Suami Kamu

1677 Kata
1998-09-18 adalah hari kelahiran Julie yang dijadikan angka oleh Julio untuk menjadi mahar pernikahan mereka. Walau Julie dan keluarganya tak meminta mahar tertentu, Julio ingin tetap memberikan hal yang spesial untuk istrinya. Menurutnya tanggal kelahiran Julie adalah angka yang harus ia agungkan. Karena di hari itulah gadis itu dilahirkan. Hari di mana Julie lahir untuk menemui takdirnya, salah satunya adalah untuk bertemu Julio. “Saya terima nikahnya Julie Adriyana Hermawan binti Pramudya Hermawan dengan mas kawin uang senilai 19.980.918 Rupiah dibayar tunai.” Sekali tarikan napas dan kalimat tersebut telah terlantun. Kalimat yang menyahkan Juli sebagai istri Julio di depan kedua keluarga mereka, bahkan di depan Jonathan. Pria itu tak merasa patah hati. Toh, memang tak pernah ada perasaan spesial kepada Julie selain dendamnya karena dikatai tua. Dibandingkan kepada Julie, ia justru sedang memfokuskan pandangannya pada Sophie. Bukan mengincar Sophie untuk dijadikan istri. Hanya rasa penasaran saja, kenapa ia belum bisa membuat Sophie membayar ucapan buruknya. Sophie juga pernah mengatai Jonathan, bahkan lebih dari yang dilakukan Julie. Ia pernah mempertanyakan kesuburan Jonathan karena puluhan tahun menikah tapi belum juga memiliki keturunan. Jangan kira Jonathan tak pernah mengikuti Sophie atau justru menyuruh orang-orangnya untuk memantau tiap pergerakannya. Bahkan Jonathan telah meminta orang-orang kepercayaannya untuk mengumpulkan informasi seputar Julie dan Sophie sejak Pak Pramudya mengatakan padanya bahwa pria itu memiliki dua orang anak gadis. Tapi, Sophie berbeda. Jika Julie mendatanginya karena ia mengira telah dijodohkan dengan Jonathan. Sophie justru sebaliknya, Jonathan yang mengikutinya. Tapi, tiap kali Jonathan melakukan hal tersebut, ia juga selalu menemukan orang lain yang mengikuti Sophie, selayaknya ada seseorang yang melindunginya. Jonathan mendengkus pelan. Jangan kira urusan kita selesai. Tidak! Tiap hinaan yang kau ucapkan lewat mulutmu yang cantik itu harus tetap kau bayar. Kau masih berhutang padaku. Rangkaian pernikahan hari ini tak begitu banyak prosesi. Pak Pramudya dan Bu Margaretha tak menuntut banyak hal untuk masuk dalam prosesi pernikahan putri bungsunya. Yang paling penting bagi mereka untuk saat ini adalah Julie aman dari incaran Jonathan setelah Julio menikahi Julie. Setelah acara foto bersama dan menikmati hidangan yang disajikan oleh tuan rumah—Bu Merinda—acara selesai. Ijab kabul tersebut memang dilaksanakan di rumah Bu Merinda, bukannya di rumah Pak Pramudya. Ini jugu salah satu pertimbangan Julio agar Jonathan tak seenaknya masuk ke kediaman Pak Pramudya. Dan tentunya disepakati saja oleh keluarga Julie. Acara selesai, tamu pulang, dan pengantin baru itu masuk kamar. Julie meringis melihat bayangan dirinya di cermin. Pakai baju pengantin, didandani dengan cantik, tapi tangannya masih tergips. Ah sial, pengantin macam apa di dunia ini yang melangsungkan pernikahannya dalam keadaan patah tulang? “Kenapa?” tanya Julio saat mendengar embusan napas berat Julie. Pria itu menghampiri Julie, berdiri di belakangnya, lalu tersenyum. “Ada gak sih orang yang nikah dalam keadaan patah tulang begini?” “Ada,” jawab Julio seraya menyentuh pundak Julie yang sebelah kanan, menyentuh bagian yang tergips itu. “Ada, dan itu istriku.” Oh sialannya, Julie sudah menggelepar hanya karena Julio mengatakan kata ‘istriku’. Seolah perutnya diaduk-aduk oleh gelenyar aneh—membuat gugup, tapi juga terasa menyenangkan. Raut wajah Julie yang memerah, tak bisa disembunyikan di balik riasan yang masih bertakhta indah di wajahnya. Ekspresi tersipu itu jelas, tertangkap oleh kedua bola mata Julio melalui pantulan cermin. Mengundang keinginan pria itu untuk menggoda Julie lagi. “Aiii ….” Ia memanggil dengan lembut, sedikit berbisik di samping telinga Julie. Tangannya bergerak turun, menyusuri permukaan gips sebelum ia merangkul pinggang gadis itu. Sumpah, ini saat-saat paling sialan bagi Julie. Ia tremor hanya dari panggilan kecil seperti itu, atau hanya rangkulan tangan Julio di pinggangnya. “Aku mau punya bayi,” bisik Julio seraya tangannya bergerak mengelus perut Julie. Makin guguplah Julie karena permintaan itu. Julie menelan ludahnya. “Ba-bayi?” “Iya, Ai. Aku mau punya bayi.” Tangan sialan itu kenapa masih tak berhenti mengelus perut Julie. Pun tak bisa benar-benar dikatakan sebagai sebuah elusan, lebih ke memancing Julie agar terpercik hasratnya untuk menuruti keinginan Julio. “Buru-buru banget, Yo. Ki-kita kan baru nikah.” “Kamu gak mau kalau kita segera punya bayi?” Julie menggeleng pelan. “Bukan gitu,” jawabnya dengan ragu. “Terus kenapa, Ai?” bisiknya. “Kamu ragu kenapa?” “Alasan kamu mau punya bayi apa?” “Emangnya salah kalo setelah kita menikah terus punya bayi?” “Tapi, kan kamu gak suka sama aku, Yo. Kamu nikahin aku cuma buat nolongin aku. Aku gak nyangka aja kalo kamu mau punya bayi dari aku.” Julio membalik tubuh gadis itu agar berhadapan dengannya. “Kata siapa?” Ia bertanya sambil menyentuh pipi Julie. “Kata aku. Kamu kan emang gak suka sama aku,” jawab Julie sambil menunduk. “Cuman aku yang suka sama kamu.” “Emangnya aku pernah bilang kayak gitu? Emangnya aku pernah bilang kalo aku gak suka sama kamu?” Julio mengangkat wajah Julie. “Pernah, gak?” “Emm ….” Julie tampak berpikir sesaat, mengingat-ingat pernahkah Julio mengatakan bahwa ia tak menyukai Julie. “Gak, sih.” Ia jawab dengan ambigu, dengan kata ‘sih’ di belakang. Menandakan bahwa ia ragu dengan ucapannya sendiri. “Aturan pertama setelah kamu jadi istriku, jangan suka menerka-nerka yang nantinya bikin kamu jadi stress dan banyak pikiran. Bisa gak kamu penuhin aturan aku?” “Hmm,” jawab Julie dengan anggukan kecil. Belajar untuk menurut. “Pintar.” Julio tersenyum sambil mengelus kepala Julie. “Jangan memikirkan hal yang bikin kamu sedih, aku pengen kamu bahagia.” “Oke.” Julie menarik tangan Julio dari kepalanya. “Sudah kubilang jangan memperlakukanku seperti hewan piaraan,” keluh Julie. “Siapa yang memperlakukanmu seperti hewan piaraan?” “Kamu. Kamu selalu mengelus kepalaku, persis seperti yang dilakukan kakakku pada hewan piarannya.” “Kalau tidak salah ingat, waktu kamu ulang tahun, kakak pertamamu juga mengelus kepalamu. Tapi, kau tidak mengeluh. Kenapa kalau aku yang melakukannya, kamu jadi kesal?” Julie cemberut. Karena kalo kamu, aku jadi tremor dan gugup. “Kenapa, hmm …?” “Gak suka aja.” “Gak suka aku maksudnya? Katanya kamu suka sama aku, ‘kan? Kamu masih suka sama aku, ‘kan? Aku bakalan sedih loh kalau kamu udah gak suka sama aku.” “Bukan, maksudku aku … hh ….” Julie menghela napas panjang, tak mau terlalu jujur. Malu juga kalau ia terus yang harus mengaku kalau ia sangat menyukai pria itu. “Kenapa?” Julio menuntut jawaban. “Kamu gak suka kalo aku yang mengelus kepalamu? Tapi, kalo kakakmu, kamu mau-mau aja.” “Ya, Kak Nughie kan kakak aku. Gak bikin gugup kalo dia ngelus kepalaku.” Julio tersenyum. “Oh, jadi maksudnya kalo aku yang ngelusin kepala kamu, kamu jadi gugup? Gitu?” “Gak,” sangkal Julie. Percuma menyangkal, toh sudah ketahuan oleh Julio. “Aku seneng kamu gugup,” ujar pria itu. “Jadi, apa kita udah sepakat untuk memiliki bayi?” “Maksud kamu kita …?” “Kita apa, Ai …,” goda Julio. “Maksud aku, kamu sama aku beneran nikah?” “Loh, emangnya kapan kita main nikah-nikahan? Nikahnya beneran dong, termasuk punya bayi. Kamu jadi mamanya dan aku jadi papanya.” Tenggorokan Julie langsung kering seketika, membuat ia kesulitan untuk mengatakan sesuatu. Mulutnya terbuka sedikit, sepertinya hendak bicara. Tapi, tak satu patah kata pun terdengar. “Butuh aku bantuin untuk melepaskan baju pengantinmu?” Julie menggeleng dengan cepat. Menolak. “Emangnya bisa sendiri? Tangan kamu kan lagi sakit, Ai.” “Ma-mm-mamaku,” jawab Julie dengan tergagap. Bermaksud mengatakan bahwa ia akan meminta bantuan Bu Margaretha untuk melepaskan baju pengantinnya. “Mama kamu kan udah pulang, Ai.” Ah, Julie lupa hal itu. Setelah ijab kabulnya selesai, Pak Pramudya, Bu Margaretha, serta keluarganya yang lain telah meninggalkan kediaman Bu Merinda. “Kan aku udah jadi suami kamu, harusnya aku yang bantuin kamu lepas atau pakai baju sekarang. Kamu gak perlu minta bantuan orang lain. Andalkan aku, Ai. Aku kan suami kamu.” Tanpa menunggu persetujuan Julie, Julio mulai melepaskan gantungan gips gadis itu agar lebih mudah saat ia melepaskan kebaya tanpa lengan yang dipakai Julie. Gadis itu meringis, atau lebih tepatnya merutuk. Bagaimana tidak, biasanya kalau orang menikah, apalagi saat prosesi ijab kabulnya memakai kebaya lengan panjang agar terlihat anggun. Eh, Julie malah pamer keseksiannya dengan mengenakan kebaya tanpa lengan. Kebayanya pun dibuat dadakan gara-gara pernikahannya sangat terburu-buru. Sebenarnya bukan bermaksud pakai baju yang terbuka, hanya saja menyesuaikan dengan kondisi lengan Julie yang masih terpasangi gips. “Mana ada sih orang nikah pake baju kayak aku ini?” omelnya. “Temen-temen aku yang udah nikah tuh mereka kelihatan anggun banget. Aku ….” Ia menghela napas panjang, membuat Julio sedikit terkekeh mendengar omelan gadis itu. “Emangnya kita harus selalu sama dengan orang lain?” tanya Julio. “Terus apa bedanya kita kalo selalu sama dengan yang dilakukan atau dipakai orang lain?” Julio menarik turun resleting di bagian punggung Julie. “Eh, jangan dipelorotin!” cegah Julie dengan suara yang terburu-buru. Julio menahan pergerakan tangannya. “Kalo gak dipelorotin terus diapain? Kan mau dilepas.” “Nanti kamu ngeliat aku.” “Kan aku memang lagi ngeliatin kamu. Kamu ngarep aku jadi buta?” “Maksudku nanti kamu … ee … aku kan cuma pake dalaman. Kalo kamu lepasin, nanti kamu liat.” “Emangnya gak boleh aku liat? Gak boleh gitu aku liat istriku sendiri?” Julie tidak menjawabnya, ia hanya memalingkan wajah. “Aiii …,” panggil Julio dengan lembut. “Kamu itu udah jadi istriku.” “Gak mau, ah.” “Gak mau jadi istri aku? Aku sedih loh?” “Bukan. Maksudnya jangan dilepasin bajuku.” “Kan kita mau bikin bayi, Ai. Harus lepas baju loh,” ujar Julio sambil tersenyum miring. “Aku bisa sendiri.” “Loh, bikin bayi gak bisa sendiri. Harus kerja sama antara papa sama mamanya. Bayinya gak bisa jadi kalau cuma mama aja.” “Ih, Julio. Maksudku aku bisa sendiri lepasin bajuku.” “Setelah nikah sama aku, hal-hal yang bisa kamu lakuin sendiri, sekarang aku akan melakukannya untukmu. Ai, kamu punya aku, suami kamu.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN