Sebuah mobil MPV sewaan warna hitam tampak memasuki halaman luas sebuah rumah bergaya joglo nan asri. Si pengemudi tampak sedikit ragu. Tapi setelah sekali lagi meyakinkan diri, memastikan posisi koordinat gps ponsel pintar yang diberikannya kepada Kei, Kanu menjadi yakin.
Dilihatnya sekali lagi rumah asri nan luas itu. Sekedar memastikan, memantapkan hatinya. Rumah joglo ini membuat siapa pun yang melihatnya, akan betah untuk tinggal di situ. Banyak pepohonan rimbun, daun berwarna hijau segar, rapih dan terawat. Bunga-bunga warna-warni juga menghiasi halaman depan sebelum memasuki teras.
GALERI EYANG SASTRO
Tertulis papan nama eksentrik, memberitahu para pengunjung akan tempat akhir yang dituju.
Saat ini jam makan siang. Kemungkinan besar penghuni rumah ini, ataupun para karyawannya sedang istirahat. Kanu celingukan. Mencoba mencari suara Kei, atau suara anak-anak siapun itu yang sedang bermain. Tapi nihil. Suasana tampak adem ayem, hening. Seirama dengan sejuknya udara di situ.
Padahal Kanu sudah merangkai beribu kalimat yang akan digunakan untuk meluluhkan hati Kalista. Selama perjalanan dari Jakarta ke kota ini, Boyolali, sebuah kota kecil tak jauh dari Solo, Kanu merenungkan kembali masa lalu.
Mencari tahu apa sebabnya sehingga Kalista memutuskan untuk pergi lagi darinya. Mengapa belum bisa memaafkannya. Dan dia akhirnya menyadari bahwa kesalahannya teramat besar. Dia yang menyebabkan Kalista tidak percaya lagi padanya. Pada pernikahan mereka.
Kanu ingat, hanya lima bulan mereka hidup serumah sebagai sepasang suami istri. Itupun seandainya dia pantas disebut suami, atau setidaknya berperan sebagai seorang suami.
Selesai akad nikah, Kanu langsung memboyong Kalista ke rumah yang memang sudah dia siapkan sedari bujang untuk istri dan anak-anaknya kelak. Kalista tidak mau bulan madu. Entah kenapa.
Tampak perubahan drastis pada Kalista. Dua bulan sebelum pernikahan mereka, Kanu terkejut, saat menjemput Kalista di bandara, melihat calon istrinya yang sudah memakai hijab. Tentu saja dia senang, karena akhirnya tanpa perlu ia minta - dan sudah ada dalam benaknya tentu saja- , Kalista sudah berhijab sebelum mereka menikah.
Selain itu, badan Kalista semakin kurus - dan kata orang-orang itu biasa pada calon pengantin - dan Kalista menjadi semakin pendiam. Seperti tidak b*******h. Kadang, Kanu tahu kalau Kalista sesekali mencuri pandang padanya, dengan tatapan sedih. Saat dia juga melihat tatapan mata itu, dia sendiri tak dapat mengartikannya. Tatapan mata penuh kesedihan, bingung dan kecewa. Tentu saja ia ingin tahu apa sebabnya hingga Kalista berubah sedemikian drastis. Tapi Kalista selalu menggeleng kalau ditanya ada apa, hanya memberikan senyum yang sedikit dipaksakan untuk hadir di wajah pucat itu. Mencoba menghilangkan kekhawatiran pada siapa pun yang sudah mempedulikannya.
Semakin ia mendekati calon istrinya itu, entah kenapa Kalista malah semakin menghindar. Seperti takut padanya. Papa mama Kalista juga merasa hal yang sama. Mereka juga bingung akan perubahan drastis yang terjadi pada satu-satunya putri keluarga kaya raya itu. Tapi, karena disibukkan oleh persiapan pernikahan, walau sudah dipasrahkan pada WO terkenal, mereka tidak terlalu memikirkan perubahan drastis ini.
Kanu pikir, itu karena Kalista takut dia akan melarang Kalista untuk bekerja atau bergaul dengan teman-temannya. Tidak, dia tidak akan mengekang Kalista. Selama Kalista tahu batasan, mendahulukan kepentingan suami (dan anak-anak mereka kelak), ia tidak akan melarang Kalista untuk bekerja atau bergaul. Kanu yakin, Kalista tahu batasan itu. Mereka hanya perlu berkompromi saja.
Tapi karena kesibukan masing-masing yang menggunung, Kanu sampai lupa untuk ngobrol lagi dari hati ke hati. Dia terlalu bungah. Akhirnya menemukan perempuan yang sesuai keinginannya untuk menjadi istrinya. Tak ada yang kurang dari Kalista. Ayu, lembut, pintar, mapan dan sholeha, plus dia sudah diyakinkan oleh keluarga Kalista bahwa calon istrinya itu bisa membawa diri sesuai norma agama walau belajar di negeri orang. Tak ada yang perlu dikhawatirkan.
Pesta yang mewah, malah membuat Kalista semakin tidak nyaman. Tampak sekali kegelisahan, baik di wajah maupun gesture tubuhnya. Kalista bahkan meminta dengan sangat agar dia tidak disandingkan dengan Kanu di pelaminan saat pesta resepsi mewah dilaksanakan.
Kalista yang minta konsep pesta diubah dadakan. Tidak jadi di hotel, tapi di rumah keluarga Diningrat yang punyai halaman super luas dan asri. Semacam pesta kebun. Jadi tidak perlu pelaminan secara formal.
Kalista duduk di kelilingi keluarga dan sahabatnya. Tak begitu jauh dari Kanu yang akhirnya sibuk mondar mandir sendirian menyapa dan menyalami para tamu. Hanya tamu perempuan saja yang diperbolehkan menyalami Kalista. Itu membuat Kanu semakin jatuh hati padanya. Tanpa Kanu tahu apa sebabnya Kalista memilih seperti itu, menghindari tamu laki-laki.
Pun tanpa Kanu sadari, di suatu tempat tak jauh darinya, ada seorang lelaki tampan yang terus melihat ke arah Kalista. Kalista tampak sungguh cantik. Memakai kebaya putih dan hijab warna senada dengan hiasan yang tampak serasi, mewah namun elegan. Membuat lelaki muda itu terus menerus melihat ke arah Kalista tanpa berkedip. Bibirnya yang mengunyah permen karet, sesekali tersungging senyum misterius. Hanya dia yang tahu arti senyuman itu.
Tapi lelaki itu menoleh kaget, saat pundaknya ditepuk seseorang.
"Di sini toh kamu. Dicariin dari tadi juga. Liatin apa sih? Serius amat?" Lelaki lainnya, yang tampak lebih dewasa, yang menepuk pundak, tampak melihat ke arah seperti pemuda itu.
"Heii... ingat ya! Kalista udah resmi jadi saudara ipar kita. Jangan macam-macam kamu! Bisa-bisa Kanu menghabisimu kalau tahu!" Bentak lelaki lain itu.
"Hahaha... tenang bro... kalau Kanu tahu kan? Lagian aku cuma mengagumi kecantikan Kalista kok. Kanu beruntung banget bisa dapetin dia. Walau..." Lelaki yang lebih muda menggantung kalimatnya, kembali dia tersenyum misterius.
"Walau apaaa?" Tanya lelaki yang satunya yang ternyata juga sedang asyik mengunyah permen karet aroma mint.
Belum sempat lelaki muda itu menjawab, sebuah suara menginterupsi mereka.
"Kok pada di sini? Buruan kasih selamat ke pengantin. Mama capek banget ini, pingin cepet istirahat." Kata seorang perempuan paruh baya yang masih terlihat cantik di usianya itu.
"Kami nyusul mah... eeh tapi Mama cantik banget deh malam ini. Gak kalah sama pengantin perempuan!"
Tapi perempuan paruh baya itu malah terkekeh. Tak percaya pada ucapan anaknya.
"Kamu ini, rayuanmu gak mempan sama mama. Tapi bakalan mempan kalau kamu segera kasih mama mantu!"
"Beres maa... ini sekalian nyari mantu buat mama kok. Kayanya banyak juga teman Kalista yang bisa jadi prospek nih!" Dan si perempuan paruh baya itu segera menuju yang punya hajat. Memberi ucapan selamat dan sekedar chit chat.
"Eeh... bagi permen mint-nya dong. Mulutku rasa asem banget ini, gak ngerokok seharian!" Pinta si lelaki dewasa saat melihat lelaki muda di hadapannya membuang sisa permen karet aroma mint super mahal yang dia tahu, nicorette gum. Harganya selangit, sayang sebenarnya cuma untuk beli permen karet. Coba buat beli beras premium, dapat dua karung kemasan besar!
"Kamu masih ngunyah permen mint mahal ini?"
"Laah... kamu kan tahu kalau aku bisa berhenti merokok gegara permen ini kan? Lagipula kalau aku masih ngerokok, bisa dicoret dari daftar penerima waris sama mama papa. Mahal sih emang, tapi aroma mint-nya strong banget. Aku suka itu." Kata si lelaki muda tadi, sambil melihat sekilas ke arah Kalista, yang sekarang duduk ditemani seorang perempuan cantik. Dia tidak kenal. Tapi, baginya Kalista lebih cantik. Sekali lagi sebuah senyuman misterius terbit di bibirnya.
~~~
Sementara itu di meja yang tersedia khusus untuk keluarga, Kalista duduk tak nyaman, melihat banyaknya tamu papanya yang datang. Banyak sekali laki-laki. Ada beberapa yang secara tidak sengaja ingin memberi selamat padanya, yang sengaja memisahkan diri dari pengantin laki-laki. Tapi untunglah, ada panitia yang diberi tugas khusus untuk "menghalau" para tamu lelaki yang berusaha mendekatinya.
Badannya masih gemetar jika melihat lelaki yang tak dikenal, mendekatinya. Beberapa kali Kalista mendesah, menarik nafas panjang. Matanya mencari keberadaan mamanya. Sayangnya sang mama tampak sangat sibuk menerima ucapan selamat dari tamu undangan. Senyum bahagia tak pernah lepas dari bibir mama papa, Kanu, dan mertuanya. Hanya dia saja yang jarang tersenyum bahkan di hari bahagianya.
Tiba-tiba, dia merasa pundaknya disentuh. Dia berjengit kaget. Mendekap mulutnya dan beristighfar.
"Astagfirullah..."
"Heiii... Lista, ini aku. Nih, aku barusan ambil minum dan snack buatmu. Pengantin kok pucat gitu. Makan dulu gih, aku temani ya!" Sebuah suara yang lembut menentramkannya. Sahabatnya, Kelana, duduk di dekatnya. Kalista tersenyum senang, akhirnya ada orang yang dia percaya duduk menemaninya.
Mereka bersahabat. Papa mama mereka berteman, dan ada kongsi bisnis. Lingkup pergaulan kaum borjuis juga terbatas. Lagipula dia merasa paling nyaman bergaul dengan Kelana. Karena, walaupun dari keluarga kaya raya, pengusaha, tapi Kelana tetap sederhana dan ramah.
Hanya Kelana, Dwi, kakaknya, dan seorang psikiater kenalan Kelana yang tahu kejadian itu. Hanya mereka yang tahu persis. Karena mereka yang ada di sana saat itu. Mereka yang memberi support padanya. Kelana tak henti memberinya semangat untuk tetap bertahan, walau sebenarnya dia tak mau.
Hanya mereka bertiga, ya bertiga, yang tahu kondisinya. Kelana selalu menyarankannya untuk memberi tahu papa mama dan Kanu, calon suaminya. Tapi tentu saja dia tak mau. Dia tak mau orang lain tahu keadaannya sekarang.
"Pernikahan yang didasari oleh ketidakjujuran, tak akan langgeng. Percayalah padaku. Kamu akan menutupi kebohongan yang satu dengan kebohongan lainnya. Saranku, lebih baik jujur."
Terngiang kembali saran Kelana yang terus menerus disampaikan sahabatnya itu, dari semenjak mereka masih di Auckland. Bahkan semalam pun, Kelana masih menasehatinya seperti itu.
Saat itu tentu saja Kalista menolak. Belum cukupkah kehilangannya? Empat bulan lagi dia akan menikah dengan Kanu, lelaki pujaannya, lelaki impiannya. Dan dia tak mau lagi kehilangan. Apalagi kehilangan Kanu. Tidak! Cukup sudah! Biarlah dia diam saja. Hanya bisa berdoa, memohon agar Yang Maha Kuasa memberi kelembutan hati pada Kanu, untuk tetap mencintainya, menerimanya apa adanya. Tanpa dia tahu, apa yang akan terjadi pada pernikahannya.