“Yo, kamu suka sama aku?”
Hanya senyum, itu pun terlihat ambigu. Tak menentang pertanyaan Julie. Tapi, juga tak menunjukkan jawaban iya. Justru pria itu menarik diri menjauh sebelum ia menjawab dengan hal lain. “Aku akan menghubungi dokter Martin. Kuharap dia belum terlalu mabuk untuk mengobati pasiennya.”
Seperti yang ia katakan, Julio benar-benar memanggil dokter Martin. Dan tak Julie sangka jika dokter Martin akan datang dalam kurun waktu tak sampai lima menit setelah Julio mengabaikan pertanyaannya.
Walau ia berbau alkohol, tapi dokter Martin masih terlihat cukup sadar dan tak terpengaruh alkohol sama sekali. Buktinya pria itu cukup sigap memeriksa Julie. Bahkan saat berujar, menyatakan diagnosanya pun tak melindur sama sekali. Terlihat sama sekali tidak mabuk.
“Detak jantungnya cukup cepat, lebih dari batas normal. Untuk pemeriksaan lanjutan, akan kulakukan besok, saat aku benar-benar tak terpengaruh alkohol.” Dokter Martin memberi tahu Julio. “Untuk sekarang, Julie bisa mengonsumsi obat tidur agar bisa beristirahat. Kemungkinan besar ini adalah pengaruh dari shock yang Julie hadapi gara-gara beberapa hal yang terjadi akhir-akhir ini.”
Pria yang bersama Julio di bar beberapa saat yang lalu itu mengambil obat tidur di antara obat-obatan Julie yang lain. Ia berikan pada gadis yang terbaring itu.
“Minumlah, kau akan baik-baik saja setelah ini. Jangan terlalu banyak pikiran. Aku bisa menjamin jika tempat ini lebih dari aman untukmu berlindung,” ujarnya.
Semakin orang-orang mengatakan bahwa tempat itu aman, semakin Julie waspada. Tempat macam apa ini sebenarnya?
Seingatnya, Julio membawanya ke sebuah bar, lalu masuk lebih jauh ke dalamnya sebelum naik di lantai paling atas. Dan ternyata tempat inilah yang disebut aman, tempat tinggal Julio.
Pertanyaan Julie adalah jika pria itu punya tempat tinggal kenapa justru menyewa di tempat kos Julie? Padahal jika dibandingkan dengan fasilitas yang ditawarkan Julie di tempat kosnya, ah tak ada apa-apanya dengan perabotan yang ada di tempat ini.
“Tidurlah.” Julio terdengar memberi saran. Tidak, itu lebih terdengar membujuk, saking lembutnya suara pria itu mengalun di telinga Julie. “Aku akan membiarkanmu beristirahat. Aku ada di kamar sebelah jika kau butuh sesuatu.”
Julio memilih meninggalkan kamar gadis itu. Sadar jika ia berada di tempat itu maka obat tidur Julie pasti gagal bekerja. Akhirnya sadar jika yang membuat Julie pucat bukanlah penyakit, tapi karena ia. Sayangnya ia memilih mengabaikan pertanyaan Julie tentang bagaimana perasaannya pada gadis itu.
Biarlah gadis itu menerka-nerka. Tidak, bukan membiarkan sebenarnya. Karena, sesungguhnya Julio pun tak tahu bagaimana perasaannya pada Julie. Sukakah? Seperti yang Julie pertanyakan. Atau hanya rasa kasihan?
Entahlah, biarkan waktu yang menjawabnya. Karena tentang perasaan kadang berubah tanpa bisa dicegah. Yang semula sangat mencintai pun bisa berubah jadi membenci. Yang semula begitu mengharapkan bisa jadi amat kecewa.
Di tempat lain, ada juga seseorang yang tak bisa tidur. Pria itu mengepalkan tangannya. Bisa-bisanya ia dipermainkan seperti ini. Dan ini adalah pertama kalinya bagi seorang Jonathan merasa bahwa ia telah kalah telak oleh seorang gadis lemah seperti Julie.
Wira datang menghadap. Tak peduli dini hari, karena ia harus tetap melaporkan bahwa pencariannya sama sekali tak menunjukkan apa-apa.
“Bagaimana?” tanya Jonathan dengan tatapan tajam.
Wira menunduk, berhasil membuat Jonathan mendengkus keras karena sudah bisa menebak bahwa pria itu pasti akan meminta maaf.
“Maaf, Pak.” Kan, sudah ia tebak. Wira pasti meminta maaf. “Kami belum menemukan petunjuk apa pun. Untuk sekarang kami belum bisa memastikan apakah Nona Julie masih berada di rumah orang tuanya atau justru telah dipindahkan ke tempat lain.”
“Sebenarnya apa yang kau lakukan siang tadi, huh? Bukankah sudah kukatakan untuk memastikan sendiri dengan mata kepalamu agar gadis itu dibawa ke rumah penyekapan?”
“Maaf, Pak.” Sekali lagi Wira meminta maaf.
“Aku tidak membayarmu untuk meminta maaf tiap saat.”
“Kami akan mencari tahu lagi keberadaan Nona Julie, Pak.”
“Jangan hanya mencari Julie, uruslah Julio juga. Anak nakal itu sudah terlalu banyak mencampuri urusanku dengan Julie.”
“Kami juga tetap memantaunya, Pak. Malam ini dia berada di tempat yang sama seperti sebelum-sebelumnya, berada di bar dan bermain-main bersama teman-temannya.”
“Pergilah, sekali lagi kau kembali dengan permintaan maaf, kelangsungan hidup keluargamu yang jadi taruhannya!”
****
“Jul, gimana keadaan kamu?” Bu Margaretha bertanya melalui sambungan video call.
Hanya melalui sambungan telepon atau video call Julie bisa berkomunikasi dengan orang tuanya. Julio tak memperbolehkan Pak Pramudya atau Bu Margaretha mengunjungi Julie. Mengantisipasi kecurigaan Jonathan. Dengan kenyataan bahwa keberadaan Julie belum terdeteksi, pastilah Jonathan akan terus memantau pergerakan kedua orang tua Julie.
“Julie udah mulai membaik, Ma. Liat, Ma, luka di wajah Julie udah mulai mengering.”
Gadis yang memengangi ponsel pemberian Julio itu memamerkan wajahnya pada Bu Margaretha. Ia memang menggunakan ponsel pemberian Julio. Lagi-lagi mengantisipasi jika ponsel Julie dilacak oleh Jonathan untuk mengetahui keberadaan gadis itu.
“Syukurlah, Jul. Tangan kamu gimana?”
“Kalo tangan Julie, kata dokter penyembuhannya bakalan mengambil waktu, mungkin sampai sembuh total bisa beberapa bulan, Ma.”
“Gapapa, Jul. Jangan terlalu dipikirin ya, Nak. Yang paling penting sekarang adalah Julie aman dulu di sana.”
“Iya, Ma.”
“Oh ya, kamu sendirian di sana, Jul? Julio gak ada?”
“Gak ada, Ma. Julio lagi pergi.”
“Ke mana?” tanya Bu Margaretha, mencoba mengorek-ngorek info tentang Julio. Sebenarnya ini yang paling membuatnya penasaran. Tapi, di hari-hari sebelumnya tak sempat ia tanyakan karena selalu ada Julio saat ia menelepon Julie.
“Gak tau, Ma. Julio gak bilang.”
“Emangnya kamu gak nanya?”
“Gak. Gak enaklah, Ma. Nanti Julie dikira kepo.”
“Jul, kamu di situ selalu berdua aja sama Julio?”
“Iya, Ma. Bahkan di sini gak ada pelayan. Kalo waktunya makan, Julio selalu bawa sendiri makanan buat Julie.”
“Terus yang bersih-bersih siapa?”
“Gak tau, Ma. Tiap kali Julie bangun, tempat ini udah bersih aja. Tapi, Julie juga gak pernah nemuin ada orang yang dateng ke sini.”
“Jul, kalo malem kamu sama Julio ngapain aja?” Pertanyaan ini jugalah yang sudah membuat Bu Margaretha amat penasaran. Tapi, baru berhasil ia tanyakan setelah tiga hari Julie tinggal bersama Julio.
“Gak ngapa-ngapain. Kalo malem Julio sibuk, Ma. Kadang dia cuma nemuin Julie pas nganterin makanan sama ngingetin buat minum obat. Setelah itu dia pergi. Baliknya gak tau. Kadang sampai tengah malem Julie tungguin tapi gak pulang-pulang. Semalem Julie tungguin sampe ketiduran di sofa. Tapi, pas bangun eh Julie udah di kamar.”
“Berarti Julio gendongin kamu ke kamar.”
Julie tersenyum kecil, wajahnya langsung merona merah.
“Muka kamu sampe merah tuh, Jul,” goda Bu Margaretha, wanita itu sampai tertawa di sambungan video call. Membuat Julie memberengut karena ditertawakan.
Di saat bersamaan pintu terbuka dan pria yang membuat wajah Julie bersemu merah itu akhirnya muncul. Ia kembali.
“Ma, udah dulu. Julio balik,” ucap Julie dengan tergesa-gesa lalu mematikan sambungan video callnya.
“Kenapa dimatiin? Aku gak ngelarang kamu bicara sama orang tua kamu, Aiii ….” Pria itu menghampiri Julie, lalu mengusap pelan rambutnya. Sialan sekali, kenapa pria itu suka sekali mengelus rambut Julie.
“Kau menganggapku hewan piaraan?” tanya Julie dengan raut wajah kesal.
“Hewan piaraan?”
“Iya, tiap kali kau bicara padaku selalu saja mengelus-elus kepalaku. Persis seperti yang dilakukan kakakku pada hewan piarannya, Si Poni. Apa aku seperti hewan?”
“Baiklah, aku tak akan melakukannya jika itu mengganggumu. Maaf soal mengelus kepalamu.”
Siapa bilang aku tak suka dielus kepalanya. Aku suka, hanya saja itu terasa menganggu karena kau membuat jantungku berdetak kencang tiap kali kau melakukannya. Giliran aku tanya apa kau menyukaiku atau tidak, eh malah diabaikan.
“Aku minta maaf,” ulang Julio. Kali ini dengan sungguh-sungguh, apalagi setelah melihat Julie tak berhenti memberengut. “Sungguh, aku tak akan melakukannya lagi. Aku tidak akan memperlakukanmu seperti Si Poni yang kau maksud itu.”
“Baiklah,” jawab Julie setengah hati, suaranya masih terdengar kesal.
“Bisakah kita berdamai?”
“Baiklah.”
Julio tertawa, sudah dua kali Julie berkata ‘baiklah’ tapi kok kedengarannya justru bermakna sebaliknya.
“Baiklah.” Gantian Julio yang membalik ucapan Julie. “Karena kita sudah berdamai, aku membawa hadiah kecil untukmu. Semoga hadiah ini bisa membuatmu senang.”
“Apa? Hadiah apa?” Julie terlihat lebih bersemangat. Raut cemberut di wajahnya perlahan sirna, berganti dengan ekspresi penuh harap.
Julio membuka tas ransel yang tadi ia bawa. Ia mengeluarkan laptop miliknya. Ia terlihat menekan beberapa tombol di keyboard, menekan touchpad, lalu mengarahkannya pada Julie.
“Dia masih hidup,” ujarnya sambil menunjuk pada video yang terputar di laptop. “Dia pria yang kamu tusuk itu. Dia masih hidup, Ai ….”
“Benarkah? Apa dia sungguh orang yang aku tusuk itu?”
“Iya.” Julio mengangguk. Mencoba meyakinkan Julie lewat sebuah video dan pernyataan palsu.
Video yang ia tunjukkan adalah video dari pria lain yang bekerja pada Jonathan. Karena pria yang benar-benar Julie tusuk malam itu, seperti yang ditakutkan Julie, benar-benar telah meninggal. Sepertinya Julie juga tak begitu mengingat bagaimana wajah pria yang ia tusuk itu. Efek panik dan dalam keadaan menanggung banyak kesakitan di tubuhnya.
Informasi yang Julio dapatkan tentang pria yang Julie tusuk, ia meninggal karena terlambat dibawa ke rumah sakit. Ia sudah terlalu banyak kehilangan darah. Makanya saat sampai di rumah sakit pun, dokter tak lagi mampu menyelamatkannya.
Bisa dikatakan bahwa Julie adalah seorang pembunuh. Tapi, apa yang dilakukannya malam itu benar-benar hanyalah untuk membela diri. Tak punya maksud untuk menghabisi nyawa seseorang.
Tapi, kenyataan itu biarlah Julio kubur sebagai rahasia kecilnya. Ia memilih berbohong pada Julie, agar gadis itu tak lagi ketakutan atau menangis tanpa ia sadari di malam hari. Agar Julie tak lagi resah dan mengingau menyebut-nyebut bahwa ia adalah seorang pembunuh.
“Berarti aku bukan pembunuh, ‘kan?”
“Bukan,” jawab Julio.
“Terima kasih, Yo.” Gadis itu menangis dengan haru. “Aku bukan pembunuh. Ma, Pa, Julie bukan pembunuh,” ujarnya dengan terisak. Seolah memberi tahu secara langsung pada Pak Pramudya dan Bu Margaretha bahwa ia tak membunuh siapa pun.
Satu kebohongan Julio hari ini menyelamatkan Julie dari rasa bersalah. Menyelamatkan Julie dari trauma yang akan ia tanggung seumur hidup.