"Kamu sudah bicarakan itu pada papa mama dan Kanu, Lista?" Tanya Kelana Rekso pada Kalista sahabatnya, yang menikah hari ini.
Kalista menggeleng pelan. Matanya seketika mencari keberadaan Kanu, yang sudah sah menjadi suaminya setelah dilakukan akad tadi pagi. Mata mereka bersirobok, Kanu tersenyum lembut padanya, membuat Kalista balas tersenyum, walau terpaksa. Sudut hatinya mendadak nyeri, melihat senyum bahagia Kanu.
"Kenapa, Lista? Kenapa kamu tidak cerita pada mereka? Kalian akan membina rumah tangga. Setahuku, dari ceritamu, Kanu adalah tipe lelaki setia yang menginginkan kesempurnaan. Kanu penuntut kan? Gimana kalau dia kecewa padamu? Dan menuduhmu yang bukan-bukan, Lista?"
"Aku takut, Lana. Aku takut Mas Kanu akan meninggalkan aku."
"Akan lebih baik jika kamu jujur pada calon suamimu sedari awal, Lista. Sebelum semuanya menjadi terlambat. Aku hanya tak mau kalau Kanu menghinamu, menuduhmu. Aku yang ada di sana, aku yang tahu perjuanganmu untuk tetap bisa bertahan, Lista. Tapi Kanu tak tahu itu. Papa mamamu juga tidak tahu. Mereka bisa berfikir buruk tentangmu. Aku hanya tak rela kalau Kanu menuduhmu bukan perempuan baik-baik."
"Aku cuma bisa berdoa, Lana. Mohon agar Mas Kanu diberi kelembutan hati dan bisa ikhlas menerimaku, apa adanya. Sisanya, biarkan Dia yang menentukan."
Pembicaraan antara Kalista dan Kelana, dilakukan saat resepsi mewah di rumah Kalista. Sebelum Kalista pulang ke Jakarta pun, Kelana sudah mengingatkannya untuk jujur pada orang tua dan calon suaminya. Berkali-kali Kelana menasehati, berkali-kali itu pula Kalista menolak. Dia hanya tak sanggup jika harus kehilangan Kanu.
Setelah usai pesta mewah itu, Kalista termangu di depan cermin meja riasnya. Wajahnya sudah bersih dari make up. Beruntunglah dia berhijab, hingga rambutnya tidak dimodel apa pun.
Dadanya berdegub kencang. Ini malam pertama mereka, dia dan Kanu. Semua pasangan pengantin baru pastinya menantikan malam pertama. Tapi tidak dia. Sama sekali dia tidak menunggu malam pertama. Untuk apa ditunggu jika akhirnya akan mengecewakan.
Kembali dilihatnya cermin. Wajahnya yang semakin tirus, tampak pucat. Dia takut. Entah takut pada apa, dia pun tak tahu.
Kalista berjengit kaget, saat melihat Kanu sudah masuk ke kamarnya. Mungkin saat dia melamun tadi, hingga dia tak sadar. Dilihatnya Kanu tersenyum lembut padanya. Tampak kelelahan di wajah bahagia itu. Kalista menelan ludahnya.
Akankah senyum dan bahagia itu, tetap ada setelah malam ini?
Perlahan Kanu mendekati Kalista yang terpaku mengawasinya dari cermin. Kalista sudah memakai kimono tidur. Tapi sepertinya belum mandi. Dipeluknya Kalista dari belakang. Kanu merasakan badan Kalista yang menegang, mendadak terasa kaku saat dia peluk. Kanu pikir, mungkin karena Kalista kaget, tak menyangka dia akan memeluk Kalista.
Tapi mereka kan sudah sah menjadi suami istri. Kalista sudah halal baginya, pun dia juga halal bagi Kalista. Tak hanya memeluk, Kanu juga berhak jika dia ingin menciumi Kalista bahkan menggaulinya. Seperti saat ini, diciuminya rambut hitam panjang Kalista. Harum shampoo dan keringat bercampur dengan parfum mahal, menggoda nafsu lelakinya yang masih perjaka. Yaa... dia juga menjaga kesuciannya untuk Kalista, istrinya.
"Mas... euum... aku belum mandi. Badanku bau keringat. Aku mandi dulu boleh?" Pinta Kalista pelan, matanya memejam, antara menikmati sensasi rasa baru yang dibuat Kanu pada tubuhnya, tapi juga sebagian kecil tubuhnya reflek menolak sentuhan lelaki. Walau itu suaminya.
"Hmmm... padahal aku suka aroma tubuhmu, walau berkeringat tapi... aku tetap suka kok." Kanu menjawab sambil tetap menciumi rambut dan tengkuk Kalista. Tapi dirasakannya penolakan halus Kalista atas sentuhannya.
"Maaf Lista... aku terlalu terburu-buru ya? Maklum, udah gak sabar lagi mau lepas segel. Tapi... kamu gak nyaman ya kalau gak mandi dulu?"
Kalista mengangguk, dipaksakannya sebuah senyum terbit di bibirnya yang tetap berwarna pink walau tanpa berpulas lipstik. Kanu hanya merasa Kalista agak aneh malam ini. Seperti takut padanya.
"Kalau gitu, kamu mandi dulu deh. Habis itu baru aku. Eeh tapi, sebelum mandi, boleh cium dulu kan? Kita kan sudah halal."
Kalista kembali mengangguk dan memejamkan matanya, saat merasakan bibir Kanu menciumnya lembut. Semula lembut, dan Kalista berusaha untuk menikmati cumbuan Kanu, tapi Kanu semakin menuntut. Ciuman itu semakin dalam, tangan Kanu sudah gerilya. Kanu bahkan tak tahu kalau Kalista menitikkan air mata, walau hanya setetes!
"Mas....."
Terengah, Kanu melepas ciumannya sebelum ia kebablasan. Dia tidak mau memaksa Kalista, walaupun mereka sudah sah, sudah halal.
"Maaf..." Kanu nyengir, merasa celananya yang mendadak sesak. "Mandilah... tapi jangan lama-lama ya." Pintanya sambil mencium kening Kalista lembut.
Setelah Kalista selesai membersihkan diri, gantian Kanu segera ke kamar mandi. Dia berusaha mandi sebersih tapi secepat mungkin! Jangan sampai Kalista menunggu terlalu lama. Tapi... mendadak perutnya terasa mulas. Hingga ia harus "memenuhi panggilan alam" itu. Dan saat keluar kamar mandi, Kanu lemas, melihat Kalista yang sudah tertidur.
Damai sekali. Tampak kelelahan di wajah ayu itu. Inginnya sih, tentu saja dia membangunkan Kalista dan melakukan apa yang sudah ditunggunya sejak setahun lalu! Tapi melihat Kalista yang tertidur pulas, dia jadi tidak tega. Jadi..., dia hanya bisa menciumi lembut wajah istrinya. Kening, kedua mata, kedua pipi, bibir penuh Kalista dan terakhir kembali ke kening.
"I love you, istriku. Tidurlah..." Diselimutinya tubuh Kalista. Direngkuhnya kepala Kalista hingga tidur berbantalkan lengannya, agar ia bisa menghidu aroma tubuh Kalista hingga ia tertidur. Kanu tersenyum sebelum akhirnya tidur pulas, tanpa ia tahu bahwa Kalista tidak tidur.
Setelah yakin Kanu sudah tertidur pulas, Kalista membuka matanya. Dipandanginya wajah tampan di hadapannya. Dibacanya doa perlahan, untuknya dan untuk suaminya. Dielusnya wajah itu. Terucap lirih, "Maaf... maaf Mas, maafkan aku." Beberapa kali hingga ia juga tertidur di pelukan lengan kokoh itu.
Gagalnya acara belah duren tadi malam, tak membuat Kanu mengurungkan niatnya segera memboyong Kalista ke rumah baru mereka. Rumah itu sudah siap huni sejak beberapa bulan sebelum mereka resmi menikah.
Pokoknya Kanu sangat memanjakan Kalista, tak mau membuat istrinya itu capai. Tinggal membawa dirinya saja. Bahkan baju, aksesoris, semua perlengkapan dan kebutuhan Kalista sudah lengkap ada di rumah baru itu. Memang tidak semewah rumah keluarga Diningrat ataupun rumah papanya. Tapi, rumah itu murni hasil keringatnya sendiri.
Digenggamnya tangan Kalista erat saat mereka masuk rumah itu untuk pertama kalinya. Kalista tersenyum kecil, suasana rumah yang nyaman, cozy, homy tapi minimalis dan cenderung maskulin. Sesuai selera Kanu. Hanya dapur yang tampak lebih manis dengan dekorasi yang lebih ramai.
Kanu memang pernah sesekali tanya padanya mau konsep dapur seperti apa. Karena Kalista suka eksperimen masak dan betah berlama-lama di dapur, jadi Kanu berusaha membuat dapur yang akan membuat Kalista nyaman.
Dan Kalista pun mengagumi selera Kanu. Berusaha menyeimbangkan keinginannya ingin dapur yang seperti ini seperti itu, tapi tetap tertata apik, rapih dan minimalis. Dapur kotor tak jauh dari dapur bersih, hanya dibatasi oleh sekat. Kanu bilang, sebelum mereka punya anak, dia inginnya makan bareng Kalista di stool yang tersedia di dapur bersih. Ada meja multifungsi sesuai keinginan Kalista. Bisa untuk penyimpanan sebagian alat masak, tempat meracik dan menyajikan.
Kalista membuka lemari pendingin, mencari bahan yang bisa dia pakai untuk masak sekedarnya. Tangannya sudah gatal ingin masak, karena setelah kejadian itu, dia sama sekali belum merambah dapur lagi. Tapi dia langsung kecewa karena kulkas itu masih kosong melompong. Hanya ada air mineral dingin saja.
"Gak usah masak, Lista, kita pesan antar saja ya. Jangan sampai kamu kecapean, kasian suamimu. Semalam belum berhasil ya belah durennya?" Tetiba, mama tercinta yang ikut menemaninya ke rumah baru sudah berdiri di sampingnya.
Rumah mungil itu jadi ramai dengan keluarga Kanu dan Kalista yang ikut mengantar mereka.
"Lista... kamu kan gak mau bulan madu, tapi papa dan mama tetap mau kasih kado. Kamu mau apa nak?" Tanya sang papa dengan nada lembut saat mereka semua sedang berkumpul di rumah baru bersama pengantin baru.
Kalista menggeleng sambil tersenyum, "Enggak papah, makasih. Di rumah saja sama Mas Kanu."
"Haha tuh Nu, istrimu sudah gak sabar loh. Udah kasih kode keras gitu." Celetuk kakak perempuan Kanu. Dan semuanya tertawa membuat pipi Kalista memerah.
"Sudah... sudah... mbok ya biarin tho. Namanya juga pengantin baru. Sama-sama masih segelan, sama-sama malu-malu." Ibunya Kanu segera menimpali yang malah membuat suasana lebih heboh.
Segelan...? Aku...?
"Duuuh yang masih segelan... Nu kalau butuh tutorial bilang yaa...!" Celetuk kakak iparnya yang segera saja ada permen melayang, hasil lemparan istrinya.
"Tutorial-le mbah'e! Kanu bisa eksperimen sendiri sama Kalista wong sudah halal ini." Semakin ramai, celotehan absurd dan canda tawa mewarnai rumah itu. Hanya Kalista yang tersenyum saja.
"Sudah... sudah... kita juga yang kurang kerjaan, malah ngintili (= mengikuti ke mana-mana, Jv) manten anyar (= pengantin baru). Waktu itu seingat papa, Lista pernah minta umroh bareng kan? Nanti kita atur jadwalnya saja ya nduk, sama siapa saja yang mau ikut umroh. Wis... dewe ndang buru mulih (= dah yuk kita cepetan pulang , Jv). Simbok saja yang tinggal di sini nemenin Kalista. Yuuk, biar kita cepet dapat cucu ya Mas Wit!" Ajak papa Kalista.
Malam itu, Kanu berhasil merayu Kalista untuk b******u dengannya. Sudah diputuskannya malam ini acara belah duren harus berhasil. Dia sudah punya yang halal, mereka sudah sah, dan Kanu hanya akan melakukan itu pada istrinya saja.
Berhubung birahi yang sudah mencapai ubun-ubun, Kanu jadi tidak memperhatikan kalau Kalista merasa tidak nyaman melayaninya. Dia bahkan tidak menyadari kalau Kalista sering kali reflek menolak sentuhan yang dia lakukan ke tubuh istrinya itu.
Kalista meringis kesakitan saat Kanu melakukan apa yang sudah halal bagi mereka. Dia menangis, tanpa suara, matanya memejam sesaat, sebelum akhirnya dia melihat ke mata tajam suaminya, yang nampak.... entahlah... Kalista bahkan tak bisa menduga.
"Kalista... kamu...?"
Tanpa suara, Kanu berdiri, memakai kimono dan segera keluar kamar, sedikit membanting pintu.
Kalista terisak, merasa bagai perempuan tanpa dihargai, ditinggalkan begitu saja setelah melayani suami. Dan Kalista pun akhirnya tahu apa yang selanjutnya terjadi. Yaah, pernikahannya yang baru berumur sehari, terancam karena ketidakjujurannya.