Seseorang yang Memanggil 'sayang'

1554 Kata
Satu minggu sejak Julie tinggal bersama Julio, yang gadis itu lakukan hanyalah bersantai-santai saja. Menonton TV, curhat pada Bu Margaretha, lalu menunggu hingga Julio kembali. Membosankan, iya … sangat. Pagi-pagi sekali Julio pamit padanya, hanya setelah memastikan Julie sarapan dan minum obat, Julio langsung pergi. Dan sampai siang begini harus Julie lalui seorang diri. Ia sudah berkali-kali memindah-mindahkan channel TV, tapi makin tak ada yang menarik. Gadis itu melirik jam, sekarang setengah 12 siang. “Kayaknya Julio bakalan segera pulang. Tiap jam makan dia pasti akan datang untuk membawakan makanan.” Benar saja, bahkan belum semenit Julie mengatakannya dan pria itu sudah datang. Membawa dua kantongan, satu berukuran besar, sementara yang satu Julie terka adalah makan siang. “Kamu udah kelaparan, yah?” Julie menggeleng pelan. “Tidak.” Hanya bosan saja, pengennya ditemenin kamu, tapi kamu sepertinya sibuk. Julie melanjutkan ucapannya dalam hati. “Kamu bosan, yah?” tebak Julio. “Maaf, aku yang bawa kamu ke sini tapi malah lebih sering ninggalin kamu sendirian.” “Gapapa, harusnya aku berterima kasih. Kata Mamaku ada baiknya aku dibawa ke sini. Soalnya tiap hari orang-orangnya Om Jonathan masih memantau rumah. Aku jadi penasaran, sampai kapan aku harus ngerepotin kamu di sini?” “Kamu gak bikin aku kerepotan, Ai ….” Julio membalas seraya ia meletakkan dua kantongan yang ia bawa di atas meja. “Gak ngerepotin apanya, kamu pasti sibuk, ‘kan? Tapi, harus balik tiap waktu makan demi nganterin aku makanan. Buat besok-besok, aku bisa masak sendiri kok.” “Masak?” ulang Julio. Mengingat bagaimana asinnya sop ayam buatan Julie, sepertinya itu bukanlah ide yang benar. “Iya. Aku bisa masak. Jadi, kamu gak perlu bolak-balik kalo lagi kerja. Aku makannya juga gak terlalu milih-milih, aku bisa makan buah seharian, bahkan bisa makan oatmeal aja.” Julio sedikit tertawa. “Saat aku meminta izin sama papa dan mamamu untuk bawa kamu ke sini, aku sudah berjanji untuk melindungi kamu. Tidak hanya soal Jonathan, tapi juga soal apa yang kamu makan, juga tentang kebutuhan-kebutuhan pribadimu.” Pria itu menunjuk kantongan besar yang tadi ia letakkan di atas meja. “Di situ ada barang-barang untuk kamu. Kalau kamu butuh yang lain, bilang saja padaku.” Julio meraih kantongan yang satunya, yang berisi makanan lalu beralih ke dapur untuk memindahkannya ke piring. Sementara Julie meraih kantongan besar itu dengan tangan kirinya. Menemukan barang-barang kebutuhan wanita di dalamnya, termasuk pembalut dan bahkan perlengkapan mandi. Sebelumnya Julio memang belum sempat membelikan perlengkapan mandi seperti sabun, sampo, dan barang-barang khusus untuk wanita. Baru sempat teringat hari ini. Di hari-hari sebelumnya, Julie memakai milik Julio. “Yo ….” Julie memanggil, sedikit merengek karena ia terharu. “Kamu mungkin membutuhkannya, makanya aku membeli itu untukmu,” tunjuk Julio saat Julie mengangkat pembalut dari dalam kantongan. “Tau dari mana kalo aku memakai merk-merk ini?” “Ingat waktu kita belanja bareng, gak? Waktu kita ketemu di mini market? Kamu membeli barang-barang dengan merk yang sama.” “Kamu ingetnya dari waktu itu?” “Iya,” jawab pria itu seraya meletakkan piring di atas meja makan. “Ayo, makan.” Sumpah, ini hal yang sepele. Tapi, pria itu benar-benar sukses membuat Julie jatuh cinta. Hanya perkara sebungkus pembalut, sabun mandi, sampo, sabun pencuci wajah, dan beberapa bungkus snack kesukaan Julie. Tapi, hal-hal sepele itu berhasil membuat Julie merasa bahwa setelah Pak Pramudya ternyata ada pria lain yang amat peduli padanya. Gadis itu bangkit dari duduknya, berjalan terburu-buru sebelum ia menghambur ke pelukan Julio. Ia menenggelamkan wajahnya ke d**a pria itu, sementara tangan kirinya merangkul dengan eratnya ke belakang tubuh pria itu. “Yo, aku boleh kan kalo suka sama kamu?” Julie tak bisa menahan pertanyaan itu. Bodoh amat jika ia menyesali ucapan gegabahnya ini di masa depan. Terlanjur sudah ia mengatakannya. Tak mungkin ia menarik kembali. “Please, jawab aku. Tolong jangan mengabaikan pertanyaanku lagi. Aku tidak meminta kamu menyukaiku balik. Juga tidak meminta kamu agar mau pacaran sama aku. Hanya bertanya bolehkah aku menyukaimu atau tidak. Tolong, kali ini jawab itu.” Julio sedikit terkekeh. “Bahkan jika aku melarang, apa itu akan menghentikanmu untuk menyukaiku?” Julie menarik diri, melepaskan pelukannya. “Kalau dilarang, aku bakalan berhenti menyukaimu.” “Kenapa?” “Karena aku gak mau bikin kamu merasa terbebani dengan kenyataan bahwa aku menyukaimu.” “Jika aku memintamu untuk berhenti, apa kamu benar-benar bisa berhenti?” Julie tersenyum kecut, ia hanya bertanya boleh atau tidaknya. Tapi, kenapa ia merasa seperti sudah ditolak? “Aku akan mencobanya jika memang tidak diperbolehkan,” jawabnya sambil menunduk. Julio meraih wajah gadis itu agar mendongak padanya. Kedua tangannya menangkup sisi wajah Julie. Mengelus perlahan sebelum ia mengulas senyum. “Boleh, Aiii …,” jawabnya dengan lembut. Memang sialan kan pria itu? Dilarang mengelus kepala Julie, eh sekarang mengelus permukaan wajah Julie. Sialan-sialan, tapi Julie suka sekali pria itu. “Kamu boleh menyukaiku.” “Benarkah?” “Iya. Untuk sekarang ini silakan menyukaiku sepuasmu. Tapi, ….” “Tapi? Tapi, apa?” “Tapi, aku mungkin akan menyuruhmu untuk berhenti menyukaiku saat aku mulai merasa terbebani dengan perasaanmu itu,” ucapnya sambil tertawa. “Ayo, makan. Setelah ini kamu masih harus minum obat.” Setelah makan siang, Julie pikir pria itu akan kembali bekerja. Rupanya Julio memilih tetap di rumah. Justru pria itu tampak bersantai sambil menonton TV. “Kamu gak kerja, Yo?” “Anggap saja aku sedang mengambil waktu liburku.” Julie perlahan duduk, di sofa yang berseberangan dengan sofa yang diduduki oleh Julie. “Kamu emangnya kerja apa, Yo?” Julie bertanya dengan ragu-ragu. Sebenarnya takut jika Julio menjawab jujur, mengatakan bahwa ia bekerja sebagai pria pemuas tante-tante kaya. Seperti yang digosipkan oleh anak-anak kos. “Aku kerja di bawah, di bar,” jawabnya dengan santai. “Makanya kalau malam aku lebih banyak di bawah. Kalo siang begini sih aku bisa lebih santai.” “Oh.” Gadis itu tampak meneliti raut wajah Julio yang saat ini berfokus melihat tayangan di TV. “Aku sebagus itu buat diliatin yah? Sampe gitu amat ngeliatnya.” Julio menertawakan Julie, memergoki gadis itu. “Iya.” Julie tak suka menyembunyikan perasaannya. Ia jujur saja. Namanya juga suka ceplas-ceplos. “Karena itu, boleh gak kalo aku ngeliatin kamu lebih dekat?” Julio tak sanggup menahan tawanya. “Emangnya kamu mau liat apanya kalo lebih dekat? Bukannya kita udah dekat?” “Lebih dekat,” jawab Julie. “Kalau sambil meluk kamu, boleh, gak?” Dasar tak tahu diri. Mulai melunjak permintaan Julie. Dikasih hati malah minta jantung. “Kalau begitu kemarilah,” jawab Julio. Ia menepuk sofa yang masih kosong tepat di samping kirinya. “Kemarilah, kau bisa lebih dekat di sini.” Tak perlu menunggu waktu lama. Julie bergegas pindah ke tempat yang ditunjuk oleh Julio. Ia duduk, lalu melihat pria itu, lebih dekat. Julio menariknya lebih dekat, tangan kanannya merangkul gadis itu. “Ini yang kamu mau?” “Iya,” jawab Julie seraya membenamkan wajahnya di d**a pria itu. Kali ini lebih ia nikmati. Kapan lagi coba, mumpung dikasih izin. “Kamu enak dipeluk, Yo.” “Oh, ya?” “Iya, badan kamu hangat.” “Pelukan kamu juga hangat banget, Ai …. Pelukan kamu malam itu, di balkon kamar kamu. Itu adalah pelukan paling hangat di saat aku benar-benar terpuruk waktu itu. Aku baru sempat mengatakannya secara langsung, terima kasih untuk malam itu, Ai.” Julie mendongakkan kepalanya. “Jadi, apa kamu sudah baik-baik saja sekarang?” “Ya, lebih baik,” ucapnya. “Boleh aku bertanya?” “Apa?” “Kamu kehilangan siapa?” “Nanti, aku akan menceritakan itu nanti. Sekarang belum bisa kukatakan.” “Baiklah,” jawab Julie sambil tersenyum. “Oh ya, kalau suatu hari nanti kamu sedih, katakan saja padaku, aku akan memelukmu lagi. Tapi, aku berharap kamu tak perlu lagi merasa sedih, Yo.” “Kalau begitu aku tak bisa memelukmu lagi, dong.” “Kau bisa memelukku bahkan tanpa kau harus menjadi sedih dulu. Seperti sekarang, kamu bisa memelukku kapan pun.” Julio mengeratkan pelukannya, menemukan tempat paling hangat baginya, dan ternyata itu Julie. “Yo, ini rumah kamu?” “Iya.” “Kalau kamu memiliki rumah sebagus ini, kenapa masih menyewa kos-kosan?” “Kalau aku mengatakan bahwa aku menyewa kos-kosanmu karena Ibunda Ratunya adalah kamu, kamu bakalan percaya, gak?” “Gak,” jawab Julie dengan cebikan. “Jangan menggodaku terlalu banyak, kalau aku baper, emangnya kamu mau tanggung jawab?” “Tergantung.” “Tergantung apa?” “Tergantung jenis pertanggungjawaban yang kamu minta. Kalo aku bisa ya bakalan aku lakuin, kalau gak, berarti aku bakalan bilang gak bisa.” Julie menyentuh wajah Julio dengan ujung jemari kirinya. Hanya menyentuh sedikit sebelum ia menarik sendiri tangannya. Kalo aku meminta kamu menyukaiku balik, boleh gak? “Sayang ….” Panggilan itu bak pusaran angin yang teramat dahsyat. Langsung menarik Julie menjauh. Lebih tepatnya melemparnya menjauh. Membuat pelukan itu terurai dengan amat cepat. Keduanya beralih melihat ke sumber datangnya panggilan itu. Seorang wanita berusia 40-an berdiri di ambang pintu. Wanita itu terlihat amat menawan, cantik, dan mempesona. Pokoknya segala jenis pujian pantas disematkan untuk wanita itu. Berbeda dengan Julie yang tampak urakan karena tak bisa merawat diri. Itukah tante-tante yang dimaksud anak-anak kos? Pacar Julio yang sesungguhnya. Bukankah wanita itu baru saja memanggil dengan sebutan ‘sayang’ saat ia masuk?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN