Harus Bayar

1775 Kata
Selamat bersenang-senang, kesayangan-kesayangannya Mami. Mami sengaja meninggalkan kalian berdua di rumah. Pelayan juga sudah Mami suruh pulang. Nikmati waktu kalian dan segera beri Mami cucu. Jangan khawatir, tidak ada yang mendengar kalian. Julio menemukan pesan yang dituliskan oleh Bu Merinda. Pesan yang membuat pria itu sedikit tertawa saat menemukannya tertempel di pintu kamarnya. “Ngetawain siapa? Kamu ngetawain aku?” tanya Julie saat Julio masuk kamar dan menyodorkan minuman dingin untuknya. Julie mencoba turun dari tempat tidur, mengabaikan minuman yang disodorkan oleh Julio. Ia hendak mengecek apakah ada sesuatu yang salah dari dirinya sampai membuat Julio tertawa. Pantulan dirinya di cermin tak menunjukkan adanya tanda-tanda di mana ia perlu ditertawakan. Pakaiannya masih baik-baik saja, walau tak bisa dikatakan benar-benar rapi. Toh, ia habis bangun tidur, wajar kalau pakaiannya agak kusut. Tapi, apakah pakaian kusut itu yang membuat Julio tertawa? Rasanya tidak mungkin. “Ada yang lucu sama aku?” tanya Julie. Mulai kesal karena pria itu masih terlihat mengulum senyum di balik ekspresi datar yang coba ia tunjukkan. “Kenapa? Aku keliatan kayak pelawak sampe-sampe kamu ketawa? Atau kamu ngetawain aku karena aku cacat begini? Karena aku patah tulang?” Julio terkekeh pelan. “Masih ingat aturan pertama yang harus kau turuti setelah menjadi istriku?” tanya pria itu sambil mendekati Julie. “Masih ingat, gak?” Julie mencebik. Ia sedikit bergerak mundur, menjaga jarak. Mengantisipasi pergerakan tiba-tiba Julio, jangan sampai pria itu mengincarnya untuk ditelanjangkan lagi. “Kamu dilarang menerka-nerka atau mengambil kesimpulan sendiri. Memangnya aku mengatakan sesuatu tentang keadaanmu yang lagi patah tulang?” “Gak, sih.” “Makanya, kenapa tiba-tiba aku dituduh kayak gitu?” “Soalnya kamu ketawa.” “Emangnya aku gak boleh ketawa? Masa aku harus nangis? Ini kan hari pernikahan kita, aku gak perlu menangis, ‘kan?” “Tapi, aku merasa kayak kamu lagi ngetawain aku. Masuk-masuk eh langsung ketawa. Ngetawain siapa coba? Kan di kamar cuman ada aku sama kamu.” Julio meraih pinggang Julie, menariknya mendekat dalam sekejap. Membuat Julie terkesiap kaget. “Bukan cuma di kamar kita berduanya, tapi di rumah ini hanya ada kita berdua,” bisiknya. “Mami sama pelayan lagi pada pergi. Kata Mami, mereka sengaja meninggalkan kita buat bersenang-senang.” “Kita? Bersenang-senang?” Julie mendengkus pelan. “Iya. Ayo kita bersenang-senang lagi.” “Senengnya di kamu, akunya yang menderita. Kamu tuh gak pengertian banget, aku tuh lagi sakit. Aku lagi patah tulang begini.” “Kan bikin bayinya gak di tangan kamu yang patah, Aiii ….” Pria itu melirik turun, ke arah di mana bayi dibuat. “Kan bikin bayinya di situ.” “Gak mau, ah. Tadi udah.” “Makanya aku bilang lagi, Aiii ….” Julio membujuk, seraya ia mengelus pipi Julie. “Gak mau, sakit,” keluhnya. Gadis itu mencoba melepaskan diri dari dekapan Julio. Sadar kalau posisinya saat ini cukup berbahaya. Semakin lama ia berada dalam dekapan Julio, ia tak bisa yakin kalau ia mampu menolak pria itu. Bahkan jika sakit pun akan tetap Julie lakukan, karena Julio tak memberi cara untuk menolak. Bukan dengan memaksa, tapi pria itu pintar sekali membujuk Julie. Tahu betul cara meluluhkan Julie dengan panggilan yang lembut atau dengan mengelus tubuh wanita yang beberapa jam lalu telah ia lepaskan status gadisnya. “Ai, mandi yuk.” “Mandi?” “Iya, ini udah hampir sore. Tadi kan kita belum mandi. Aku mau mandiin kamu.” “Emangnya aku mayat sampai dimandiin segala?” “Eh, omongannya gitu amat.” Julio mengingatkan. “Kamu sih, ngapain mau mandiin aku? Yang biasanya dimandikan kan mayat.” “Emangnya yang dimandiin cuma mayat? Bayi juga dimandikan. Orang yang tua juga bisa dimandikan kalo mereka lagi sakit.” “Emang bener, tapi aku bukan bayi lagi. Aku juga bukan orang yang tua banget yang harus dimandikan.” “Kamu kan istriku, Aiii ….” Ah, sialannya Julio. Julie selalu menggelepar kalau pria itu sudah berujar dengan lembut dan menyebut Julie sebagai istrinya. “Aku kan udah bilang, setiap hal yang bisa kamu lakukan sebelum kita nikah, setelah kita nikah biar aku yang melakukannya.” “Kalo kamu melakukan semuanya, terus aku ngapain?” “Mengandung bayiku, Ai,” pintanya. “Aku pengen banget punya bayi.” Tatapan mata pria itu berubah sedih untuk sesaat. Seolah begitu putus asa akan rasa kehilangan yang masih bersarang di hatinya. Kehilangan seseorang yang tak sempat ia lindungi, bahkan tak sempat ia ketahui keberadaannya. Julio tak pernah tahu jika janin miliknya telah tumbuh di rahim Viola. Sayangnya kehadiran janin itu baru sempat ia ketahui setelah Viola keguguran di Amsterdam. Julie cukup peka, walau Julio langsung memalingkan wajahnya karena tak mau ketahuan bersedih. “Yo, aku bakalan mengandung dan melahirkan bayi kamu,” ujarnya dengan sedikit lirih karena bersimpati dengan raut sedih yang ditunjukkan Julio. “Kamu gak usah sedih, aku bersedia untuk mengandung dan melahirkan bayimu.” “Serius?” “Iya, seperti yang kamu bilang aku kan istri kamu.” “Berarti kita boleh bikin bayi lagi?” Julie mengangguk, menyanggupi keinginan Julio. “Aku pengen punya bayi secepatnya.” “Lihatlah, kamu yang sebenarnya sangat terburu-buru,” ejek Julie, mengembalikan ucapan Julio semalam di kediaman Pak Karim. “Bukan aku.” “Baiklah, aku yang sangat terburu-buru. Soal kamu, aku gak bisa pelan-pelan, Ai.” Iya, pria itu sangat terburu-buru. Saking terburu-burunya mau punya anak, tiap hari Julie harus meladeni keinginan Julio. Dan keterburu-buruan pria itu terbukti di bulan berikutnya. Jadwal bulanan Julie sudah lewat dua pekan sementara ia belum menggunakan selembar pun pembalut yang dibelikan oleh Julio sebelum mereka menikah. Julie melihat pembalut di depannya, bungkusannya bahkan belum tersobek. “Sepertinya aku tidak akan menggunakan pembalut itu sampai sembilan bulan ke depan,” ujarnya sambil melihat Julio yang senyum-senyum penuh kemenangan. “Gara-gara ada orang yang buru-buru banget. Kalo kamu seburu-buru itu, ngapain kamu beliin aku pembalut?” omel Julie. “Kan sayang pembalutnya gak kepake.” Julio tak peduli dengan omelan Julie. Ia memeluk wanita itu. “Makasih, Ai.” Ia mencium kening Julie bertubi-tubi saking berterima kasihnya. “Makasih karena udah ngasih aku bayi.” “Kamu sesenang ini punya bayi?” “Iya dong, emangnya kamu gak?” “Aku juga seneng, Yo. Aku seneng punya Julio kecil di perut aku. Aku bakalan melindungi Julio kecilku sampai lahir, bahkan setelah dia lahir pun, aku akan terus melindunginya.” “Julio kecil? Bagaimana kalau ini ….” Julio mengelus perut Julie. “Bagaimana kalau ternyata ini adalah Julie kecil?” “Gapapa, mau Julio kecil atau Julie kecil, aku bakalan menerima dan menyayanginya.” “Papa juga, Papa juga akan menerima siapa pun yang lahir dari perut Mama,” ujar pria itu sambil berjongkok. “Julio kecil atau Julie kecil, Papa akan sangat bersyukur memilikinya.” Julio mencium perut Julie cukup lama, setelahnya ia mendekatkan telinga ke perut Julie. Seperti tengah mencoba mendengar suara dari dalam perut Julie. Walau ia tahu bahwa bayinya belum bisa bersuara, tapi ia tetap melakukan. Semacam melakukan komunikasi tanpa suara dengan bayi miliknya. “Ai, ayo kita ke dokter, kita harus periksa.” Setelah berita kehamilan Julie dibenarkan oleh dokter, makin ketar-ketirlah Jonathan. Jelas saja, Julio yang merupakan saingannya untuk mendapat aset 80% dari warisan Pak Kemal Harisman sudah punya calon penerus. Sementara ia bahkan menemukan calon ibu untuk melahirkan penerusnya pun belum. Pria itu beberapa kali menemui wanita-wanita yang direkomendasikan oleh orang-orang kepercayaannya. Bahkan ada yang sampai tidur dengannya sebelum ada ikatan pernikahan, sayangnya Jonathan tak merasakan ketertarikan. Wanita-wanita yang pernah ia tiduri sejak Julio dan Julie menikah pun ia beri rumah. Atau lebih tepatnya mengamankan wanita-wanita itu agar tidak ditiduri oleh pria lain seusai Jonathan menidurinya. Yah, semacam memastikan kalau besok-besok salah satu dari wanita itu hamil, Jonathan sudah bisa langsung yakin bahwa wanita tersebut sedang mengandung calon penerusnya. Sejak Julie dinyatakan hamil, penjagaan yang dilakukan oleh orang-orang kepercayaan Pak Karim pun meningkat. Makanya Julio dan Julie disuruh pindah dari lantai atas bar yang mereka tempati. Menurut Pak Karim tak bagus untuk perkembangan bayi jika Julie hamil dan masih tinggal di tempat hiburan malam. Akan lebih nyaman jika Julie tinggal di rumah. “Julio punya rumah, Paman,” ujar Julio saat menolak niat baik Pak Karim untuk membelikannya rumah baru. “Kalian tinggal saja di rumah Mami, sekalian temenin Mami.” Bu Merinda juga menawarkan rumahnya untuk ditempati oleh Julio dan Julie. Toh, ia kesepian juga berada di rumah hanya bersama beberapa pelayannya. “Julie pengen ngekos,” cetus Julie tiba-tiba. Ibu hamil itu membayangkan dirinya kembali menagih uang sewa kos-kosan. Menyebalkan sebenarnya, bikin marah-marah, tapi ia merindukan hal itu. “Julie pengen nagih uang kos-kosan lagi.” “Ai, tinggal di kos-kosan kan sempit. Kita mau pindah dari tempat yang sekarang kan salah satu alasannya karena tempatnya yang sempit. Kita harus menampung beberapa penjaga yang jagain kamu.” “Nah, di kos itu paling bagus. Penjaganya bisa tinggal di kamar kos, tapi mereka harus tetep bayar.” Sepertinya ibu hamil itu sudah mulai menunjukkan ngidam-ngidam anehnya. Bukan makanan, tapi mau kembali ke rutinitasnya sebelum diculik oleh Jonathan. Mau kembali jadi Ibu Ratu untuk para kurcaci-kurcaci nakalnya. “Yo ….” Julie mulai merengek. “Kita pindah ke tempat kos yah.” Ia memohon sambil memegang tangan Julio dengan kedua tangannya. Gipsnya sudah terlepas, tapi belum sepenuhnya sembuh. Setidaknya tangannya sudah bisa bergerak sedikit demi sedikit. Termasuk untuk memohon pada Julio. “Kamu juga masih ada hutang sama aku. Kamu belum pernah ngajakin aku ngeliat bintang dari balkon di tempat kos.” Julio sedikit menyengir. Janji untuk naik motor berkeliling mencari makanan lalu melihat Bintang bersama Julie belum juga kesampaian. “Boleh, ‘kan?” Julie memohon. “Sebulan lebih setelah kita menikah aku terus yang harus nurutin kamu, aku juga pengen diturutin,” ujarnya. “Julio gak pernah nurutin maunya kamu, Jul?” tanya Bu Merinda dengan ekspresi sedikit kesal. Ia melirik putranya, tega sekali jika Julio tak pernah memenuhi keinginan Julie. “Kamu gak penah menuruti maunya Julie?” selidik Bu Merinda. “Bukannya gak pernah nurutin, Mi. Julie emang gak pernah minta apa-apa ke Julio sebelumnya. Ini baru pertama kalinya dia meminta sesuatu.” “Ya sudah, turuti saja maunya Julie. Ini permintaan pertamanya, apalagi saat Julie lagi hamil anak kamu,” saran Bu Merinda. “Kalian tinggal saja di tempat kos punya Julie. Nanti orang-orang Paman akan berjaga di sana.” Julie seketika tersenyum lebar. “Paman, tapi mereka harus tetap bayar kos.” “Astaga, Ai … mereka kan jagain kamu di sana, masa kamu suruh bayar.” “Pokoknya mereka harus bayar. Mereka tinggal di tempat kos aku, mereka juga harus bayar. Kamu juga harus bayar,” tunjuk Julie pada Julio. Julio meringis. Istrinya ternyata sangat perhitungan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN