anak dan istri yang tidak tahu peraturan, Kalista! Papa selalu mendidikmu sesuai norma agama dan sosial yang berlaku!"
"Iya... pa... Lista minta maaf. Maafin aku, Mas Kanu." Suara Kalista semakin pelan, kepalanya menunduk. Bahkan baik papanya ataupun Kanu tidak melihat betapa pucat wajah ayu itu sekarang.
"Sekarang papa mau tanya dan kamu harus jawab jujur! Tadi Kanu cerita sama papa dan itu membuat papa benar-benar shock, Lista. Apa benar yang Kanu katakan?"
"Tentang apa, pah?" Mau tak mau Kalista melihat ke arah papanya, kulit putih papanya tampak memerah. Matanya juga memerah. Kalista hanya sekali melihat itu saat sang papa dulu sangat marah pada rekan bisnis yang membohonginya. Dan itu sangat mengerikan baginya. Sekarang Kalista tak tahu, apakah salahnya hingga sang papa begitu emosi. Sebegitu besarnyakah kesalahan yang dia perbuat? Dia coba mengira, tapi pikirannya buntu.
"Bahwa kamu sudah tidak perawan lagi saat malam pertama kalian! Benar itu Kalista?"