Pertanyaan Julie

1432 Kata
“Yo …,” panggil Julie dengan suara yang agak lirih. Dari sekian banyak pertanyaan yang menggantung di kepalanya, akhirnya gadis itu mulai bersuara, lantas ia mengutarakan rasa keingintahuannya. “Ini maksudnya apa? Aku kok dibawa ke sini?” Saat ia diberitahu oleh Pak Pramudya untuk mengikuti Julio, ia sama sekali belum paham maksudnya. Ingin bertanya tapi tak memiliki waktu karena Pak Pramudya dan Bu Margaretha sudah bergegas ke rumah sakit. Lantas di sinilah ia saat ini, di tempat yang menurut Pak Pramudya adalah tempat yang aman dari Jonathan. Tempat yang aman? Bisakah sebuah bangunan yang difungsikan sebagai bar dikatakan sebagai tempat yang aman? “Kamu bakalan aman di sini, Ai ….” Pria itu menjawab. Tapi, sungguh kata ‘aman’ yang dimaksud oleh pria itu justru bermakna ambigu bagi Julie. “Aman?” ulang Julie. “Iya, Jonathan gak bakalan tau kalau kamu ada di sini.” Melihat Julie begitu ragu-ragu, Julio memilih duduk di tepian ranjang. Meraih tangan gadis itu lalu ia tunjukkan seulas senyum. “Aku bakalan jagain kamu. Aku bakalan pastiin kamu aman dari Jonathan. Sekarang, kamu masih harus banyak-banyak istirahat.” “Yo, kenapa kamu mau ngelindungin aku dari Om Jonathan?” Julio sedikit tersenyum. Ia tarik telapak tangannya yang menggenggam tangan Julie. Tangan itu lantas beralih mengelus pelan puncak kepala Julie. “Aku sedang melindungi Ibunda Ratuku. Sebagai salah satu kurcacimu, aku akan melakukan yang terbaik agar tak dicap sebagai kurcaci yang nakal. Aku ini kurcaci yang baik.” “Kamu tau soal kurcaci-kurcaci yang nakal?” “Tentu, kamu kan sering sekali memanggil kami dengan sebutan kurcaci.” Julie menggaruk kepalanya. Seingatnya ia tak pernah menyebutkan tentang kurcaci di depan Julio. Kalau di depan anak kos yang lain sih memang sering, apalagi yang suka berulah. Ah, mungkin Julio mendengarnya dari penghuni kos yang lain. “Beristirahatlah, dokter Martin akan datang untuk memeriksamu di malam hari.” **** Jam 2 dini hari, gadis itu pikir obat tidur bisa membantunya untuk terlelap. Rupanya tak berhasil. Mencoba memejamkan mata juga tak membantu apa-apa. Bahkan saat matanya terpejam sekali pun, ia kembali teringat kejadian saat ia menusuk perut pria yang tak pernah ia ketahui namanya. Meninggalkah? Jika meninggal, bukankah itu berarti jika Julie adalah seorang pembunuh? Tidakkah itu berarti jika ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya? Tapi, untuk datang ke kantor polisi dan mengakui bahwa ia telah menghilangkan nyawa seseorang benar-benar menakutkan. Ia tak mau menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk terkurung di balik jeruji besi. Tapi, jika pria itu tak meninggal. Bukankah Julie masih harus bertanggung jawab untuk pengobatannya? Bayangan saat pria itu terkapar di lantai dengan bersimbah darah tak mau lepas dari kepala Julie. Saat Julio membawanya meninggalkan rumah penyekapan itu, pria yang habis ia koyak isi perutnya itu tak lagi bergerak. Berbeda dengan pria yang ditusuk oleh Julio di jantungnya, ia masih meraung kesakitan saat Julie dan Julio memasuki lorong bawah tanah rumah Jonathan. Aku seorang pembunuh? Setelah semua ini, Papa sama Mama memiliki anak yang merupakan seorang pembunuh. Ia tak mau mengakui kenyataan itu, tapi kenapa rasa bersalah itu terus berteriak di kepalanya. Membenarkan bahwa Julie adalah seorang pembunuh. Sungguh pencapaian yang luar biasa. Julie, di usianya yang kedua puluh empat tahun, ia menjadi seorang pembunuh. Menyedihkan sekali, kedua kakaknya—Nughie dan Sophie—di usia yang sama waktu itu telah mendapatkan gelar magisternya. Tapi, Julie justru mendapatkan gelar pembunuh. Memalukan, sebegitu tak bisanyakah ia mempersembahkan sesuatu yang membanggakan untuk Pak Pramudya dan Bu Margaretha. Gadis itu perlahan turun dari tempat tidurnya, berjalan dengan langkah yang sempoyongan. Tubuhnya masih sakit semua. Belum lagi tangan kanannya tak bisa ia pakai untuk berpegangan karena terpasangi gips. Julie menyeret kakinya, memaksa tubuhnya untuk meninggalkan kamar itu. Ia tak mau berada di tempat itu seorang diri. Seolah pria yang habis ia tusuk itu sedang menodongnya, meminta pertanggungjawaban. Pintu kamarnya ia buka, matanya mengedar ke seluruh penjuru ruangan. Mencari sosok Julio. Sebelum pria itu meninggalkan kamar Julie di jam 9 malam tadi, ia berpesan jika saja Julie membutuhkannya, ia bisa mencari Julio ke kamar sebelah. Makanya, pintu kamar yang di sebelah itulah yang kini dituju Julie. Gadis itu mengetuk pintunya perlahan seraya memanggil Julio. “Yo … ka-kamu udah tidur?” Julie mematung beberapa detik, menunggu hingga pertanyaannya terjawab. Tiga detik berlalu tanpa ada tanda-tanda dari Julio. Entah pria itu mendengar panggilannya atau tidak. Resah menunggu tanpa jawaban, Julie kembali mengetuk, sedikit lebih nyaring dari sebelumnya. Walau setelah itu ia merutuki diri, merasa benar-benar tak tahu diri. Sudah numpang di tempat Julio, eh masih harus merepotkan pria itu di saat Julio tidur. Julie menghempaskan tangan kirinya turun dari pintu kamar Julio. Ia menyerah. Gadis itu perlahan mendudukkan dirinya di depan pintu, bersandar di sana, memeluk lututnya seorang diri. “Kenapa Papa nyuruh aku ke sini? Di sini aku sendiri. Di rumah, ada banyak orang. Ada Papa, Mama, Kakak, dan Bibi-Bibi yang kerja di rumah.” “Kamu gak sendiri, Ai ….” Suara itu membuat Julie mendongakkan kepalanya. Mendapati Julio berdiri di depannya. Jam dua dini hari, dan pria itu masih terlihat segar. Sedikit membuat Julie penasaran, tidakkah pria itu beristirahat? Pria itu baru kembali dari lantai bawah—dari bar. Julio berlutut. “Aku ada di sini. Bareng sama kamu. Aku bawa kamu ke sini bukan untuk menjauhkan kamu dari keluargamu, tapi untuk melindungi kamu.” Julie tak suka tiap kali pria itu berbicara dengan lembut padanya. Sungguh, ia membenci itu. Karena ia tahu, tiap kali Julio melakukannya, ia sekali lagi tersihir oleh pesonanya. Membuat ia merasa semakin lemah, semakin tak berdaya. Membuatnya semakin menginginkan pria itu agar melindunginya selamanya, lebih dari Pak Pramudya yang telah melindunginya selama ini. “Yy-yo ….” Lirih sekali, bibir Julie bahkan bergetar saat ia menyebut nama pria itu. Ada air menggenang di kelopak matanya. Belum jatuh, tetap bertakhta di sana. “Ap-apa aku membunuh orang itu?” Julio menggeleng dengan cepat, walau ia juga tak tahu apakah pria yang dimaksud oleh Julie itu masih hidup atau benar-benar meninggal. “Aku seorang pembunuh?” “Bukan, Ai ….” Julio menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Dan saat itulah Julie tak kuasa menahan ledakan air matanya. Ia lemah sekali saat Julio sedemikian menunjukkan kepeduliannya. “Kamu bukan pembunuh,” tegas pria itu sekali lagi, sembari mengelus pelan puncak kepala Julie. “Ta-tapi dia … a-aku menusuknya sam-sampai berdarah-darah.” Ah, bayangan itu … kembali terputar di kepala Julie. Menghantuinya lebih dalam. “Tidak. Kamu hanya mencoba membela diri.” “Tidak, aku membunuhnya.” “Ai …,” panggil Julio. Pria itu mengurai sedikit pelukannya, ia tangkup kedua sisi wajah Julie, membiarkan kedua bola mata mereka saling bertemu. Ia bisa lihat bagaimana gelisah yang menghantui Julie saat ini. “Kita bahkan tidak tahu apa pria itu meninggal atau tidak. Dia mungkin hanya pingsan waktu itu.” “Bagaimana kalau dia meninggal?” “Aku yakin dia masih hidup.” Julio menjawab. “Jonathan tidak mungkin mempekerjakan pria yang selemah itu. Masa hanya dengan sekali tusukan, dia langsung meninggal. Kamu mungkin tidak tahu hal ini, tapi orang-orang yang bekerja sebagai pengawal atau penjaga itu terlatih untuk hal-hal seperti ini. Mereka memang terlatih untuk hal-hal berbahaya seperti ditusuk atau bahkan ditembak.” “Benarkah?” tanya Julie penuh harap. “Iya. Aku yakin dia masih hidup.” “Jadi, aku bukan pembunuh?” “Bukan, Ai … kamu bukan orang jahat, kamu adalah orang yang sangat baik,” ucapnya sembari mengelus pipi Julie, menghapus sisa air mata gadis itu. “Benarkan, aku bukan pembunuh?” “Bukan. Jika ini sangat mengganggumu, aku akan mengecek pria itu, kuyakin dia masih hidup.” “Hmm ….” Julie mengangguk beberapa kali. “Tolong lakukan itu.” “Iya. Sekarang, kamu harus istirahat yah,” bujuk Julio. “Aku anterin ke kamar.” Julio membantu Julie berdiri, ia hendak menuntunnya kembali ke kamar. Tapi, gadis itu masih terlihat kesulitan berjalan, makanya Julio berinisiatif untuk menggendongnya. Sialnya bagi Julie karena Julio tidak pakai bilang-bilang, sukses membuat Julie kehilangan kemampuan untuk mengontrol suara degup jantungnya. Wajah Julie pucat pasi saat Julio menurunkannya di tempat tidur. Pria itu sampai kaget. Seingatnya, saat ia menggendong Julie, walau memang gadis itu gemetaran karena habis menangis, tapi tak sampai sepucat ini. Apalagi deru napasnya terdengar amat memburu. “Ai … kamu ada yang sakit? Aku panggilin dokter yah.” Julie meraih pergelangan tangan Julio dengan tangan kirinya, mencegah pria itu menghubungi dokter. Ia menggeleng. Mulutnya tak mampu berkata apa-apa. “Tapi, kamu pucat.” Julie kembali menggeleng, menyatakan penolakannya. Gadis itu justru terdengar bertanya, sesuatu yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan ucapan Julio barusan. “Yo, kamu suka sama aku?” tanya Julie dengan putus asa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN